Bab 17

8.7K 592 7
                                    

Anugrah baru saja masuk ke dalam mobilnya. Namun, ponsel yang berada di sakunya berdering. Ia pun segera mengambil ponselnya. Ia menatap layar ponselnya, melihat nama si penelpon.

Dimas.

Anugrah pun langsung menerima panggilan itu.

Assalamualaikum, Anugrah langsung memberi salam.

"Waalaikumsalam Pak," Dimas ketakutan salam lelaki itu.

"Ada apa Dim?" tanya Anugrah tanpa basa basi lagi.

“Pak, Pak Langit masuk rumah sakit. Dia pingsan tadi pagi,” beritahukan Dimas. Anugrah hanya menghela napasnya mendengar kabar itu. “Pak Langit melarang saya, memberitahukan hal ini. Karena, katanya Bapak telah membencinya,” Dimas diam-diam, Anugrah menahan napasnya mendengar kata-kata Dimas.

Jujur, ia tidak pernah sekalipun tahu langit, adiknya itu. Kata-kata itu lolos begitu saja, karena saking emosinya dia.

"Pak Langit, gak mau makan atau minum obat Pak. Mungkin, Bapak saudaranya bisa merujuknya untuk makan dan meminum obatnya. Saya tidak bisa merujuknya ke Pak. Mungkin Bapak bisa. Kalau Bapak mau," kata Dimas dengan rasa penuh harap yang besar.

Anugrah lagi-lagi menghela napasnya. "Ya saya akan ke sana."

"Ouh, baiklah Pak. Saya tunggu Bapak di sini."

"Hem, iya. Ya sudah saya tutup teleponnya yah. Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam." Mendengar Dimas rekaman salamnya, Anugrah pun memutuskan panggilan itu.

Anugrah pun menyimpan kembali benda pipih itu, ke tempatnya. Lantas ia menghidupkan mesin mobilnya. Lalu kaki lelaki itu memiijak pedal gas mobilnya. Dan perlahan mobilnya bergerak maju, meninggalkan kos-an Cahaya.

⁂⁂⁂

"Pak Anugrah!" Anugrah yang baru turun dari mobilnya, langsung menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya. Siapa lagi kalau bukan Dimas. Lelaki yang lebih muda dari anak itu berjalan menghampirinya.

"Kamu nunggui saya Mas?"

Dimas langsung menganggukkan kepalanya. "Iya Pak. Tadi Pak Langit melarang keras memberitahukan tentang dia yang masuk ke rumah sakit. Namun, walau bagaimana pun, saya rasa Bapak tetap harus tahu keadaan saudara Bapak itu. Saya gak salahkan Pak?" ada guratan khawatir di wajah Dimas.

Anugrah menepuk-nepuk pundak Dimas. "Gak apa-apa Mas. Saya malah terimakasih, kamu selalu ada buat Langit,"

Senyum Dimas Merekah. "Kan saya dibayar," ujarnya dengan nada bercanda.

Anugrah menjentikkan jarinya di depan wajah Dimas. "Bener juga yah Mas," lalu lelaki itu tertawa tanpa suara.

"Ya sudah ayok Pak ke dalam!" ajaknya.

"Bentar. Saya pakai kacamata dulu!" Dimas hanya memutar matanya, melihat kelakuan atasannya.

"Sudah?" Anugrah menganggukkan kepalanya. "Silahkan, jalan duluan Pak!"

"Kita jalan beriringan saja Mas," tolak Anugrah saat mendengar kata-kata Dimas. "Kita ini sama kok derajatnya dimata Allah!" imbuhnya lagi. Dimas hanya menurut saja mendengarkan perkataan atasannya.

Dan berjalanan mereka beriringan memasuki rumah sakit. Begitu Anugrah memasuki rumah sakit. Ia melihat, semua mata tertuju kepadanya. Terutama kaum hawa. Muda ataupun tua. Pasien maupun perawat. Matanya tertuju kepada dirinya. Ia heran.

"Mas, kok semua mata tertuju padaku? Emang aku Nona Indonesia yah? Semua mata kok tertuju kepadaku sih?" Anugrah bertanya kepada Dimas.

"Karena Bapak ganteng," jawabnya dengan santai.

Anugrah Cahaya Langit [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang