"Mar," Sakina mengikuti Maara yang kabur ke toilet. Didapatinya Maara sedang berdiri bersandar sambal menggigiti kukunya.
"Mar, are you okay?" tanya Sakina lagi.
"Dia tuh kenapa sih? Rese banget deh asli," Maara mulai menggerutu. Sedikit air mata menetes di ujung matanya. "Kan dia bisa supaya gak usah boong. Kalau gak mau ditonton ya tinggal bilang. Gak usah sampe aku tahu dari tempat lain gitu."
"Dia malu kali, Mar," Sakina mengelus lengan Maara untuk menguatkan.
"Malu apa coba? Dia kan udah sering buat manggung. Kenapa coba dia boong? Dia gak mau gue tonton? Oke, fine, kalau itu yang dia mau," Maara mendengus galak tapi matanya masih mengeluarkan air mata.
"Bukan gitu. Mungkin dia masih punya alasan lain. Lagian kan Cuma sekali ini aja dia rese," Sakina berusaha agar Maara tidak langsung menyimpulkan sesuatu tanpa mendengar penjelasan dari Putra.
"Dia tuh emang gak suka sama gue. Cuma karena kita masuk ke sini bareng-bareng, tes bareng, offering bareng, probation bareng, makanya jadi deket. Tapi kalau untuk lebih dari temen, gak yakin gue. Percuma gue suka sama dia, Na. Percuma," Maara mulai menangis sesenggukan. Tepat ketika pintu toilet terbuka.
"Hey kenapa Mar?" Nitya yang masuk dan mendapati Maara sedang menangis. "Siapa yang kamu suka dan kenapa percuma?"
"Anak Marketing," sahut Maara di sela tangisnya. "Aku suka dia gak lama setelah kami masuk PTV. Tapi ternyata dia cuek banget. Gak pernah nganggap aku lebih dari temen. Gak pernah peka sama perasaan aku. Gak pernah mau jujur ke aku sebagai temen sekalipun."
"Mar, kan belum tentu," bisik Sakina.
Sebuah pemikiran mendadak muncul di kepala Nitya.
"Mar, daripada kamu sama cowok yang cuek banget dan sama-sama belum punya posisi bagus di perusahaan, mending sama cowok yang baik, perhatian, dan kerjaannya oke," Nitya tahu ia nekat tapi ia sudah yakin bahwa ini keputusan yang tepat.
Maara dan Sakina sama-sama menatap Nitya dengan tidak percaya.
"Aku yakin dia cocok sama kamu," lanjut Nitya.
***
"Udah tukeran nomer HP belum?" celetuk Mas Opang saat melewati meja Nitya dan Hansa. Membuat kedua orang ini mendongak bersamaan.
Nitya tersenyum simpul.
"Apa sih lo," ujar Hansa.
Mas Opang yang niatnya hanya melewati meja Hansa dan Nitya, jadi berhenti dan berdiri di antara kedua orang ini. "Make a move dong, Sa. Lo sebagai cowo. Ya gak Nit?"
Nitya hanya berani tertawa.
"Tuh liat dia udah welcome sama lo. Udah ketawa manis banget. Masa lo mau melewatkan kesempatan ini? Mau jomblo sampe kapan, Sa?"
Hansa hanya menggeleng menanggapi Mas Opang. "Gila lu emang,"
Mas Opang kemudian tertawa puas dan meninggalkan Hansa dan Nitya. Hansa kembali mengerjakan pekerjaannya, begitu pula Nitya. Hanya saja, Nitya melihat bahwa tidak ada salahnya bahwa perempuan yang bergerak lebih dulu.
***
Sejak saat itu Nitya jadi yang pertama bergerak. Ia rajin menyapa Hansa lebih dulu. Mengucapkan selamat bekerja kepada Hansa. Bersedia dititipi kopi atau cemilan saat mampir ke minimarket. Hansa pula yang Nitya hubungi ketika ia merasa kebingungan tentang sesuatu. Meskipun Hansa bukan atasan langsungnya dan pekerjaannya tidak langsung berhubungan dengan Hansa.
Mengetahui bahwa Nitya bergerak lebih dulu untuk mendekati Hansa, Mas Opang dan yang lain tentu girang bukan kepalang. Semuanya mendukung dua orang ini dan rajin menyoraki setiap Nitya dan Hansa berinteraksi. Nitya selalu tersipu dan senang dengan perhatian tersebut. Berbeda dengan Hansa yang selalu kabur saat disoraki ataupun tidak banyak merespon apa perhatian Nitya.
Hubungan seperti itu berjalan hampir tiga bulan lamanya. Ketika kemudian Nitya menyadari bahwa sikap Hansa mungkin tidak akan pernah berubah. Akan terus menganggapnya sebagai rekan kerja. Tidak pernah meresponnya lebih dari sekedar alasan kesopanan. Nitya memutuskan untuk berhenti. Toh keputusannya untuk mulai mendekati Hansa lebih dulu bukan karena ia memang menyukai Hansa. Ia hanya mencoba apa yang diusulkan orang-orang kepadanya.
Nitya berhenti memperhatikan Hansa lebih dari sekedar atasan dan bawahan. Nitya menghadapi Hansa sebagaimana ia menghadapi Mas Opang. Awalnya Hansa tidak keberatan. Tapi mungkin lama kelamaan Hansa merasa kehilangan. Jadilah Hansa sebagai Hansa yang sekarang. Hanya saja, Nitya sudah menyerah.
***
"Gak deh, Nit," Maara menggeleng, menghampiri wastafel dan mencuci wajahnya. Menghilangkan bekas air mata. Ia masih harus bekerja lembur dan tidak mau membiarkan orang-orang bertanya akan keadaannya.
"Oke. Sekarang kamu pasti masih upset. Tapi kalau kamu udah tenang, kamu harus mempertimbangkan tawaran aku ya. Aku yakin dia cocok banget sama kamu. Kalian pasti nyambung. Ya?" Nitya meyakinkan tawarannya dan memegang pundak Maara.
Maara menatap Nitya melalui pantulan cermin. Senyum Nitya yang percaya diri mau tidak mau membuat Maara juga tersenyum.
"Iya,"
"Siapa?" Sakina angkat bicara, matanya menyipit.
Nitya terkejut dan menoleh kepada Sakina. Seakan Sakina sejak tadi tidak ia sadairi keberadaannya dan kata-katanya saat ini membuat Nitya terlonjak kaget.
"Dan kenapa dia?" lanjut Sakina lagi.
"Jadi..." Nitya tersenyum penuh misteri. Menatap bergantian antara Maara dan Sakina.
"Dia good looking, rajin olahraga juga, posisinya udah Section Head, orangnya ramah banget, pinter juga. Bisa diajak ngobrol soal apa aja. Usianya tahun ini 31 tahun. Humoris juga. Seagama sama kita jadi gak perlu khawatir. He's all you wish from a man," jelas Nitya panjang lebar.
Maara dan Sakina berpandangan. Apa ada laki-laki sesempurna itu?
"Dan dia adalah?" tanya Maara.
"Hansa!" seru Nitya dengan bangga.
"APA?" Maara dan Sakina berteriak bersamaan.
*****
Rencananya update hari Sabtu. Tapi lebih cepat kenapa tidak kan?
Selamat berpusing ria dengan Maara. Dan mungkin juga dengan Nitya.
Kamu, #TeamMaara atau #TeamNitya? Hahaha.
XOXO
-Amy
KAMU SEDANG MEMBACA
Office Affairs - END (GOOGLE PLAY)
RomanceIni bukan cerita perselingkuhan. Meski mungkin lama kelamaan kamu akan merasa ada yang tidak benar di hubungan orang-orang ini. Ini juga bukan cerita sedih. Meski mungkin ada beberapa kejadian yang membuat kamu akan ikut merasa sedih. Ini cerita bia...