Davilza membuka tirai jendelanya, membiarkan sinar mentari menembus kaca jendela yang membuat kamar tidurnya menjadi terang seketika karna sinar tersebut. Davilza menatap jalanan yang ada diluar, tidak ada yang berbeda dari hari biasa. Lingkungannya sepi, tidak ada yang saling menyapa selamat pagi, tidak ada ibu-ibu yang sibuk membicarakan orang lain ketika sedang membeli sayur. Hanya ada jalan yang sepi.
Laki-laki itu berlalu. Pikiran tentang Rando cukup mengganggunya. Pasalnya saat Davilza sudah pamit pulang kepada Gavi, Rando masih juga belum kembali. Davilza pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kamar tidurnya. Sejenak, ia menatap dirinya pada kaca lebar yang menampakkan dirinya dari atas kepala hingga bagian pusar. Mata elangnya memicing. Siapapun yang berani masuk ke dalam mata itu, mereka akan tersiksa melihat segala kesedihan yang di derita laki-laki itu. Semua ia lewati sendiri, sadar atau tidak, beberapa kali ia pernah merasa terganggu dengan kehadiran orang lain disisinya.
Davilza membasuh wajahnya kemudian, ketika ia menghadap ke kaca lagi, ia menemukan sosok anak kecil di belakangnya. Davilza refleks menoleh dengan ekspresi keterkejutannya.
"Kenapa kamu mau balas dendam?" tanya anak kecil itu.
Davilza kenal benar siapa sosok anak kecil dihadapannya. Itu adalah dirinya sendiri di masa lalu, "lo tau sendiri alasannya."
"Kamu benci kekerasan, ingat?"
Davilza terdiam.
"Kamu benci ketika papa menampar mama, ingat?"
Davilza bergeming.
"Bukankah kamu benci untuk menjadi orang jahat, diriku?" Davilza masih terdiam. "Kenapa tidak dijawab? Apa kini kamu mewarisi sifat papa secara tidak sadar?"
"Gue..."
"SIFAT ITU MENURUN KE KAMU!" seru anak kecil itu. "KAMU MENJADI ORANG JAHAT! KAMU SAMA SEPERTI PAPA! KAMU TIDAK PERNAH MEMIKIRKAN PERASAAN ORANG LAIN! KAMU JAHAT! JAHAT! JAHAT!"
Davilza menutup telinganya, kemudian ia berjalan mundur sampai ke sudut ruangan. Ia kemudian berjongkok disana.
"JAHAT! KAMU SAMA SEPERTI PAPA, DAVILZA!"
"HENTIKAN!" Davilza berseru dengan napas yang menderu, "hentikan...gue mohon...berhenti...." kini suara Davilza berubah jadi isak, ia menangis. "Gue mohon, berhenti..."
Kemudian sosok anak kecil itu digantikan dengan sosok bayangan seorang wanita. Yang tak lain adalah seorang yang pernah ia panggil mama.
Tangan sosok itu menangkup pipi kanan Davilza,"Lupakan hal yang menyakitimu, Davilza. Ikhlas, itu yang mama lakukan selama ini ketika bersama papamu. Dunia ini indah, jika kamu tidak berpikir untuk balas dendam. Jangan lampiaskan itu pada orang lain, anakku."
Davilza tersentak, kemudian saat ia mengangkat kepalanya, berniat menatap ibunya. Sosok itu sudah hilang. Kini ia hanya sendiri di dalam kamar mandinya. Davilza kemudian membenamkan kepalanya diantara kedua lutut. Beberapa kali ia mengembuskan napas secara kasar.
"Gue coba untuk sama dia dulu satu hari ini. Sisanya, bakal gue pertimbangkan."
Setelahnya ia menyalakan shower.
[=]
"Hiks... Ini kenapa coba, hiks..." Nada kemudian mengusap air mata yang tidak henti-hentinya terjatuh dari pelupuk mata. "Gabisa gini dong," ia kembali menggerutu pada buku yang sedang ia baca. Namun walau begitu, ia tetap melanjutkan bacaannya hingga halaman terakhir.
"Ash," Nada kembali mengelap air mata yang tersisa. "Ini penulisnya kenapa sih, pakai di meninggalin segala pemeran utamanya." Gerutu Nada kemudian bangkit dan menaruh novelnya diatas meja belajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
We (Don't) Have Relationship
Teen FictionTanpa aku, kamu masih tetap bisa ngejalanin hidup kamu sebagaimana biasanya. copyright©2018 by BlueNeptunies