Plester

22.3K 3K 311
                                    

"Ini, minum dulu teh manisnya." Seorang perawat yang memang berjaga di UKS memberikan teh panas pada Reuben.

Rasa sakit dari pening yang dirasakannya tadi sedikit berkurang. Kini dia malah merasakan bau minyak kayu putih dibawah lubang hidungnya. Seperti bau orang tua.

"Saya gak pingsan, kenapa dikasih minyak kayu putih gini?" Reuben mengusak bagian hidungnya yang malah membuat panas semakin menyebar disana.

"Bau dari minyak kayu putih bisa ilangin pusing kamu, sedikit ngebantu." Perawat berusia hampir tiga puluh ini memang masih muda. Banyak dari para murid pria yang sering masuk kesini dengan berbagai macam alasan sakit, padahal hanya ingin melihat dirinya saja.

Reuben masih mengeluhkan keningnya yang tergores akibat bola itu. Terdapat plester bergambar binatang menempel menghiasi.

"Gak ada plester yang lain?" Dia bercermin lewat ponsel miliknya.

Perawat itu terkekeh. "Adanya itu, udah terima aja." Terdiam sejenak memperhatikan Reuben, namun kembali berbicara setelah menimbang pertanyaan yang akan diungkapkannya. "Kamu punya riwayat kesehatan yang kurang baik, ya?"

Tidak ada tanggapan, Reuben malah melihat keluar jendela yang berada tepat di samping brankarnya.

Dia mengernyit melihat Ben di sisi lapangan sedang terduduk lemas. Sementara ada temannya yang berdiri sedang berbicara. Terlihat Ben tidak menanggapinya, karena dia hanya diam saja.

"Maaf kalau saya lancang bertanya kaya gitu." Perawat itu menepuk bahu Reuben. "Kamu istirahat aja sampai jam pulang, saya udah ijin ke wali kelas."

Kepergian perawat itu dari ruang UKS tidak mengalihkan perhatian Reuben yang melihat musuh bebuyutannya di luar sana. Menampakan wajah keras menahan kekesalannya, Ben sudah membuat kesakitan yang sudah lama dia rasakan kembali muncul.

Temen Ben tanpa sengaja melihat ke arah jendela dimana Reuben sedang menatap mereka. Tentu Timur, yang sedang bersama Ben menyenggolnya dengan siku. Mengedikan dagunya agar Ben melihat ke arah pandangannya juga.

Sontak Reuben merebahkan dirinya di brankar saat Ben menengok. "Kenapa juga gue ngehindar?" Dia bingung dengan kelakuannya.

Tentu dia tidak takut, lagipula bukan dia juga yang salah. Kenapa tidak mau bersitatap?

Reuben kembali bangun dan melihat keluar jendela. "WOAH!"

Dirinya terlonjak kaget karena melihat wajah Ben di depan jendela yang hanya terhalang oleh teralis besi. Menampilkan mimik datar seolah tidak terjadi apapun.

"Udah sehat? Keren ya aktingnya."

Seriuskah dia? Ben sudah memancing kemarahannya lagi sekarang. Dia seperti tidak bisa membedakan mana yang sungguhan dan berpura-pura.

Tentu Reuben muak, di merebahkan dirinya dan tidur menyamping tidak ingin melihat Ben yang masih berdiri disana.

"Kayanya cuma bocah SD yang pake plester gambar binatang begitu." Ben masih gencar berceloteh.

Berusaha untuk menebalkan telinganya, Reuben mengabaikan semua omongan Ben yang menjurus untuk memunculkan emosinya. Dia masih sakit, kepalanya masih terasa berat. Fisik masih belum mampu untuk membalas.

Namun batin dalam dirinya ingin sekali memukuli wajah Ben yang membuatnya ingin meludahi. Melemparkan tanah basah bekas kotoran kucing ke mulutnya yang tidak bisa diam itu.

Sawala [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang