4 - KEPUTUSAN NITYA

14.6K 1K 13
                                    

"Mas Hansa?"

"Yes," Hansa berbalik dan menghentikan langkahnya menuju lift. Ia berbalik untuk melihat siapa yang memanggilnya.

"Saya Zul, Mas. Creative timnya Bang Le," Zul mengangguk, mengenalkan diri sambal tersenyum.

"Iya kenapa Zul?"

"Bang Leandro minta saya hubungi Mas Hansa untuk tanya soal planning untuk program animasi kita yang baru. Apakah ada yang perlu didiskusikan lagi setelah meeting sama Bang Le kemarin? Tadinya saya mau nyamperin Mas Hansa ke meja tapi kebetulan ketemu di sini. Jadi saya pikir sekalian aja. Gapapa Mas?" Zul tersenyum, menunjukkan itikad baik agar Mas Hansa yang terhitung posisinya lebih tinggi dari dirinya bisa tetap lunak dan tidak marah kepadanya.

"Ah kebeneran. Leandronya ada? Biar kita diskusi di tempatnya dia aja," Hansa menunjuk ke arah ruangan Leandro.

"Ada, Mas. Baru banget datang. Boleh kalau gitu kita ke ruangannya aja,"

Mereka berdua berjalan beriringan menuju ruangan Leandro. Sambil berjalan, membicarakan program baru yang rencananya akan ditayangkan mulai awal tahun 2018 namun semuanya bergantung pada hasil keputusan Hansa sebagai bagian dari tim Programming.

Ketika dua orang itu berbelok, Nitya menghela nafas. Entah kenapa melihat Hansa dan Zul sedang mengobrol membuat dirinya agak was-was. Bukan Nitya tidak tahu bahwa Hansa sudah lama menyimpan perasaan padanya. Nitya tahu dengan jelas karena Hansa tidak pernah ragu untuk menunjukkan perasaannya pada Nitya. Hanya saja Nitya tidak mau. Hansa tidak jelek. Beberapa perempuan malah melihatnya tanpa berkedip ketika ia lewat. Hansa juga bukannya galak. Anggota timnya selalu memuji Hansa sebagai atasan yang ramah dan sopan. Hansa juga bukannya cungpret seperti dirinya. Ia sudah lama bekerja di TV dan memiliki posisi yang baik dan jadi andalan banyak orang. Hansa juga bukan berbeda agama dengannya. Secara keseluruhan, Nitya tidak punya alasan untuk menolak Hansa, perbedaan usia 5 tahun pun tidak bisa menjadi alasan.

Satu-satunya yang membuat Nitya mengabaikan Hansa karena ia memilih orang lain.

***

"Nit, jomblo gak?" tanya Mas Opang pada Nitya, ketika Nitya masih merupakan anak baru di Divisi Programming, Departemen Akuisisi.

"Eh?" Nitya ragu-ragu menjawab pertanyaan tersebut. Apalagi ketika hampir seluruh karyawan divisi Programming sedang menatapnya. Namun Mas Opang si Kepala Departemen R&D sedang menunggu jawaban darinya. "Jomblo, Mas."

Semua orang langsung bersorak. Tampak senang begitu mendengar Nitya rupanya belum memiliki seorang kekasih. Nitya menoleh ke kanan ke kiri. Meminta pertolongan mengenai bagaimana ia harus bersikap. Seorang karyawan perempuan di sebelahnya, Mbak Widya, tersenyum sambal menggeleng, menepuk pundak Nitya seperti menguatkan.

"Nih si Hansa juga jomblo," Mas Opang mengacak rambut seseorang yang duduk di sebelahnya. Yang ditunjuk Nampak sebal dan matanya menyipit. "Udah tua tapi masih jomblo, Nit."

Nitya hanya bisa meringis saat itu. Ia belum banyak mengenal orang-orang di sini. Ia hanya tahu Mas Hansa sebagai Section Head bagian Planning & Scheduling dan ia belum banyak berinteraksi karena bulan-bulan pertama Nitya bekerja, Hansa sedang ada keperluan ke luar kota. Saat di kantor pun ia banyak meeting di tempat lain.

"Namanya Hansa. Usia 30, masih jomblo. Jabatan oke, kekayaan aman, keluarga baik-baik. Kalau lo mau, kita dukung, Nit," ujar Mas Opang lagi.

Nitya mengangguk dan berusaha tersenyum. "Eh iya makasih, Mas,"

"Yah dia bilang makasih," lanjut Mas Opang dan membuahkan tawa dari orang-orang sekelilingnya.

Nitya memperhatikan, Hansa hanya cemberut dan tidak mengatakan apa-apa. Ketika akhirnya Hansa bergerak, ia menjauhkan diri dari jangkauan Mas Opang dan berkata, "Berisik lo semua."

Dari sudut matanya Nitya memperhatikan Mas Hansa pergi menjauhi teman-temannya. Parka hijau yang biasa ia pakai mengibas seiring langkahnya.

***

"Nanti ada jadwal manggung ya?" tanya Maara pada Putra saat mereka sedang makan siang bersama-sama dengan teman-teman lainnya. Para karyawan yang masuk PTV bersama-sama.

"Kata siapa?" Putra menatap Maara tepat di mata. Membuat Maara sedikit tersentak dan jantungnya berdebar agak lebih cepat.

"Rizky," Maara menunjuk Rizky yang duduk di sebelah Putra. Ditunjuk begitu, Rizky langsung melotot dengan mulut penuh berisi makanan.

Putra menatap Rizky dengan tatapan seperti memperingatkan. Rizky balas menatap dengan tatapan bersalah dan cepat-cepat mengalihkan pandangan untuk kembali makan.

"Bohong," balas Putra akhirnya.

"Masa sih? Tadi Rizky bilang dengan yakin kok. Katanya kamu bilang sama Mas Ian buat minta ijin gak piket hari Sabtu ini karena ada jadwal manggung," Maara yakin sekali bahwa itu yang dikatakan Rizky tadi sebelum mereka makan siang bersama-sama. Bahwa tim Marketing perlu datang setidaknya satu kali Sabtu setiap bulannya untuk mengurusi beberapa permintaan klien. Sedangkan untuk pekan ini Putra meminta pertukaran jadwal karena ada tawaran manggung.

"Salah denger dia," jawab Putra cuek.

"Jadi Sabtu ini lo tetep masuk?" Rizky menimpali.

Putra tidak menjawab.

"Gue bilang Mas Ian nih," Rizky mengambil ponsel dan seakan-akan ingin menelepon atasan mereka.

Putra mengambil ponsel dari tangan Rizky dan menyimpannya di meja. "Nanti gue yang bilang Mas Ian,"

Maara menatap kedua temannya ini dan sampai pada sebuah kesimpulan. "Bener kan ada jadwal manggung. Kok gak mau bilang sih?"

"Gak ada. Rizky ngarang," Putra masih saja ngeles. Ia langsung menyelesaikan makan dan berdiri. Meninggalkan teman-temannya.

"Itu anak kenapa deh?" Maara menoleh pada Rizky dan temannya yang lain.

"Emang aneh dia. Kayak baru kenal aja," timpal Sakina, teman Maara dari Divisi Human Capital.

"Beneran kok dia ada jadwal manggung," Rizky menambahkan. "Nih,"

Rizky menunjukkan percakapan di grup WA Marketing. Di situ tertera chat dari Mas Ian yang mengatakan bahwa ada perubahan jadwal piket karena Putra ada keperluan manggung. Bahkan Mas Ian mengajak yang tidak piket untuk menonton Putra.

"Tuh kan! Kenapa dia gak mau bilang?" Maara menatap teman-temannya satu per satu.

"Malu kali," Rizky mengangkat bahu.

"Kalau malu, buat apa jadi vokalis band!" gerutu Maara.

***

Biasanya Hansa sudah mencari makan malam sejak pukul 7. Hanya saja tadi Mas Tito menawannya di ruang pribadi Mas Tito bersama para Kepala Divisi Produksi, Leandro, Dadang, dan Jani, untuk membahas program unggulan 2018. Akibatnya ia baru keluar pukul 9 untuk mencari makan malam. Inginnya makan lalu pulang, apa daya masih banyak aktivitas operasional yang harus ia kerjakan dan tertunda karena meeting dengan Mas Tito.

Hansa merapatkan parkanya untuk menghalau angin malam yang mulai berhembus. Sembari berjalan cepat menuju para penjual makanan di belakang gedung PTV, ia memperhatikan sekitar. Melihat ke kanan dan ke kiri. Siapa tahu ada yang ia kenal dan bisa diajak untuk mengobrol saat makan nanti.

Pandangannya tertuju pada sosok yang ia kenal. Keberadaan perempuan itu membuat Hansa tersenyum lebar dan berjalan lebih cepat. Namun senyumnya mendadak hilang ketika melihat bahwa perempuan itu tidak sendirian.

Perempuan itu tertawa lebar kepada seseorang di atas motor. Dia memegang helm seperti akan naik ke atas motor namun mereka masih membicarakan sesuatu. Si pria bahkan mengulurkan tangan dan membelai rambut perempuan itu dan membuat si perempuan tersipu malu. Tidak lama kemudian perempuan itu mengenakan helm dan naik ke atas motor. Si pria menolehkan kepalanya dan mengenakan helmnya sendiri. Mereka kemudian berlalu dengan si perempuan memeluk si laki-laki di atas motor.

Hansa baru menyadari bahwa yang dipeluk Nitya di atas motor adalah Zul. Si Creative yang beberapa saat ini banyak berinteraksi dengannya.

*****

Hmm, apa pendapat kalian?

XOXO

-Amy

Office Affairs - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang