Bab 23 -END

23.7K 1.5K 70
                                    

"Allah ..., " ucap Sandri lirih menahan sakit yang mendera. Diremas tangan suaminya erat.

Sidiq tidak mengeluh sama sekali saat kuku istrinya menekan tangannya kuat. Perih sudah pasti. Tapi sakit yang dialami istrinya saat ini tidak sebanding.

Sudah satu jam Sandri terbaring di ruang bersalin. Pembukaanya hampir penuh. Kontraksi sudah cukup sering. Sandri tidak sabar ingin mengeluarkan bayinya. Sakit sekali.

"Sebentar lagi, Honey. Sabar, ya. I love you." Sidiq tahu istrinya sudah bersabar sedari tadi. Tapi dia tidak tahu harus mengucapkan apa untuk menghibur Sandri yang kesakitan. Kening istrinya berkerut dengan alis bertaut dan mata terpejam kuat. Sidiq tahu, Sandri sedang menahannya. Penuh cinta dia mengusap kepala istrinya.

"Sakit ...," keluh Sandri lemah. Rasanya tak tertahankan. Dia tahu akan terasa sakit saat melahirkan. Tapi dia tidak tahu akan sesakit ini. Kepalanya terasa mau pecah.

"I know, Honey. I know," balas Sidiq pelan. Dia berdiri di samping istrinya, terus memegangi tangannya.

"No you don't know," ucap Sandri pelan. Sidiq tidak tahu rasanya. Allah. Gelombang kontraksi itu datang lagi. Sandri meringis perih.

"Istighfar, Honey," bisik Sidiq. Dia rela mendapat makian apapun dari istrinya. Sandri sedang dalam kondisi tidak biasa.

"Astaghfirullah," ucap Sandri lirih. Dia merasakan sesuatu yang basah. Allah. Ketubannya pecah. "Ketubanku pecah!" seru Sandri.

"Ketuban pecah?" tanya Sidiq ling-lung. "Ketubanmu pecah." Sidiq seperti tersadar. Dia segera memanggil suster untuk memeriksan istrinya.

Setelahnya semua bagai potongan adegan film. Dokter membantu Sandri melahirkan. Suara tangis bayi. Lalu suara dokter yang membuat mereka bersyukur dan bernapas lega. "Lengkap!"

Sidiq mengumandangkan azan di telinga kanan bayi laki-lakinya. Dan ikamah di telinga kiri. Air mata bahagia menetes di pipi. Dia seorang ayah sekarang. Dadanya terasa sesak. Perasaan bahagia membuncah dalam dirinya. Anaknya. Penerus nasabnya.

****

"Sini, biar aku yang taruh," ucap Sidiq seraya mengambil bayi dari pangkuan istrinya.

Sandri baru saja memberi ASI pada bayi laki-lakinya. Dia kuat sekali menyusu. Setiap dua jam terbangun, kehausan. Alhamdulillah, setelah kenyang, bayinya tertidur lelap. Ini sudah berlangsung selama satu bulan. Sandri merasa lelah karena kurang tidur.

Sidiq banyak membantu Sandri. Setiap malam dia juga ikut terjaga, menemani Sandri yang menyusui bayi mereka. Walau itu hanya berupa usapan di punggung atau lengannya.

Sidiq meletakkan bayinya, Fatih, di tempat tidur terpisah secara perlahan. Khawatir membangunkan. Setelahnya dia mengambil gelas berisi air di nakas dan memberikan ke istrinya.

"Makasih," ucap Sandri lelah seraya mengambil gelas dari tangan Sidiq dan meminumnya hingga tandas. Dia perlu asupan cairan yang banyak agar ASI-nya terisi kembali.

Sidiq mengambil gelas yang kosong dan meletakkan kembali ke nakas. Setelahnya dia berbaring di samping Sandri dan memeluknya dari belakang. Sidiq tahu istrinya kurang tidur. Seharian sibuk mengurus Fatih. Waktu tidurnya saat sang bayi tidur. Padahal pekerjaan Sandri di butik juga banyak.

Sidiq menyarankan baby sitter, tapi Sandri menolak. Dia ingin menikmati dulu masa-masa keemasan berdua dengan bayinya. Lagipula ada Mbok Darmi di rumah yang membantu. Mamanya juga menghabiskan sebagian besar waktu di sini, menemani cucunya. Sandri merasa terbantukan.

"Makasih, Honey," bisik Sidiq di telinga istrinya.

Tidak ada jawaban.

Pastilah Sandri sudah langsung tertidur. Sidiq mengeratkan pelukan dan mencium leher istrinya lembut. Hmmm ... harum minyak telon. Sidiq tersenyum. Sepertinya ini akan menjadi parfum istrinya beberapa bulan ke depan. Tapi dia suka.

London Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang