Bab 13

9K 550 8
                                    

Kusniah langsung terdiam, wanita itu pun menatap suaminya.

"Gak perlu ditangisi. Dia cuma pingsan. Belum meninggal!" kata Cahyono dengan enteng kepada istrinya.

"Astagfirullah Mas, dia iki putrimu! Kamu apa ndak sedih melihatnya?" tanya Kusniah menahan amarah. Hanya terdengar suara dengusan dari lelaki paruh baya itu. Dan tanpa pamit kepada istrinya, Cahyono menyelonong pergi keluar dari ruang inap Cahaya.

Ibu Cahaya yang melihat itu, hanya menghembuskan napasnya dengan berat. Dengan hati yang tak berhenti-hentinya beristigfar dan menyebut nama Allah. Agar diberikan ketegaran menghadapi semuanya.

Wanita itu lalu menghapus sisa air matanya. Ia lalu menatap dua gadis yang berdiri di ambang pintu. Ia pun berjalan mendekati mereka.

"Pulanglah kalian!" suruh Kusniah kepada Bella dan Talita yang masih setia menunggu Cahaya.

Bella dan Talita secara berbarengan menggelengkan kepala. "Kami mau nunggui Aya bude!" beritahu Bella, yang langsung diangguki oleh Talita.
Kusniah mencoba tersenyum.

"Pulanglah. Bu'de uda di sini kok. Untuk menjaga Cahaya," suruh Ibu Cahaya kepada kedua gadis itu.

"Besok kalian apa ndak kuliah apa?"
Namun, Bella dan Talita tetap bersikeras dengan pendirian mereka.

"Pulanglah! Kalian butuh istirahat. Kalo Aya uda siuman. Nanti bude kabari. Sana pulang!" dengan wajah senduh, Ibu Cahaya menyuruh kedua gadis itu untuk pulang ke kos-an.

Bella menatap Talita. "Kita pulang?" gadis itu minta pendapat Talita.
Talita tak langsung menjawab. Namun tak lama kemudian ia mengangguk. "Ya udalah. Kita pulang saja!" putus Talita.

Bella mengangguk. Lalu menatap wajah Kusniah. "Ya sudah bude, kita pulang dulu. Bella pamit pulang dulu, yah bude. Jangan lupa kabari Bella kalo Cahaya sudah siuman." Bella berpesan kepada Ibu Cahaya.

Ibu Cahaya mengangguk. "Pasti bude kabari. Makasih yang udah jaga Cahaya!" ucap Ibu Cahaya.

"Sama-sama bude. Cahayakan sahabat Bella. Jadi Bella wajib menjaga Cahaya!"

Ibu Cahaya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan secara bergantian, kedua gadis itu menyalami Ibunya Cahaya.

"Kami pulang yah bude, assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam. Tapi pulangnya sama Papa kamu'kan?"

Kepala Bella mengangguk. "Iya, sama Papa. Motor Talita biar ditinggal di parkir dulu. Besok kami ambil,"

"Oh, iya baguslah. Hati-hati di jalan yah Papanya Bella. Makasih banyak sudah nganteri kami! Maaf merepotkan!" Ibu Cahaya merasa tak enak.

"Gak apa-apa. Ya sudah aku ngantarkan anak-anak! Assalamualaikum," Papa Bella pamit kepada Ibunya Cahaya.

"Waalaikumsalam, sekali lagi makasih yah." Kepala Papa Bella hanya mengangguk, menanggapi perkataan Ibunya Cahaya. Lantas Talita, Bella sertanya Papanya melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan dimana Cahaya berada.

Ibu Cahaya yang sedang menatap kepergian mereka, begitu terkejut saat mendengar salam dari Anugrah.
"Eh, Waalaikumsalam. Anda siapa yah?" tanya Ibu Cahaya kepada Anugrah.

"Saya Anugrah. Dosen Cahaya bu," beritahu Anugrah dengan sopan.
"Ouh, Pak dosen toh. Iya ada apa Pak dosen?" wanita itu bingung dengan kehadiran Anugrah.

Anugrah mengulas sebuah senyuman di wajahnya. "Panggil Nugrah saja Bu, jangan Pak dosen,"

Ibu Cahaya mengangguk. " Iya nak Nugrah, ada apa?" sejenak Ibu Cahaya terdiam. Lantas berpikir sejenak sambil menatap Anugrah. "Kamu Anugrah? Pak Nugrah? Dosen ganteng, dambaan kaum hawa?" terka Ibu Cahaya.

Mendengar terkaan Ibu Cahaya, Anugrah tersenyum malu. "Bukan kok bu,"

"Kamu ini merendah. Kamu memang ganteng kok. Sholeh lagi. Ibu tahu dari Cahaya. Dia cerita semuanya sama Ibu!" beber Ibu Cahaya.

Hati Anugrah rasanya langsung berbunga-bunga, mendengar perkataan Ibu Cahaya. Namun, ia segera tersadar. Bukan saatnya untuk berbunga-bunga. Namun meminta maaf kepada keluarga Cahaya.
"Ada apa Nak Anugrah?" tegur Ibu Cahaya.

Anugrah langsung tersadar. "Ouh, ng ini bu," Anugrah mengambil napas dalam-dalam terlebih dahulu. Sebelum mengucapkan maaf.
"Saya, mau minta maaf sebesar-besarnya," ucap Anugrah dengan tulus.

Dahi Ibu Cahaya bergelombang mendengar ucapan Anugrah. "Kamu minta maaf, untuk apa?" Ibu Cahaya sungguh tak mengerti.

Anugrah menundukkan kepalanya, tak berani menatap wajah Ibu Cahaya. "Karena adik saya telah menodai anak Ibu, Cahaya. Saya mohon maaf, bu. Maaf atas kelakuan adik saya yang sungguh keterlaluan!" Anugrah terus menundukkan kepalanya. "Ibu boleh marah, mencaci, memaki saya atas kelakuan adik saya. Gak apa-apa bu. Saya siap dimaki ataupun dicaci!" ucap Anugrah lagi.

Terdengar helaan napas dari Ibu Cahaya.

"Angkat wajahmu nak Nugrah!" suruh Ibu Cahaya. Anugrah pun menurut. Anugrah dengan takut-takut menatap wajah Ibu Cahaya. Tak ada raut wajah amarah ataupun sorot mata kebencian dari wanita itu.

"Saya ndak akan marah apalagi mencaci maki kamu, ataupun adikmu itu," Anugrah sangat syok mendengar perkataan Ibu Cahaya tadi.

"Ke-kenapa Bu?" Anugrah tak mengerti.

"Gimana yah nak Nugrah, kalau Ibu marah-marah, memaki-maki, dan menyumpah serapah kalian, apakah Cahaya bisa sembuh seperti sedia kala? Apakah Cahaya akan kembali baik-baik saja seperti sebelumnya? Tentu tidakkan? Malah menambah dosa saja. Ibu gak marah bukan berarti ndak sayang sama Cahaya, cuma sebagai orang tua kita seharusnya menjadi panutan seorang anak. Bagaimana cara menghadapi suatu ujian. Saya tidak marah, tapi saya sedih karena terlalu berat ujian yang diberi kepada Cahaya. Mungkin Allah mempunyai rencana dibalik musibah yang menimpa. Tetap berprasangka baik saja nak kepada Sang Khalik," ungkap sang ibu.
Anugrah terdiam mendengar perkataan ibu Cahaya. Ia menatap senduh wajah ibu tua itu.

"Astagfirullah Buk, maafi Anugrah Bu,"

"Lho kenapa nak Nugrah minta maaf lagi?"

"Anugrah telah berprasangka buruk kepada Ibu dari awal. Anugrah pikir Ibu akan memaki saya dan Langit. Sungguh mulia hati Ibu," kata Anugrah dengan mata yang berkaca.

"Astagfirullah nak Anugrah ini, marah mengikuti napsu berarti kita telah tergoda oleh rayuan setan. Jika kita marah-marah, memaki berarti kita telah mengikuti bisikan dan ajakan setan. Ngapai kita ngikuti bisikan setan? Kita punya iman dihati yang menjadi pedoman untuk kita menjalankan kehidupan di dunia ini," jelas Ibu Cahaya, Anugrah mengangguk paham ucapan Ibu separuh baya itu. Ia kagum dengan Ibu Cahaya yang sungguh bijak itu. Baru tahu Anugrah mengapa Cahaya tumbuh menjadi gadis yang begitu sholeha.

"Iya Bu, makasih sudah mengingatkan saya. Saya juga meneyesal sempat dikuasi rasa amarah Bu. Saya akan mengingat kata-kata Ibu," janji Anugrah kepada Ibu Cahaya.

"Sesama kita harus saling mengingatkan bukan?" Anugrah menganggukan kepalanya saja mendengar pertanyaan Ibu Cahaya.

"Oh yah Nak Nugrah, kamu lebih baik pulang," suruh Ibu Cahaya.

"Bukannya ngusir lho nak. Tapi lebih baik, nak Nugrah pulang. Dan istirahat. Biar Ibu saja yang menjaga Cahaya!"

Anugrah dengan terpaksa mengangguk. "Iya, saya akan pulang Bu. Semoga Cahaya lekas siuman. Dan pulih seperti sediakala."

"Aamiin ya Allah," Ibu Cahaya mengamini ucapan Anugrah.

"Ya sudah, saya pamit pulang. Assalamualaikum, Bu,"

"Waalaikumsalam."

Setelah salamnya dijawab oleh Ibu Cahaya, Anugrah pun segera melangkahkan kakinya, pergi dari sana.

Anugrah Cahaya Langit [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang