Bab 18

18.5K 1.3K 48
                                    


"Honey, kaos kakiku mana?" seru Sidiq dari kamar. Dia sibuk membuka semua laci.

"Di laci!" seru Sandri dari dapur.

Laci? Laci mana? tanya Sidiq dalam hati. Semua laci sudah dicari.

Sidiq keluar menuju dapur. Istrinya sedang sibuk di depan kompor. Masih memakai piama dengan rambut di ikat asal. Mau tidak mau dia tersenyum. Tentu tidak mudah bagi Sandri memasak pagi hari untuk sarapan.

"Need help, Honey?" tanya Sidiq mendekat.

"I'm fine," sahut Sandri seraya menoleh sekilas. Dia sedang membuat French toast untuk sarapan. Ini kali ketiga dia membuatnya. Practise makes perfect. Sandri mulai terbiasa.

"Smells good," puji Sidiq saat berdiri di samping istrinya.

"Kamu tadi cari apa?" tanya Sandri seraya membalik rotinya di teflon.

"Kaos kaki."

"Ada di laci."

"Aku sudah mencari di semua laci."

"Biar kuambilkan," ucap Sandri seraya hendak mematikan kompor.

"Jangan dimatikan," cegah Sidiq. "Biar aku aja." Dia mengambil alih spatula dari tangan istrinya yang terlihat mulai berkeringat. Mungkin karena panas dari kompor.

Sandri sempat ragu. Dia masih bergeming. "Loh, kok bengong. Udah sana," sahut Sidiq seraya mendorong Sandri ke samping dengan pinggulnya.

"Thanks," ucap Sandri seraya mencium bibir suaminya singkat. Dia langsung menuju kamar mencari kaos kaki.

Sidiq tersenyum seraya memandang istrinya yang hilang di balik pintu. Kalau saja dia tahu nikmatnya menikah seperti ini, tentu sudah dari dulu dia ....

"Loh, Pak. Kok Bapak yang masak. Bu Sandri mana?" tanya sebuah suara.

Sidiq berjengit saat sosok perempuan setengah abad itu tiba-tiba berada di sampingnya. "Astagfirullah."

"Eh, maaf, Pak. Kaget, ya?" tanya perempuan itu setengah tertawa.

"Bu Imah. Ya ampun. Kaget saya." Jantung Sidiq ikut berpacu.

"He he. Abis Bapak bengong, sih," sahutnya. "Udah sini biar saya aja, Pak." Imah hendak mengambil spatula yang berada di tangan majikannya.

"Makasih, Bu." Sidiq membiarkan Bu Imah melanjutkan masak.Dia menuju kamar, menyusul istrinya.

"Ketemu, Honey?" tanya Sidiq saat melihat istrinya keluar dari kamar mandi.

"Udah, tuh," sahut Sandri menunjuk ke tempat tidur seraya mengeringkan rambut dengan handuk. Dia sempat mandi kilat dan berganti baju. Sandri selalu mengusahakan untuk tampil wangi dan cantik saat suaminya pergi kerja. Supaya ingatan terakhir saat pergi kerja adalah wajah menyenangkan dirinya.

Sidiq melirik sekilas ke tempat tidur. Pandangan kembali ke istrinya. Sandri jauh lebih menarik dibanding kaos kakinya. Dia mendekat dan memeluk pinggang istrinya, membawa Sandri lebih dekat. "Wangi." Sidiq mendekatkan wajah ke lekuk leher istrinya yang lembab.

Bulu kuduk Sandri meremang seketika. "Ya iyalah. Kamu kan suka yang wangi-wangi." Sandri berusaha mengatur nafas. Jantungnya mulai berkejaran.

"Mau mandi lagi?" tanya Sidiq jail seraya menaikkan satu alis pada istrinya yang tengah merona.

"Nanti kamu telat," elak Sandri, walau sebenarnya dia tidak keberatan.

Sidiq melirik jam di dinding. "Masih ada waktu." Dia semakin mempersempit jarak antara mereka. Satu tangan beralih ke belakang leher istrinya. Wajah mereka semakin mendekat. Semakin dekat. Semakin ....

London Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang