"Kamu berdoa lama banget, Ji. Apa gatel tangannya ya, dari tadi diliatin terus." Sonya memberikan nasi ke piring Ben. "Kata orang kalo tangan gatel bakal dapet rejeki."
Pasalnya mulai dari masuk rumah hingga sekarang duduk di meja makan. Ben selalu melihat telapak tangan yang tadi menyentuh pipi mantan musuhnya.
Mantan musuh? Ben tidak pernah terpikirkan bahwa akan tercetus ungkapan itu.
Reuben yang duduk di sebelahnya sudah asik mengunyah bahkan sampai lupa berdoa dulu. Sebenarnya dia juga menahan suasana canggung yang dirasakannya. Melihat Ben yang terpaku seperti sekarang malah semakin membuat perasaannya tidak nyaman.
"Gak, Ma. Cuma baru sadar telapak tangan saya gede juga. Pasti sakit kalo buat mukul orang." Ben gelagapan sembari melirik ke sebelah.
Ya, sakitlah bego, gue korbannya. Dumel Reuben. Sebagai orang yang pernah merasakan tinju dari kepalan Ben, dia tentu tidak ingin lagi merasakannya.
Walaupun dirinya senang memancing keributan, tapi kalau Ben marah dan berniat memukulnya lagi. Mungkin kali ini dia akan meghindar.
"Tiap hari Mama selalu buat telor balado?" Tanya Ben. Dia merasa bingung, karena waktu dirinya kesini mengantar tas Reuben, menu makanannya juga sama.
"Iya, soalnya Reuben suka. Jadi seminggu bisa tiga kali Mama bikin."
Ben menelan ludahnya sendiri. Membayangkannya saja sudah membuatnya ingin muntah. Coba saja kalian makan telur balado sampai sesering itu, pasti lama kelamaan bisa membuat trauma pada telur.
"Lo gak takut bisulan?" Bisik Ben.
"Udah pernah dua kali. Tapi Mama seneng masakin ini buat gue, gak mungkin gue ngerusak senyumnya dia kalo tiap hidangin telor balado bisa sesumringah itu."
Penjelasan Reuben cukup menyentuh titik terdalam perasaan Ben. Sebagai anak yang tidak mempunyai seorang Ibu, dirinya cukup tertohok memikirkan nasibnya sendiri.
Reuben melihat Ben yang terdiam melihati telur balado yang masih tersisa banyak. Dia mengambilnya sebutir dan memberikannya.
"Suka telor balado juga?"
Ben menoleh. "Hah? Gak kok, gak terlalu."
"Tapi daritadi lo pelototin mulu. Ambil aja lauk yang lo mau, pake mikir-mikir segala. Biasanya juga bikin malu kok."
Makan bersama Reuben dan Mamanya, situasi yang sudah lama sekali tidak pernah dirasakan oleh Ben. Setiap hari dia selalu makan sendiri di meja makan atau kadang di kamarnya.
Ayahnya yang lebih sibuk dengan pekerjaan seperti tidak memperdulikannya. Anto bilang bahwa cara orang tuanya membesarkan Ben berbeda dari yang lain. Tipe orang yang tidak bisa blak-blakan mengungkapkan kasih sayang pada anaknya.
Sementara Ben dia butuh perhatian langsung, dalam bentuk nyata. Bukan sekedar kiriman uang tiap bulan serta biaya hidup sehari-hari.
"Kalo kamu suka makanan apa, Aji?" Mama bertanya karena melihat Ben seperti orang yang tidak napsu makan.
"Apa aja dia suka, Ma. Kolor dikecapin juga dimakan." Celetuk Reuben.
Mama mendesah lelah menghadapi celotehan anaknya. "Kamu tuh ya, mulutnya licin banget. Nyaut aja kerjaannya, yang ditanya siapa."
Ben terkekeh, baru kali ini dia melihat Reuben mati kutu selain sama Anto. "Saya lebih suka makanan yang digoreng, Ma."
"Nah tuh, Ma. Kolor goreng dia makan pasti." Celetuk Reuben lagi.
![](https://img.wattpad.com/cover/132892929-288-k729273.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sawala [1]
Roman pour AdolescentsMereka hanya sekedar dua murid sekolah biasa. Pelajar yang sedang menempuh nikmatnya masa muda. Kesenangan serta kebebasan dalam mengekspresikan diri. Berlari belum tentu arah, karena tujuan hidup masih dalam bayang samar. Namun sepercik gelombang...