Bab 9

13.6K 1.1K 35
                                    

Sandri melangkah gontai menuju pintu seraya mengenakan mantel tidurnya. “Wait a minute,” serunya kesal. Siapa sih yang pagi-pagi datang ke apartemennya? Ini bukan jam bertamu.

Sandri meraih kerudung yang selalu ia siapkan di gantungan dekat pintu dan memakainya. Dibukanya pintu sedikit. Matanya melebar saat melihat sosok yang berdiri di depan pintu.

Sidiq!

“Assalamu’alaikum,” salam Sidiq saat melihat Sandri membukakan pintu. Dia sedikit bernapas lega. Untunglah Sandri berada di apartemennya. Apakah dia sendirian? Semoga iya.

“Wa ... wa’alaikumussalam. What are you doing here? ” tanya Sandri heran bercampur kesal.

“Boleh gue masuk?”

Sandri ragu. Mau ngapain sih Sidiq? Kenapa tidak memberitahu lebih dulu? Tapi dia tetap mempersilahkan sepupu Mai itu masuk.

Sidiq masuk seraya memperhatikan sekeliling. Sepertinya tidak ada orang lain di sini. Dia memilih duduk di meja kecil dekat pantry. “Maaf pagi-pagi ke sini.”

Sandri menutup pintu kemudian menuju dapur kecilnya, mencari sesuatu yang bisa disuguhkan. Gerakannya terhenti ketika membuka kulkas, menyadari sesuatu. Hei. Bukankah dia  sedang marah pada Sidiq? Hatinya masih tidak terima Sidiq jalan dengan perempuan itu. Akhirnya ditutup kembali pintu kulkas. Sebagai gantinya Sandri mengambil segelas air putih, untuk dirinya sendiri.

“Mau ngapain?” tanyanya tidak ramah seraya duduk dan meletakkan gelas di meja.

Sidiq bica membaca situasi. Suasana hati Sandri sedang tidak bagus. Tapi dia harus menanyakannya. “Profesor William nganterin lo semalem?”

Sandri mengernyitkan dahi. Apa urusannya? Dia memberi jeda dengan meminum airnya. “Iya, kenapa?”

“Sampe ke apartemen?”

Sandri mengangguk. Matanya menatap gelas.

“Masuk?”

Sandri melirik Sidiq tidak suka. Kenapa sekarang Sidiq mengurusi urusannya? Sejak kapan dia peduli? Biasanya juga cuek. “None of your bussiness.”

“Of course it is. Pak Reza dan Pak Sandy sudah nitipin lo ke gue. Gimanapun lo tanggung jawab gue.”

Sekarang Sandri marah. Dia merasa seperti barang. Hanya titipan. “Well, gue bisa ngurus diri sendiri. Nggak usah sok merasa tanggung jawab deh. Urus aja urusan lo.” Sandri sudah capek menghadapi Sidiq dengan segala ke-cuek-annya. Dia beranjak dari kursi.

“Ndi ...,” cegah Sidiq ikut beranjak dari kursinya.

Mereka berdiri saling menatap. Sandri marah. Sidiq memintanya tetap tinggal.

“Please ...,” bujuk Sidiq. “Bisa kita bicara sebentar?”

Sial. Sandri masih saja lemah terhadap laki-laki di hadapannya.

Menarik napas panjang, Sandri kembali duduk, begitu juga Sidiq.

“Maaf.” Sidiq tidak tahu untuk apa minta maaf. Dia hanya ingini menenangkan pikiran dan hati Sandri terlebih dulu. “Maaf, kalo gue salah.”

Sandri bersedekap dan memalingkan wajah. Selalu seperti itu. Minta maaf tapi tidak tahu apa kesalahannya.

“Bukan maksud ngatur-ngatur hidup lo. Tapi ... rasanya kurang baik berdua-duaan dengan Profesor William. Dia bukan mahrom lo.” Sidiq berusaha menyusun kata yang enak didengar agar Sandri tidak merasa digurui.

“Kayak kita sekarang?” sindir Sandri seraya melirik Sidiq tajam.

“Dia masuk ke apartemen?” Sidiq harus mencari tahu apa yang terjadi semalam. Dia kesampingkan dulu sindiran Sandri. Walau itu benar.

London Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang