Bab 14

9.1K 539 6
                                    

Ibu Cahaya segera masuk ke dalam ruangan anaknya. Ia juga menutup pintu. Lalu ia berjalan ke arah anaknya, yang masih tak sadarkan diri.

Wanita paruh baya itu duduk, di sisi kanan ranjang. Perlahan ia meraih jemari anak gadisnya, lalu menggenggamnya dengan erat.

"Ya Allah, Cahaya anakku. Betapa beratnya ujianmu sayang," ucap wanita itu dengan derai air mata yang jatuh di sudut matanya.

"Ya Allah, kenapa Engkau berikan cobaan yang berat buat putriku! Dia masih begitu muda, Ya Allah," adunya kepada Sang Maha Pecipta.

"Ya Allah, berikan kekuatan serta kesabaran yang tiada batas untuk Cahaya. Berikan ia kekuatan, untuk mengahadapi cobaan-Mu ini," Ibu Cahaya memohon kepada Sang Khalik. Karena hanya kepada-Nya tempat ia mengadu.

Air mata wanita itu terus mengalir. Suara isak tangis wanita paruh baya itu memenuhi ruangan dimana Cahaya dirawat.

Puas rasanya ia menangisi nasib anaknya, akhirnya wanita itu diam. Menatapi wajah putrinya, yang tak kunjung sadar.

Awalnya wanita kedua mata Ibu Cahaya masih menyala. Namun, rasa kantuk menghampirinya. Ia pun merebahkan kepalanya, di sebelah Cahaya. Sebelum ia memejamkan matanya, ia berharap agar Cahaya segera tersadar.

Perlahan Cahaya membuka kedua kelopak matanya. Seketika ia tersadar dari tidurnya, ia memandang ruangan yang serba putih itu. Ia mengerutkan keningnya seakan bertanya pada dirinya, "Sedang dimana dia berada dan apa yang telah terjadi kepadanya?"

Namun saat ia menoleh ke kanan, ia melihat seorang wanita setengah baya sedang tertidur pulas di sisi ranjangnya. Cahaya mengenal persis siapa wanita itu.

"I ... ibu ... I ... bu ..." panggil Cahaya dengan lemah kepada Ibunya yang sedang tertidur pulas.

"Bu ... Ibu ..." panggil Cahaya lagi, untuk membangunkan Ibunya dengan memegang telapak tangan Ibunya.

"Hmmm, Cahaya?" tanya sang Ibu yang masih belum sepenuhnya sadar.

"Bu, bangun ini kita dimana?" Cahaya bertanya dengan suara lemah. Wanita muda itu masih bingung, dimana ia sekarang.

"Ah, Cahaya? Kamu sudah sadar nduk? Alhamdulillah ya Allah." Dengan penuh syukur Sang Ibu sambil memeluk Cahaya, air matanyanya pun, lagi-lagi jatuh dari sudut matanya.

"Ya Allah Aya. Ibu pikir bakal kehilangan kamu nduk," lanjut Ibu Cahaya setelah melepas pelukannya lalu menyeka air matanya.

Kening Cahaya bergelombang.

"Emangnya Cahaya kenapa Bu?" tanya Cahaya lagi seakan tak masih ingat apa yang telah terjadi kepadanya. "Apa yang terjadi sama Cahaya bu?" cecar Cahaya tak sabar. Karena Ibunya sedari tadi hanya diam saja.

Ibu Cahaya tersenyum dengan senduh mengusap kepala Cahaya.

"Apa pun yang terjadi kepada kamu nak, kamu harus menerimanya dengan ikhlas dan tabah. Ingat dibalik semua itu ada rencana Allah untuk kita. Jangan pernah menyalahkan Allah mengapa ini semua menimpa kamu, ini semua adalah ujian dari-Nya. Jadi, kamu harus ikhlas menerimanya dan menjalaninya." Sang Ibu mencoba menguatkanya putrinya.

Mendengar jawaban dari Ibunya, semakin membuat Cahaya tak mengerti. Namun, wanita muda itu hanya menggangguk mendengar ucapan sang Ibu.

Ibu Cahaya mengelus kepala Cahaya dengan rasa penuh kasih sayang.
"Nduk," panggil Kusniah kepada anaknya.

"Ya bu?"

"Ibu mau panggil dokter dulu. Kamu berani di sini sendiri?"

Kepala Cahaya mengangguk. "Berani kok Bu," jawab Cahaya.

Kepala Ibu Cahaya mengangguk. "Iya, Ibu tinggal dulu yah. Biar kamu di periksa nduk sama dokter. Sama nelepon Ayahmu, ngabari kalo anaknya dah siuman. Ibu tinggal dulu yah sayang." Pamit sang Ibu kepada Cahaya namun sebelum bangkit keluar sang Ibu mengecup kening putri satu-satunya lalu ia pergi keluar kamar Cahaya.

Setelah Ibunya hilang dari balik pintu, Cahaya menggali memori ingatannya kembali. Ia berusaha keras untuk mengingat kejadian yang menimpa dirinya.

"Apa yang telah terjadiku?" gumamnya dengan lemah. Ia tak memaksakan ingatannya yang belum pulih. Tiba-tiba kepalanya terasa sakit, ia pun menyerah dan menutup matanya untuk istirahat sembari menunggu Ibunya. Ia akan bertanya kepada Ibunya saja langsung nanti.
Namun tak lama setelah ia menutup matanya, ia langsung membuka matanya kembali. Keringat dingin menyerang tubuhnya. Bulir bulir keringat keluar dari dahinya dan membanjiri wajahnya. Detak jantung Cahaya berdegup kencang tak karuan, irama degupan jantungnya begitu cepat tak beraturan. Dada Cahaya begitu sesak, ketika ia ingat apa yang telah terjadi kepadanya.

Kini ia tahu kenapa ia berada di sini dan apa yang terjadi kepadanya. Malam terkutuk itu telah merebut masa depannya. Telah merengut impiannya dan menghancurkan hidupnya. Ia telah diperkosa.
Air mata terus mengalir jatuh ke pipinya. Cahaya memeluk tubuhnya yang sudah ternoda. Ia begitu kotor pikirnya. Ia dengan lemahnya berusaha bangkit dari tidurnya. Dengan berlinang air mata, ia terus menangisi keadaannya.

"Mengapa ini terjadi kepadaku ya Rabb? Apa salahku? Terlalu besar ujian yang Kau berikan kepadaku? Kenapa harus aku?" ucap Cahaya di sela tangisnya. Ia mencabut selang infus dari tangannya. Rasa sakit tak lagi ia rasakan. Ia berjalan tertatih menuju kamar mandi. Masih dengan air mata yang tak berhenti menyucur deras keluar dari air mata.

Ia menatap cermin yang di kamar mandi. Ia melihat dirinya sendiri di depan cermin itu. Ia memandangi wajah pucat bersimbah air mata.

"Ahhhhh!" Cahaya menangis histeris. "Aku sudah kotor! Aku hinaa. Tak pantas lagi aku memakai jilbab ini!" dengan derai air mata, Cahaya melepas jilbabnya. Ia membuang jilbab yang dipakaikan Ibunya sembarangan.

Tangis Cahaya tak reda juga malah semangkin parah. Ia marah, ia kesal, mengingat kejadian yang menimpanya. Ia malu, kepada dirinya yang tak bisa menjaga dirinya. Menjaga kehormatannya. Menjaga kepercayaan keluarganya. Malah ia mencoreng nama baik keluarganya.
Napasnya tersegal segal kala mengingat lelaki yang menodainya. Andai saja waktu bisa di ulang, Cahaya pasti bisa menghindar.
Ia pun menyeka air matanya lalu berjalan mendekat ke bak mandi. Ia mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Kali ini tanpa air mata.

"Tubuh ini kotor!" gumamnya sambil terus mengguyur tubuhnya sendiri dengan tatapan kosong.

Ibu Cahaya lemas melihat anaknya yang basah kuyub di pojok kamar mandi. Hati ibu mana yang tak luka melihat anak gadisnya menderita. Ia beserta perawat membawanya kembali ke dalam kamar. Dengan menahan air mata ia mengganti pakaian anaknya. Ya Allah cobaan apalagi yang engkau beri kepada keluarga kami? Batin Ibu Cahaya saat menggantikan pakaian Cahaya.
Hati Ibu mana yang tak miris melihat kondisi anak tercinta mengalami pil pahit sebuah kehidupan ini. Ujian hidup dikeluarga mereka tak henti-hentinya. Air mata Ibu Cahaya tak keluar lagi. Dia sudah menerima ujian ini dengan lapang dada, tapi bagaimana dengan anaknya?
•••

Anugrah Cahaya Langit [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang