9. Putri

691 38 2
                                    


FLASHBACK •

Seorang anak lelaki berumur 15 tahun berpakaian pasien duduk di taman rumah sakit. Pandangannya kosong kearah depan, wajahnya terlihat putus asa. Seolah tidak ada lagi harapan hidup, setelah mengetahui bahwa ia tidak bisa melihat.

Gelap, dan menakutkan. Agam bersumpah ini adalah hal paling menyakitkan dalam seumur hidupnya. Ia seperti ini karena Ayahnya sendiri. Ayah kandungnya sendiri.

Agam menundukkan kepala, memainkan karet gelang di tangannya. Hidupnya seperti tidak punya arti apa-apa lagi. Ibunya sibuk bekerja, dan ayahnya pergi meninggalkan mereka bersama dengan wanita barunya.

“Maaf, itu karet gelang aku. Tadi ketinggalan disini, boleh aku ambil?”

Seorang pasien gadis berusia 13 tahun menghampiri Agam di taman. Ia berdiri tepat di hadapan Agam, dan bertanya dengan hati-hati. Andai sedang tidak merasa gerah dengan rambut panjangnya, mungkin gadis itu sudah membiarkan karet gelang itu.

“Ini” Agam mengangkat tangannya yang memegang karet gelang yang tadi tidak sengaja ia sentuh saat duduk di kursi taman.

“Makasih” Gadis itu tersenyum lalu mengulurkan tangan. “Namaku Putri”

Miranda mengerutkan kening saat Agam tidak membalas uluran tangannya. Lelaki itu hanya diam, tanpa berniat membalasnya. Miranda menghela nafas, kemudian ikut duduk di samping cowok itu.
Tinggal di rumah sakit emang gak enak. Tapi lama-lama nanti terbiasa kok, kayak aku. Kata Mama, kalau kita selalu murung nanti gak bisa cepet sembuh, jadi kamu harus belajar senyum dong”

Ocehan Miranda terdengar berisik. Namun anehnya Agam menikmatinya. Seolah ada seseorang yang menemaninya di kesendiriannya ini. Meskipun Agam terus terdiam, ia diam-diam menahan senyuman geli saat Miranda berbicara kesal membahas Ibunya yang senang mengomelinya.

“Kamar rawat kamu dimana? Kalau aku di gedung sana” Ucap Miranda seraya menunjuk gedung yang berada di ujung, tak jauh dari posisinya.

“Gue ini buta, tau”

“Eh?” Miranda menoleh kaget. Menatap Agam dengan seksama. “Bohong! Buktinya kamu ganteng”

Agam sontak menyemburkan tawa. “Emang buta nggak boleh ganteng yah?”

“Nggak juga sih” Miranda ikut tertawa, namun segara menghentikan tawanya. “Tapi beneran buta? Terus kamu kesini dianter siapa? Kok bisa buta? Nggak bisa liat aku dong?”

“Dianter suster,” Jawab Agam sekenanya. Menundukkan kepala sambil mengulum senyuman. Ia benar-benar terhibur dengan keberadaan gadis itu.

“Tenang, mulai sekarang aku bakal siap nemenin kamu. Kemana aja. Kita kan temen. Eh, tapi nama kamu siapa?”

“Agam”

Hari-hari selanjutnya berjalan tidak se-flat dulu. Gadis yang mengaku bernama Putri itu benar-benar mendatanginya setiap hari, kemudian menemaninya sepanjang waktu. Satu hal yang Agam tahu, ternyata mereka sama-sama memiliki Ibu yang sibuk sehingga mereka sering menghabiskan waktu sendiri di rumah sakit. Tapi sekarang tidak lagi, karena mereka saling melengkapi kesepian satu sama lain.

“Hari ini langit cerah,” Ujar Miranda saat mereka berjalan menuju taman. Dengan Miranda yang terus menuntun Agam berjalan.

“Sayangnya gue nggak bisa liat” Ucap Agam setelah mereka berdua duduk di kursi taman.

Rahasia RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang