Bab 15

17.5K 1.3K 56
                                    

Sandri menatap kosong dinding kamar. Nafasnya terasa berat. Gemuruh di dadanya belum juga hilang. Masih tidak percaya. Dengan hati cemas dia menunggu.

"Ndi ...."

Sandri menoleh ke wanita yang melahirkannya. "Iya, Ma," ucapnya pelan. Mamanya duduk di tepi tempat tidur, di samping Sandri yang tengah duduk bersila.

"Beneran kamu sama Sidiq?" tanya Martha penasaran. Sedari tadi putrinya belum bercerita apa-apa.

Sandri mengembalikan pandangan ke dinding. Setelah pengakuan Sidiq yang menggemparkan di meja makan, Papa mengajaknya keluar untuk bicara berdua. Entah ke mana, Sandri tidak tahu.

Setelah keduanya pergi, Sandri keluar kamar mandi dan langsung masuk ke kamar. Tidak lama mamanya menyusul.

Sandri tidak tahu harus menjawab apa. Beberapa hari yang lalu, dia masih mencintai Sidiq. Bahkan mengungkapkan perasaannya. Tapi penolakan Sidiq membuatnya sakit hati. Sandri bahkan sudah berniat untuk melupakan segala hal tentang laki-laki itu.

Pengakuan Sidiq barusan benar-benar mengejutkan. Sandri merasa Sidiq mempermainkan perasaannya. Sejak awal laki-laki itu tidak menaruh hati adanya. Tidak juga selama hampir satu tahun ini. Dan sekarang, tiba-tiba saja dia berkata kalau sudah menemukan calon istri ... Sandri.

Apa maksud Sidiq sebenarnya?

Kasihan?

Tanggung jawab atas kesalahannya?

Sayang? Ah, Sandri ragu Sidiq punya rasa itu untuknya.

Lantas apa?

Jelas sekali Sidiq mengambil kesempatan ketika orang tuanya sedang di sini. Apa Sidiq punya maksud tidak baik ...?

Sandri segera menepis kemungkinan itu. Tidak. Sidiq tidak seperti itu.

"Ndi ...." Martha kembali memanggil Sandri. Kenapa putrinya terlihat tidak bersemangat? Apa Sandri tidak menyukai Sidiq?

"Nggak tahu, Ma ...."

Martha mengernyitkan kening. Tidak tahu? Wanita itu semakin heran dengan sikap anaknya.

"Sidiq baik," komenta Martha. Selama ini dia hanya mendengar hal-hal baik tentang Sidiq. Lagipula, Sidiq itu sepupunya Mai, kalau ada hal-hal tidak baik tentang laki-laki itu, Mai pasti sudah memberitahunya.

Sandri tertegun mendengar ucapan mamanya. Iya, Sidiq memang baik. Tapi laki-laki itu tidak mencintainya. Pernikahan tanpa cinta bukanlah hal yang diimpikan Sandri.

"Bertanggung jawab," tambah Martha. "Pinter masak lagi."

Sandri masih diam.

"Yakin, nggak mau?" canda Martha.

Sandri menarik napas panjang dan mengembuskan pelan. "Sidiq nggak cinta sama Ndi, Ma." Rasanya ada sesuatu yang menusuk di hatinya saat mengucapkan kalimat itu. Tapi memang benar. Sidiq tidak mencintainya. Terus kenapa laki-laki itu malah ingin menikahinya?

"Masa, sih?" ucap Martha tidak percaya.

Sandri hanya mengangguk pelan.

"Tapi cinta kan bisa hadir setelah pernikahan," yakin Martha.

Benarkah? tanya Sandri dalam hati.

"Sidiq bagus agamanya. Salatnya rajin. Aktif di masjid kantor juga ...." Martha terlihat bersemangat. Entah kenapa dia setuju kalau Sandri menikah dengan Sidiq. Padahal tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Tapi saat Sidiq mengungkapkan secara jujur, Martha jadi simpati. Langkah yang cukup berani, mengingat suaminya adalah atasan Sidiq di kantor.

London Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang