"Jing."
Ben yang berada beberapa langkah di depan, menengok ke belakang karena ada yang memanggilnya dengan sebutan buruk tersebut. Sudah pasti dia tau, karena hanya orang itu yang sering mengganggunya.
"Kita udah sepakat buat pake nama panggilan itu disaat cuma berdua, Monyet!" Desisnya tepat di telinga Reuben.
"Kelepasan boy, sorry."
Arah mata Ben meliriknya tajam. Melihati Reuben yang berjalan di sampingnya. "Gak usah sok akrab sama gue. Jangan cuma karena gue udah anter tas lo ke rumah dan bisa deket sama Nyokap lo, kita bisa jadi temen."
"Anak-anak ngeliatin kita aneh dan gue gak nyaman. Jadi jauh-jauh sana." Ben mendorong bahu Reuben untuk menjauh darinya.
Tapi yang namanya Reuben, dia selalu mencari masalah dengan berandal sekolah. Rasa takut sepertinya sudah lenyap dan bertengkar menjadi hobi yang tidak bisa dihilangkan.
Dia tetap saja berjalan beriringan dengan Ben. Mensejajarkan langkah kakinya dengan rivalnya itu. Sampai hingga mendekati kelas mereka.
Di depan pintu masuk, Ben berhenti menghalangi Reuben yang ada di hadapannya.
"Gue berusaha baik, supaya lo gak menderita. Karena gue pun capek kalo harus adu mulut dan tonjok-tonjokan sama lo. Setiap lo gue hajar, selalu berakhiran dengan lo tepar."
Ben melanjutkan kalimatnya. "Jadi mending kita sama-sama dapet keuntungan. Lo jangan ganggu gue atau lo bisa berakhir lebih dari sekedar memar. Gue juga gak mau hidup gue yang tenang selalu diganggu dengan kehadiran lo di deket gue."
"Gue suka dihajar kok." Reaksi Reuben tidak pernah dikira oleh Ben. Karena dengan senyum yang terlihat bahagia dia berbicara seperti itu layaknya pria yang memang sering berkelahi dan luka-luka.
"Lo gak waras ya? Karena cuma orang yang otaknya di dengkul kaya lo yang bilang seneng dipukulin."
Seisi kelas, teman-teman mereka, melihati dua pria yang terkenal sering ribut kini malah mengobrol layaknya teman lama. Walaupun terlihat Ben yang agak risih, tapi kali ini berbeda. Aura yang keluar lebih terkesan damai daripada sebelumnya yang selalu membara dan terasa panas.
"Ya karena pukulan lo juga gak ada apa-apanya buat gue." Reuben menganggap remeh sembari duduk dengan mengangkat kakinya ke meja.
Ben berbalik badan menghadapnya. "Kalo tenaga gue gak ada apa-apanya, gak mungkin lo bisa kesakitan karena tendangan bola gue dan juga memar di perut kaya sekarang."
"Gue cuma akting kesakitan kali, kan lo sendiri yang bilang gue jago dalam hal itu. Lagian bekas tendangan lo di perut gue juga udah ilang."
Perdebatan itu akan terus berlangsung kalau saja Anto tidak muncul dan membuat suasana menjadi sunyi.
Namun Ben, dia tidak peduli keadaan. Hal pertama yang ingin dia lakukan ketika bertemu wali kelasnya itu adalah protes.
"Kemarin Bapak nipu saya, kan?" Tanpa ada sopan santun, Ben langsung menembak dengan pertanyaan tegas. "Si Monyet- maksud saya Reuben, dia bilang gak minta dianterin tasnya ke rumah."
Tentu ini menjadi perhatian seisi kelas. Karena apapun yang Ben lakukan selalu bisa menarik keingintahuan orang lain. Apalagi dengan adanya embel-embel protes seperti sekarang, bisa mengurangi jam pelajaran.
"Loh, orang Reuben sendiri yang minta tolong saya supaya nyuruh kamu anterin tasnya."
Mendengar itu, Ben terpaku sesaat. Tentu otaknya bekerja dengan cepat, bahwa Reuben mengelabui dirinya.
Kemarin Reuben berkata bahwa dia tidak meminta untuk diantarkan tasnya ke rumah dan itu membuat Ben berpikir bahwa Anto membohonginya. Tapi sekarang dia tau bahwa sejak kemarin dirinya sudah ditipu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sawala [1]
Teen FictionMereka hanya sekedar dua murid sekolah biasa. Pelajar yang sedang menempuh nikmatnya masa muda. Kesenangan serta kebebasan dalam mengekspresikan diri. Berlari belum tentu arah, karena tujuan hidup masih dalam bayang samar. Namun sepercik gelombang...