Bab 7

13.4K 1.1K 16
                                    

"Lunch with me tomorrow?" suaranya di ujung sana terdengar membujuk dengan sedikit memaksa. 

"I'm having lunch with my friend," elak Sandri. Kesekian kalinya dia menolak tawaran laki-laki itu. Entah dari mana Will mendapatkan nomor ponselnya. Sepertinya Will tahu Sandri akan membuang kartu namanya, jadi dia yang menghubungi Sandri terlebih dahulu.

"Again?"

"Aku selalu makan siang dengan teman-temanku," kilahnya lagi. Liar. Kemarin Sandri makan siang sendiri di apartemen.

"I'll join you, then," paksanya.

"No," ketus Sandri.

"Kamu tidak bisa menghindar selamanya, Sandri. Lagi pula, apa yang ditakutkan dari makan siang bersama seorang teman?" Will melancarkan serangannya untuk meluluhkan Sandri.

"Kamu bisa mengajak orang lain."

"Aku maunya kamu," ucap Will tegas. "Sudah lama kita tidak bertemu. Bagus, kan, menjalin tali silaturahim?"

Huh, pandai sekali dia merangkai kata, batin Sandri. "Sorry ...." Dia sudah menetapkan hati. Jangan beri kesempatan.

"Kamu akan menyerah, Sandri. Aku tahu itu."

"Bye."

Sandri mematikan sambungan telepon. Dia menarik napas panjang. Kamu sudah melakukan hal yang benar, Ndi. Jangan biarkan dia menemuimu.

Sudah dua minggu sejak mereka bertemu, kenapa laki-laki itu masih ada di London?

Sudah lebih sepuluh kali Will mengajak bertemu, Sandri selalu menolak. Dia cukup bangga dengan pertahanan dirinya. 

Sandri kembali menarik napas panjang, berusaha melegakan dadanya. Setelahnya dia mengecek ponsel. Sejam yang lalu Sandri mengirim pesan ke Sidiq, memberi tahu akan ke sana. Belum ada balasan.

Sandri melirik pergelangan tangan, sebentar lagi Maghrib, kalau pergi sekarang, dia masih bisa salat di sana.

Sandi segera beranjak dari tempat tidur dan bersiap. Dua puluh menit kemudian dia sudah menuju apartemen Sidiq. Untunglah ketika Magrib dia sudah tiba. Sebenarnya Sandri membawa kunci, tapi seperti layaknya tamu, Sandri mengetuk pintu terlebih dahulu, berharap Sidiq ada di sana.

Pada ketukan kedua, pintu terbuka dan muncul sebuah wajah yang sama sekali tidak Sandri sangaka-sangka.

Seorang perempuan berada di apartemennya. Perempuan! Sejak kapan Sidiq memasukkan perempuan ke apartemen?

Menahan sesak di dada, Sandri memberikan senyum palsu. "Is Sidiq here?"

"Yes. Please come in." Perempuan itu membuka pintu lebar dan menyilahkan Sandri masuk.

Sandri melihat sekeliling. Meja makan sedikit berantakan. Banyak buku, kertas-kertas, dan laptop.

Sandri menuju sofa dan duduk di sana.

"Maaf dengan siapa?" tanya perempuan itu menghampiri Sandri. "Sidiq sedang di kamar mandi, mau kupanggilkan."

"Tidak usah repot-repot." Sandri dengan santai mengeluarkan ponsel. Sial**. Jadi begini Sidiq kalau dia tidak di apartemen? Bebas mengundang siapa saja? Apa itu tujuan Sidiq, membuatnya keluar dari sini?

Sandri tidak bisa menghentikan prasangka buruk terhadap Sidiq. Sekuat apa pun dia mencoba. Gagal.

"Fatimah, kamu bisa menggunakan kamar mandi dan berwudu." Suara Sidiq terdengar oleh Sandri.

"Oke. Oya, kamu ada tamu." Fatimah memberikan gestur dengan dagunya.

Sidiq menaikkan alis heran. Tamu? Dia tidak sedang menunggu siapa-siapa.

London Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang