Bab 6

14.7K 1.1K 17
                                    

Sandri menghempaskan tubuh ke tempat tidur. Remuk redam rasanya. Dua hari pindahan menguras energinya, lahir batin. Lelah mengangkut barang dan ditambah harus menghadapi Sam. Room mate-nya itu tidak setuju dengan kepindahan Sandri. Susah payah dia menjelaskan sampai Sam mengalah.

Tidak mudah memang untuk hijrah.

Apartemen yang ditempatinya sekarang tipe studio. Dia tinggal sendirian di sini. Lebih baik begitu, Sandri tidak nyaman harus satu apartemen dengan orang yang baru dikenal, walaupun itu muslimah teman Sidiq. Correction, terutama itu adalah teman Sidiq.

Sidiq membantunya pindahan, tentu saja. Ini semua adalah idenya, walau Sandri setuju sepenuh hati. Mudah-mudahan ini yang terbaik. Lokasi apartemen memang lebih dekat ke kampus. Lingkungannya juga bagus. Hebat juga Sidiq bisa mendapatkan tempat ini, pikir Sandri dalam hati.

Sandri menatap kosong langit-langit kamarnya. Biru muda. Siapapun pemilik apartemen ini, dia punya selera warna yang bagus.

Tubuhnya terasa lengket, tapi matanya berat. Malas sekali beranjak ke kamar mandi. Besok saja mandinya. Sandri memejamkan matanya, tidak lama, dia tertidur dengan pakaian lengkap melekat pada tubuh.

*****

"How's your new apartement?" tanya Emily saat di kelas.

"Not bad," jawab Sandri seraya mengeluarkan buku sketsanya.

"Kenapa pindah, sih?" tanya Emily penasaran.

Sandri tersenyum simpul. "Ya... gitu deh."

Emily merengut mendengar jawaban Sandri. Pasti ada sebabnya. "Karena hijab yang kamu pakai?"

Sandri sedikit terkejut. "Hijab yang aku pakai?"

"Iya... apa karena itu?"

Sandri menarik napas panjang. "Aku lebih nyaman tinggal sendiri, Sam mengerti kok." Sam sudah tahu alasan sebenar Sandri pindah, dan dia mengerti.

"You can tell me, you know. I'm fine with it," bujuk Em.

"Mungkin kamu benar. Ini ada hubungan dengan hijab yang aku pakai dan ajaran agamaku," Sandri memutuskan untuk berterus terang. "Aku tidak nyaman tinggal di sana, terutama dengan teman laki-laki Sam."

Emily mengangguk mengerti. "That's what I though."

Pembicaraan mereka terhenti saat dosen masuk ke kelas. Sandri bersyukur Em paham dengan kondisinya. Setidaknya mereka masih tetap bisa hang out di luar jam kuliah. Tidak ada yang berubah, kecuali Sandri dan Sam tidak tinggal bersama lagi.

Saat makan siang, mereka berkumpul di kafe baru. Adam yang menemukan tempat ini. Suasananya asik, khas anak muda gaul dengan industrial design. Sandri langsung menyukai tempat ini.

"So how's your apartement?" tanya Adam saat mereka duduk menunggu makanan tiba.

Sandri memutar bola matanya, not him too. "Good," jawab Sandri malas.

"That's it?" tanya Adam tidak puas.

"Bisa nggak, nggak usah bahas apartemen lagi," tukas Sandri.

"Lagi PMS?" sahut Ken seraya menaikkan alisnya. Tumben Sandri bad mood.

"Males aja... aku tuh cuma pindah apartemen. Big deal!"

"Oke... oke." Adam mengangkat kedua tangan tanda menyerah.

Sam dan Em tertawa melihat wajah Adam yang pura-pura ketakutan. Mau tidak mau Sandri ikut tertawa, tampang Adam memang lucu.

London Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang