5. Insiden malam

803 48 8
                                    


Takdir tak pernah terduga

———

Udara angin malam menerpa wajah Miranda yang sedang menyusuri trotoar jalan. Ia mengeratkan hoodie putih polos yang di pakainya sambil memandang jalanan yang masih ramai dengan pengendara malam.

Miranda sesekali menghela nafas. Andai saja bukan karena ia sedang kekurangan pembalut, ia tidak akan mau keluar malam seperti ini. Apalagi dengan berjalan kaki menuju mini market yang letaknya cukup jauh dari rumah. Dia menghindari mengendarai motor karena takut Ayahnya tahu ia keluar rumah di malam hari.

Meskipun ia meminta izin, Ayahnya pasti tidak akan mempercayainya dan tidak memberi izin. Apalagi kemarin ia sempat kena marah karena pulang terlambat dari rumah Icha. Karena itu Miranda memilih untuk pergi diam-diam.

“Ya ampun!” Miranda menghela nafas keras saat melihat mini market yang di tujunya tertutup.

Miranda menengok kanan dan kiri, berfikir lebih keras. Tidak ada lagi mini market lain yang lebih dekat di bandingkan tempat ini. Semuanya bertempat jauh, dan memerlukan waktu lama dan tenaga untuk tiba disana.

Miranda memilih merogoh ponsel pada saku celana training-nya, mengutak-atik layarnya kemudian menelfon seseorang yang sekiranya dapat membantunya saat ini.

“Kenapa, Mir?”

Suara Icha terdengar dari seberang sana. Miranda membalas cepat. “Halo cha? Gue mau minta tolong,”

Miranda mulai menceritakan sejenak apa yang terjadi padanya saat ini. Lalu entah karena Miranda yang salah karena berdiri terlalu dalam di bagian jalanan, atau pengendara mobil itu yang tidak becus membawa kendaraan. Entahlah, karena kejadian itu berlalu begitu cepat.

Miranda dapat merasakan mobil itu menyerempet tubuhnya hingga ia terjatuh telak ke bawah aspal. Ponsel Miranda terbuang ke jalanan. Sementara Miranda sempat memekik tertahan kemudian terdiam lama dalam keadaan duduk di jalanan. Fikirannya masih mencerna insiden yang baru saja terjadi padanya.

Mobil ferrari merah itu berhenti. Seseorang keluar dari dalamnya. Menggunakan topi hitam juga jaket berwarna hitam, terlihat menyeramkan dn misterius. Miranda rasanya ingin berlari pergi saat otaknya mengirim sinyal berbahaya. Namun kakinya yang terasa ngilu dan sakit membuatnya tak bisa berbuat apa-apa.

“Lo nggak papa?”

Suara itu. Miranda mendongak, sedikit membelalak saat melihat wajah yang sedikit tertutupi oleh topi itu. Cowok itu, yang kini berdiri di hadapannya dengan mata elang khas miliknya.

“Kak Agam?” Cicit Miranda.

Agam terlihat kaget saat menyadari orang yang baru saja di tabraknya ternyata gadis itu. Gadis yang tadi siang di lapangan membalas perkataannya dengan ceramah. Menyadari hal itu, Agam mendengus. “Ck! Ternyata lo,”

“Lo sengaja yah berdiri di sini biar gue tabrak?” Ujar Agam kembali dengan sakartis.

Miranda menganga pelan, tidak habis pikir dengan apa yang barusan di ucapkan Agam. Padahal jelas-jelas cowok itu yang salah telah menabraknya karena membawa mobil tidak benar. Miranda hanya korban disini.

“Aku nggak punya waktu buat ngelakuin itu,” Balas Miranda dengan datar. Sifat Agam yang seperti ini membuat Miranda perlu bertanya kembali pada dirinya tentang perasaannya pada cowok itu.

Miranda berusaha bangkit, namun pergelangan kakinya terasa sangat sakit. Sehingga ia kembali terjatuh kebawah saat berusaha berdiri. Ia meringis kecil, kakinya benar-benar sakit.

Lelah mencoba berdiri berkali-kali, Miranda akhirnya menyerah. Cewek itu memilih mencari ponselnya yang entah terbuang kemana tadi. Saat mengedarkan pandangan, Miranda akhirnya menemukan ponselnya. Tergeletak sekitar beberapa meter darinya.

Gadis itu berusaha menggapai ponselnya. Ia menyeret tubuhnya, meskipun dapat merasakan betisnya yang terasa perih karena bergesekan dengan aspal. Miranda mendesah kesal saat melihat layar ponselnya yang pecah tak berbentuk. Dan yang paling parah, tidak bisa lagi di nyalakan.

Di tengah rasa sengsara dan putus asanya, tatapan Miranda berakhir pada Agam. Yang bersandar pada mobilnya sambil melipat tangan di dada. Menatapnya datar tanpa dosa, seakan apa yang dialami Miranda bukanlah kesalahannya.

Miranda langsung memalingkan wajah begitu Agam terus menatap matanya tanpa berkedip. Cowok itu memang hobi melumpuhkan seseorang hanya melalui tatapannya.

“Emang sesusah itu yah minta tolong sama orang?” Suara Agam terdengar dekat. Miranda tersentak melihat Agam yang berjongkok di hadapannya sembari menggelengkam kepalanya. “Kita ke rumah sakit, biar gue anter,”

“Gak! Jangan!” Sentak Miranda dengan cepat. Ia paling benci dengan rumah sakit. Dan jika bisa, seumur hidup tidak ingin menginjakkan kaki lagi kedalamnya.

Miranda langsung gelagapan saat Agam menatapnya dengan alis bertaut. “Ak-aku nggak papa, Kakak pulang aja,”

“Gue nggak mau jadi orang yang nggak bertanggung jawab,”

“Aku nggak mau ke rumah sakit!” Mohon Miranda,

Agam menatap Miranda senjenak, sebelum mengangguk samar. “Kalau gitu gue anter pulang kerumah lo,”

“Gak! Jangan!” Miranda kembali menolak. Ia tidak mau kalau sampai Ayahnya tahu semuan ini. Lagipula apa yang akan ia katakan jika pulang kerumah diantar oleh seorang cowok?

“Bacot ah! Buang-buang waktu banget. Gue banyak kerjaan asal lo tau,” Sergah Agam lalu tanpa aba-aba menggendong Miranda yang tersentak di tempat. Ia menaruh lengannya pada punggung dan bawah lutut Miranda. Lalu membawa gadis itu menuju mobilnya.

Sejenak, tatapan mereka bertemu. Hanya sekilas sebelum Agam membuang muka dan berjalan cepat masuk kedalam mobil. Sementara Miranda hanya dapat menahan nafas dengan jantung berdetak tak karuan. Apalagi saat ia dapat mencium jelas bau parfum milik Agam, Miranda dapat merasakan tubuhnya bertambah lemas.

--{}--{}--{}--

“Makasih, Kak Agam.”

Miranda turun dari mobil dengan bersusah payah. Meskipun dengan kaki yang berjalan terpincang-pincang. Ia tersenyum kecil, menatap wajah Agam yang masih terlihat diantara cahaya malam dari kaca jendela mobilnya.

“Nih, hp,” Miranda tersentak saat tiba-tiba saja Agam melemparkan ponsel kearahnya. Hampir saja benda itu jatuh andai saja Miranda tidak tangkas menangkapnya. Kening Miranda langsung mengerut saat menyadari ponsel itu bukan miliknya. Bukan ponsel berwarna putih dengan cassing bergambar teddy bear miliknya, melainkan ponsel hitam polos dengan cassing berwarna serupa.

“Pake itu untuk sementara. Besok gue beliin yang baru buat ganti handphone lo yang rusak,”

Baru saja Miranda ingin menolak, namun Agam sudah tancap gas meninggalkan Miranda yang melongo di tempat. Gadis itu menatap kepergian mobil ferrari merah itu yang perlahan menjauh kemudiam menghilang dari pandangannya. Miranda tersenyum, entah ia sebut apa malam penuh kejutan ini.

Miranda tidak pernah menyangka akan ada momen seperti ini dalam hidupnya. Walaupun mungkin bagi sebagian orang hal ini cukup biasa, namun bagi Miranda ini adalah sesuatu luar biasa. Norak memang, tapi Miranda benar-benar bahagia setidaknya Agam mulai mengenalnya.

Miranda tersenyum lalu melangkah memasuki gerbang rumahnya. Tetapi langkahnya terhenti tepat saat melihat seseorang yang berdiri di depan gerbangnya dengan tangan memegang kantung kresek berisikan pembalut. Sedang menatapnya tidak percaya sekaligus melongo lebar.

“Icha?”

“Miranda, woah! daebak!”

--{}--{}--{}--

Jangan lupa vote and comment yak :)
Kalau ada typo mangap, eh maaf :"v
Kuhanyalah penulis amatir banyak mimpi
Hehe

Salam hangat,
aisfaqita

Rahasia RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang