Seperti biasa, Revan berkeliling untuk memeriksa pasiennya, dan sekarang waktunya pria itu memeriksa kamar anak dari sahabat kecilnya sekaligus sahabat dari kedua anak kembarnya.
Pintu terbuka, menampakkan seorang laki-laki yang sedang duduk dengan menatap ke jendela besar yang ada di samping ranjang.
"Selamat pagi, Filan." Sapa pria yang menggunakan snelli tersebut setelah masuk ke dalam ruangan Filan.
Filan menoleh dan membalas sapaan tersebut seraya tersenyum, "pagi, Oom."
"Gimana perasaan kamu? Maksud oom, gimana perasaan kamu tentang kondisi fisik kamu?"
"Baik banget. Saya merasa sehat , gak tau kenapa."
"Tadi malam kan ada yang cium kening kamu, masa gak sadar." Revan terkekeh setelah mengatakan hal tersebut.
"Hah? Maksud oom?" tanya Filan bingung.
"Lah? Jadi beneran gak sadar?" Revan tertawa pelan. "Lupain deh, intinya kamu sekarang baik ya. Lagian pake pingsan segala, mana abis pingsan kondisi kamu langsung drop. Oom kaget banget."
Filan tersenyum. Kemudian percakapan mereka terhenti ketika pintu terketuk dan menampilkan seorang perempuan berkacamata setelah pintu terbuka. Senyum Filan perlahan memudar. Entah kenapa, sejak kemarin orang yang ia harapkan datang tidak kunjung menemuinya. Benar apa kata William jika orang itu tidak mungkin tidak mengunjunginya hanya karna alasan organisasi.
"Oh papa, lagi meriksa kondisi, Filan?" tanya gadis itu.
Revan mengidikkan bahu. "Ya, kayak yang kamu lihat." Revan menjeda, "yasudah. Oom pergi dulu ya, Filan. Kalau nanti sore pas oom cek kondisi kamu sudah stabil, kamu boleh pulang."
Mata Filan melebar dengan binar, "beneran, Oom?"
Revan mengangguk kemudian menepuk puncak kepala Filan. "Makanya semangat terus, ya."
Filan mengangguk antusias.
Gadis itu, Alana masih berada di ambang pintu ketika Revan pergi ke luar ruangan. Sebelum benar-benar pergi, Revan kembali berucap.
"Bawa Nada kesini," ucap Revan sambil menepuk pundak Alana. "Filan itu butuh Nada."
Alana terdiam sampai Revan benar-benar pergi meninggalkan ruang tersebut. Filan yang melihat Alana lama terdiam, menegur gadis itu. Membuat Alana tersentak sedetik kemudian, namun ia bisa menetralkan ekspresinya. Gadis itu kemudian berjalan mendekati tempat dimana Filan sedang duduk.
"Lo gak sekolah? Dari kemaren gue rasa lo disini mulu,"
"Kapan lagi gue bisa sama lo selain sekarang?" Alana balik bertanya. "Apa perkataan gue waktu di ruang musik itu kurang jelas, kalau gue suka sama lo, Filan? Asal lo tau, perasaan gue udah melebihi apa yang seharusnya. Itu alasan kenapa gue gak bisa nerima Wahyu ataupun Zavano. Itu semua karena lo."
Filan mengatupkan bibirnya. Jujur ia membenci situasi ini. Ia mengenal Alana setelah gadis itu berteman dengan Nada. Jika menyangkut perasaan gadis itu, Filan sendiri tidak mengetahuinya. Entah ia yang terlalu tidak peka atau memang Alana yang pintar menyembunyikannya.
"Tapi, gue tau. Lo gak bakal balas perasaan gue, kan?"
Filan masih diam.
"Jawab gue, Filan. Gue gak lagi ngomong sama batu, kan?"
"Ya. Gue gak bisa." Filan menjawab dengan nada datar tanpa ekspresi. "Kalau lo tanya kenapa, gue gak bisa karna, satu, gue belum siap ngejalanin sebuah hubungan seserius pacaran. Dua, gue gak suka sama lo. Tiga, lo pantas dapat yang lebih baik daripada gue." Filan mengambil napas sebelum melanjutkan. "Mending, lo lupain perasaan lo itu, Alana. Lo cuman bakal sakit kalau lo biarin perasaan itu terus tumbuh. Dan gue gak mau lo sakit,"
KAMU SEDANG MEMBACA
We (Don't) Have Relationship
Teen FictionTanpa aku, kamu masih tetap bisa ngejalanin hidup kamu sebagaimana biasanya. copyright©2018 by BlueNeptunies