“Bu, ini kan bukan kantor punya Nitya. Jadi nggak bisa main pulang gitu aja dong,” Nitya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Iya tau. Nitya udah ijin. Jam setengah 6 udah berangkat dari kantor. Tapi sekarang kan baru jam 4,” Nitya menarik kursi dan duduk. Mencari buku catatan yang akan dia gunakan sebagai acuan membuat Minutes of Meeting.
“Pokoknya ibu tenang. Nitya akan sampai di tempat janjian jam 7 tepat. Cantik dan wangi,” Nitya menggoyangkan kursinya dan tanpa sengaja bertatapan dengan Hansa yang baru tiba.
“Oke, Bu. Iya, see you tonight,” Nitya menutup teleponnya dan menghela nafas.
“Kenapa?” tanya Hansa.
“Biasa, kekhawatiran ibu-ibu,” Nitya menjawab asal. Tiba-tiba Nitya memiliki sebuah ide. “Lo abis dari mana Sa?”
“Abis ngobrol sama Dadang, Leandro, Jani,” Hansa menjawab datar, tanpa mengerti arah pertanyaan Nitya.
“Temenin gue ke rooftop yuk,” Nitya mengambil buku catatan dan ponselnya.
“Ngapain?” Hansa tidak mengerti.
“Udah pokoknya ikut aja,” Nitya berhenti. Diliriknya tempat duduk Maara. Dia sedang berada di mejanya. “Tapi lo susulin gue setelah sekitar semenit gue cabut ya.”
Hansa tidak mengerti ke arah mana Nitya mengajaknya. Apalagi Nitya langsung kabur setelah berkata begitu. Namun Hansa menunggu beberapa saat lalu berdiri dan menuju rooftop.
***
Angin bertiup kencang saat Hansa tiba di rooftop. Dia harus mengeratkan jaketnya untuk menghalau udara dingin yang menerpa. Di salah satu tempat duduk, Nitya sudah menunggunya sambil melambai. Rambut Nitya yang panjang sebahu tidak pernah diikat. Biasanya itu membuat Hansa terpana. Sekarang, Nitya terlihat biasa saja di matanya.
Hansa berdiri di tempatnya beberapa detik sampai Nitya harus memanggilnya. Hansa berdeham dan berjalan menghampiri Nitya.
“So?” tanya Hansa setelah duduk dengan tangan dimasukkan ke saku jaket.
“Udah ngobrol lagi sama Maara setelah insiden itu?” tanya Nitya.
“Hmm, kenapa nanya gitu?”
“Jawab aja sih. Pokoknya jawab aja pertanyaan gue, nggak perlu nanya balik. Kalau gue cerita dengerin aja, nggak perlu ngebantah. Oke ya?” Nitya mengacungkan jarinya. Hansa tertawa sebentar lalu berpaling kembali pada Nitya.
“Selain gue yang minta maaf sama dia di rooftop ini, kita belum ngobrol lagi,” Hansa menjawab dengan patuh.
“Sudah berapa lama berarti?”
“Hmm, dua minggu?” Hansa mengangkat bahu.
“Ada chat atau nggak sengaja ketemu?”
“No chat. Tapi sesekali ketemu dan dia Cuma senyumin gue aja,” Hansa tertegun.
“Lalu perasaan lo gimana?” Nitya memiringkan kepalanya dan tersenyum.
“Kenapa nanya gitu deh?” Hansa memalingkan wajahnya.
“Hey, aturan pertama. Pertanyaan gue cukup dijawab. Nggak perlu nanya balik. Jadi gimana perasaan lo dengan hubungan lo dan Maara sekarang?”
“Aneh. Aneh, Nit,” Hansa berpaling kembali kepada Nitya. “Pagi-pagi kadang gue mikir dimana gue mau makan siang bareng Maara. Terus gue inget bahwa kami udah nggak ada apa-apa. Gue juga tiba-tiba ngeluarin motor atau mobil dari garasi, udah nyetir setengah jalan, baru gue sadar bahwa Maara nggak mau lagi deket sama gue. Ketika kita nggak sengaja papasan, gue hampir nanya dia balik jam berapa. Tapi waktu dia cuma senyumin gue dan buru-buru pergi, gue ingat kita udah nggak ada apa-apa. Dua kali weekend kemarin, ketika gue lagi ngerokok di rumah, gue tiba-tiba ingat belum ngechat Maara buat nanya apa agenda dia akhir pekan itu. Kemudian gue liat histori chat kami dan terakhir adalah chat gue yang bilang ke dia buat pulang duluan aja. Di malam insiden itu terjadi.”
Nitya tersenyum.
“Gue kenapa ya Nit?” Hansa menggaruk dagunya bingung.
“Waktu, ehem, lo suka sama gue, apa yang lo rasakan?”
“Hmm. Yang bisa gue inget adalah kapan gue bisa ngajak lo keluar bareng.”
“Sering tiba-tiba mikirin gue nggak?” Nitya tersenyum geli.
“Hah?” Hansa kemudian diam.
“Nggak ya?”
Hansa menggeleng.
“Ini maksud lo apa sih nanya begini?” Hansa benar-benar tidak mengerti. Tanpa petunjuk seperti ini dia tidak suka sama sekali.
“Coba deh bilang sama Maara kalau lo beneran suka sama dia,” Nitya menepuk pundak Hansa. “Awalnya memang karena lo mau dapetin gue. Eh ternyata karena kalian sering bareng ternyata lo malah lebih suka sama dia.”
“Masa?”
“Heh ya dasar laki. Batu banget,” Nitya kesal tapi malah tertawa. “Coba deh. Lo pernah mau cium gue nggak? Nggak kan? Tapi sama Maara, udah berapa kali lo berdua ciuman?”
“Dih itu harus dibahas juga?” Hansa berputar memunggungi Nitya karena wajahnya memerah. Dia terkenal mudah dikenali kalau sedang malu. Karena wajahnya bisa langsung memerah tanpa kontrol.
“Peraturan pertama…” Nitya menggoda.
“Tiga kali! Puas?” jawab Hansa masih tanpa memandang Nitya.
“Wah serius lo? Lo cuma cerita sekali lho. Dua kali lagi kapan?” Nitya tertawa terbahak melihat respon Hansa yang serba salah begini.
“Setelah gue mergokin Putra cium Maara yang lagi tidur. Sekali lagi di bioskop waktu kami nonton bareng,” jawab Hansa pelan.
“Nakal ya Mas Hansa ini. Bisa-bisanya ciuman di bioskop kayak orang mesum,” Nitya terkikik. “Eh tapi Putra naksir Maara? Yang anak AE ya?”
“Yeah. Gue lihat dia cium Maara waktu Maara ketiduran nungguin gue. Gue nggak suka jadi setelah gue antar dia pulang, gue…” Hansa mendadak terdiam. “Crap.”
Nitya tertawa terbahak-bahak. Hansa begitu jujur pada dirinya saat ini. Seperti layaknya seorang teman yang saling curhat.
“Jadi tebakan gue bener kan? Lo terjebak lubang yang lo buat sendiri, Sa,” Nitya tersenyum bijaksana.
“Nggak tau gue, Nit,” Hansa masih berkelit.
“Ngeles mulu lo kayak bajay ah. Pokoknya gue nggak mau tahu ya. Lo harus bilang sama Maara. Gue yakin dia juga masih punya perasaan ke lo,” Nitya tersenyum lebar dan tulus sekali. Hansa melirik Nitya dari balik pundaknya dan mengangguk pelan.
“Lo sendiri gimana dengan Zul?”
“Nah…” Nitya menarik nafas. “Gue menyerah, Sa. Kemarin Zul bilang dia baru tunangan. Jadi pasti nggak ada harapan lagi buat gue sama dia.”
“Lo memutuskan untuk move on?”
“Pilihan apa lagi yang gue punya. Gue harus move on dan cari cowok lain kan?”
“Siapa?”
Nitya terdiam dulu sebelum menjawab pertanyaan Hansa. Matanya terlihat ragu-ragu tapi ketika bicara, suaranya mantap. “Ada temen masa kecil gue. Pernah cinta monyet gitu. Ternyata udah gede ketemu lagi dan orang tua kami setuju buat kami serius. Jadi nanti malem…gue ketemuan buat ngomongin tanggal.”
“Wow,” Hansa berseru. “Cepet banget ya Nit. Lo yakin?”
“Nggak tau kenapa gue yakin sih, Sa. Beda waktu sama Zul itu gue masih mencari-cari. Tapi saat ini, gue yakin aja gitu. Hard to explain sih,” Nitya menggeleng. Kadang alam semesta punya caranya sendiri untuk mempertemukan dua insan. Mungkin begini caranya bagi Nitya.
Juga bagi Hansa.
“Gue cuma berharap semoga lo bahagia, Nit,” Giliran Hansa tersenyum dengan tulus.
“Gue juga. Jangan lupa bilang sama Maara!” Nitya menepuk pundak Hansa dan meremasnya dengan kuat.
“Iya gue tahu,” Hansa berkelit. Mereka berdua tertawa.
*****
Gak tahan aja pengen update gitu. Padahal baru kemarin update.
Kutunggu komentar dan vote-nya ya.
Xoxo
-Amy
KAMU SEDANG MEMBACA
Office Affairs - END (GOOGLE PLAY)
RomanceIni bukan cerita perselingkuhan. Meski mungkin lama kelamaan kamu akan merasa ada yang tidak benar di hubungan orang-orang ini. Ini juga bukan cerita sedih. Meski mungkin ada beberapa kejadian yang membuat kamu akan ikut merasa sedih. Ini cerita bia...