Bab 25

9.5K 562 22
                                    

Cahaya langsung terkesiap. Ia langsung mengangkat kepalanya. "Ya Pak?" tanyanya kepada Anugrah yang berada beberapa langkah di depannya.

"Kamu melamun?" Anugrah bertanya dengan penuh perhatian.

Cahaya menggelengkan kepalanya. "Ndak kok. Aya ndak melamun," sangkalnya.

Anugrah hanya membulatkan bibirnya."Mungkin kamu kelelahan. Lang, ajak istrimu ke kamar. Liat tuh mukanya pucat. Butuh istirahat," Anugrah menyuruh sang adik.

"Iya, bener itu Lang, ajak Cahaya ke kamarmu," Arman ikut-ikutan menyuruh Langit.

"Ya Pa," Langit mengangguk patuh. Lantas Anugrah pun langsung masuk kembali ke kamarnya, tanpa pamit kepada keluarganya. Ia sudah tak tahan, melihat Cahaya  berdiri bersebelahan dengan Langit. Dadanya sudah sesak. Makanya, ia cepat-cepat  pergi ke kamarnya.

"Ayo, saya ajak ke kamar!" ajak Langit kepada Cahaya. Cahaya hanya mengangguk.

"Pa, kami ke kamar dulu," Langit pamit kepada sang Ayah. Arman hanya menganggukkan kepalanya. Ia menatap Cahaya yang membuntuti Langit dari belakang, dengan lesuh.

Lelaki paruh baya itu pun berjalan ke arah sofa. Ia menghempaskan tubuh rentanya di sofa yang empuk.

Arman menghela napasnya. Ia bermemijit pelipisnya yang sudah penuh kerutan. Akhirnya, masalah terselesaikan juga.

Ia melirik kamar Anugrah yang tertutup rapat. Kasihan penghuni kamar itu, menjadi korban keegoisannya.

⁂⁂

Langit membuka pintu kamarnya dengan lebar. "Silahkan masuk!" suruhnya kepada Cahaya. Cahaya dengan wajah datar masuk ke dalam kamar Langit. Kemudian disusul Langit. Lelaki itu memasuki kamar yang ia rindukan.

Mendengar derap langkah kaki di belakangnya, Cahaya membalikkan badannya. "Ngapain ikut masuk?" tanyanya dengan dingin.

Langit mengkerutkan dahinya mendengar pertanyaan wanita yang ada di depannya. "Eh, anu. Inikan kamar saya, yang jadi kamar kamu juga," Langit terdiam sesaat, untuk mengambil napas. "Ng, jadi kita berbagi kamar," jawab Langit dengan susah payah.

Cahaya berdecak kesal. Tanda ia tak suka harus satu kamar dengan dirinya

Dan Langit langsung paham, dengan reaksi sang istri. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Ng, kalo mau kita satu kamar, gak apa-apa. Ng, biar kamar ini untuk kamu aja," kata Langit kepada Cahaya. "Tapi, izinkan aku ambil pakaian yah!" pintanya.

"Hmm," respon Cahaya dengan malas. Lalu ia pun berjalan mendekati kasur milik Langit. Cahaya duduk di pinggiran kasur yang ukurannya dua kali lipat dari kasurnya. Ia meletakkan tasnya, di sisi kirinya. Ia menghela napas dengan berat.

Lalu bola matanya, menatap manik mata Langit. Mata mereka beradu. Cahaya langsung memalingkan wajahnya dengan cepat.

Mata yang indah. Puji Langit dalam hati. Ia pun berjalan mendekati lemari raksasanya. Ia membuka pintu lemarinya, memilih pakaiannya dengan cepat. Lalu ia segera keluar dari kamar. Ia akan mandi di kamar mandi milik pembantunya.

"Cahaya, mau aku tutup pintunya atau dibuka saja?" di ambang pintu Langit bertanya kepada Cahaya.

Cahaya mendengus kesal mendengar pertanyaan Langit.

"Tutup saja!" Cahaya menjawab dengan kesal.

"Bai-baiklah, saya tutup yah," Cahaya hanya memutarkan manik matanya, sebal. Cahaya menatap pintu kamar yang sudah tertutup. Cahaya mengembuskan napasnya. Dia heran kepada dirinya sendiri. Entah kenapa sikap lembutnya hilang, jika berinteraksi dengan Langit. Jarang sekali ia berkata dengan nada tinggi kepada orang. Mungkin, karena Langit adalah penyebab kedukaannya.

Anugrah Cahaya Langit [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang