Pandangan seluruh penghuni sekolah mengarah ke seorang pria yang terkenal galak dan ditakuti, mengejar pria lain yang selama ini menjadi musuhnya.
Bak film india yang saling berlari dan diiringi tarian, Ben mengejar Reuben yang berusaha untuk menghindarinya.
Ralat, minus tarian yang tiada hentinya itu.
"Gue udah buang rasa malu diliatin sama orang-orang." Cetus Ben di belakang.
Reuben mengacuhkannya, Sadi sudah menunggu di depan gerbang dengan mobil. Langkah kakinya berangsur cepat karena dia sedang tidak berminat untuk adu mulut.
Pintu terbuka setelah Reuben menarik kenopnya, namun dengan sigap ditutup kembali oleh Ben.
"Lo gak bisa pulang sebelum denger gue ngomong, Nyet."
"Berhenti panggil gue kaya gitu, mulai ngerasa gak enak didengernya." Desah Reuben.
"Ya, terserah, kita lupain soal itu." Ben melongok ke dalam mobil. "Pak Sadi pulang aja, biar nanti Reuben saya antar."
Sadi sempat ragu sesaat, dia sudah hapal dengan wajah Ben karena sempat datang ke rumah. Memang sepertinya teman Reuben di sekolah ini hanya dia saja.
Setelah yakin, Sadi meninggalkan sekolah. Membiarkan anak majikannya itu bersama temannya, menyelesaikan masalah mereka.
"Lo bakal diomelin Nyokap gue karena nyuruh Sadi pulang duluan."
"Gue udah minta ijin Nyokap lo buat anterin lo balik nanti." Ben menunjukan pesan singkat antara dia dan Mama Reuben.
Dahi Reuben mengerut. "Sejak kapan lo punya nomer Nyokap? Bahkan kita aja gak saling tuker nomer telepon."
"Lo berharap kita saling tuker nomer?"
Reuben pun menjadi gelagapan sendiri. Kadang memang mulut tidak bisa direm, padahal otak sudah memaksa berhenti. Tapi tetap saja yang namanya kelepasan tidak bisa ditahan.
Mengabaikan sikap Reuben yang agak berubah menjadi malu-malu tai. Ben kembali dalam pokok permasalahan.
"Gue udah ngaku salah, gue gak ada maksud buat remehin, nyela atau menghina. Sama sekali gue gak mengarah kesitu. Jujur gue mengakui kalo cara pandang gue ke lo beda semenjak seringnya lo sakit, tapi itu bukan berarti gue anggap lo lemah."
"Maaf banget kalo kalimat gue yang bilang lo menyedihkan dengan keadaan yang-"
Ada helaan napas lelah yang keluar dari Reuben. "Lo selalu bersikap tertutup di depan orang lain, Ben. Gue akuin kalo gue pun salah melihat kondisi keluarga lo dengan cara yang gak seharusnya. Tapi itu juga jadi alasan gue kenapa selalu berusaha mengganggu, karena lo butuh pengalih perhatian dari itu semua."
"Lagian emang gaya lo sengak dan ngeselin. Jadi sekalian aja gue ajak ribut." Lanjutnya.
Ben sempat memandangnya datar dan terkekeh setelahnya. Ternyata ada maksud baik yang tersembunyi dari sikap Reuben yang selalu membuatnya kesal dan naik darah.
Mata kita seharusnya bisa melihat lebih dalam dari sekedar lapisan luar yang mungkin terlihat buruk. Karena dibalik kelakuan yang tidak patut dicontoh selalu ada alasan tersembunyi yang bertolak belakang.
"Kalo gitu gue teraktir lo gorengan yang di ujung jalan, tahu sama bakwannya enak."
"Gorengan? Gue pernah teraktir lo bakso malang belakang sekolah dan lo cuma neraktir gue gorengan?"
Ben memutar bola matanya. Kenapa harus protes? Kan, judulnya membalas budi dengan ganti meneraktirnya. Seharusnya makanan apapun yang dibelikan harus diterima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sawala [1]
Teen FictionMereka hanya sekedar dua murid sekolah biasa. Pelajar yang sedang menempuh nikmatnya masa muda. Kesenangan serta kebebasan dalam mengekspresikan diri. Berlari belum tentu arah, karena tujuan hidup masih dalam bayang samar. Namun sepercik gelombang...