6. Sebuah foto

757 45 2
                                    

jatuh cintamu, sudah menjadi milik orang lain.

—Miranda

———

“Sssttt,”

Miranda meringis saat Icha menaruh obat merah pada luka di lututnya. Ingatannya kembali pada beberapa menit yang lalu, dimana Agam mengantarkannya pulang. Rasa-rasanya seperti hal yang mustahil jika di ingat-ingat kembali.

“Aw,” Pekik Miranda ketika secara tidak sengaja Icha memegang bagian dalam lukanya. Gadis itu kemudian meringis,  melihat lukanya yang terlihat menganga lebar.

Sorry sengaja,” Ucap Icha tanpa rasa bersalah. “Daritadi gue panggil-panggil tapi nggak nyaut-nyaut. Ngelamunin Kak Agam yah lo? Ngaku!”

Miranda mendengus, sahabatnya itu memang cewek paling bar-bar yang pernah ia lihat. Tadi saja Icha sempat berteriak histeris seperti di kejar maling karena melihat Agam yang membawanya pulang. Jika saja Miranda tidak buru-buru menutup mulut cewek itu, pasti orang-orang kompleks sudah pada keluar dari rumah.

Bahkan setelah menceritakan kejadian yang menimpanya tadi, Icha terus menjerit heboh. Antara tidak percaya dan terkejut. Jangankan Icha, Miranda saja masih merasa kejadian itu hanyalah mimpi belaka.

Icha menyahut. “Mir, kalau lo emang punya perasaan sama dia. Perjuangin, jangan pesismis mulu. Justru perasaan minder itu yang buat lo tanpa sadar selalu ngerasa mustahil bersama Kak Agam. Padahal lo kan bukan Tuhan, mana tau suatu saat nanti takdir nyatuin lo dengan Kak Agam.”

“Gak mungkin,” Miranda menggelengkan kepalanya. Eskpektasi Icha terlalu tinggi.

Icha berdecak. “Keras kepala,”

“Oh iya, soal gue jadian sama Kak Reza tadi. Gue belum denger komentar apa-apa dari lo,” Ujar Icha setelah selesai memasang perban pada lutut Miranda. Ia berdiri dari jongkoknya kemudian duduk di ranjang samping Miranda.

Miranda memutar bola mata malas. “Gue harap Kak Reza serius sama lo,” Ucapnya pelan, ada ketulusan di dalamnya. Meski ia masih merasa ragu, karena feeling-nya mengatakan bahwa Reza itu tidak baik untuk Icha.

“Gue nggak pernah berharap kayak gitu, kok,” Icha tersenyum, matanya memandang kosong kearah dinding putih kamar Miranda. “Karena gue tau kalau Kak Reza cuman main-main sama gue,”

Kening Miranda mengerut. Tidak habis fikir dengan fikiran Icha yang tergolong aneh. Baru saja ia ingin membalas ucapan sahabatnya itu, namun Icha sudah lebih dulu berucap.

“Gue emang bego. Tapi ini pilihan gue. Gue harap lo ngehargain keputusan gue,” Icha menundukkan kepala, seakan menerawang hal yang akan terjadi nanti. “Walaupun kita sama-sama tau kalau cepat atau lambat Kak Reza bakal ninggalin gue,” Ucapnya kembali.

Miranda menghela pelan, menarik Icha dalam pelukannya. Ia ingin menasehati temannya itu untuk segera memutuskan hubungan dengan lelaki bernama Reza itu, tetapi tidak tegah dengan perasaan Icha yang terlampau tinggi pada cowok itu.Yang hanya bisa ia lakukan hanya menepuk-nepuk bahu Icha pelan,

“Iya, lo bego.”

--{}--{}--{}--

Miranda melambaikan tangan begitu Icha mengendarai motor matic hijau itu meninggalkan rumahnya. Ia lalu kembali kedalam kamar. Tatapannya kemudian berakhir pada ponsel hitam yang tergeletak di kasur miliknya.

Ponsel Agam.

Miranda duduk di tepi kasur sembari menyalakan ponsel tersebut. Tidak terkunci. Miranda tersenyum, hal pertama yang tertera dalam fikirannya adalah galeri foto. Siapa tau saja ia mendapatkan foto selfie Agam yang tidak di duga-duga. Mengingat cowok itu tidak pernah berfoto kecuali dalam acara resmi atau foto bersama.

Di dalam galeri tersebut kebanyakan berisi berkas-berkas program kerja Osis yang di foto. Ada juga foto selfie dari beberapa cowok yang Miranda kenali sebagai teman yang sering bersama Agam. Termasuk si Reza itu.

Miranda menghela nafas malas, tidak ada satupun foto yang menampilkan wajah Agam di dalamnya. Namun sebuah foto tiba-tiba saja menarik perhatian Miranda. Foto Nanda yang sedang tersenyum kearah kamera dengan manis, memakai dress biru navy yang menambah keanggungannya.

Kemudian saat menggeser layar. Terlihatlah wajah Agam dan Nanda yang sama-sama tersenyum menghadap kamera. Agam terlihat tampan menggunakan jas berwarna senada yang membuat kedua orang itu nampak serasi.

Tanpa sebuah kata, ada hati yang di patahkan. Miranda mengerjap, lalu mengalihkan pandangannya sejenak. Seharusnya ia sadar diri, untuk berhenti menyukai cowok yang sudah memiliki pasangan. Icha memang benar, bahwa Miranda harus memperjuangkan perasaannya. Tapi Miranda tidak akan pernah mau menjadi perusak hubungan orang.

“Gue harus move—”

Tatapan Miranda terpaku saat jarinya tak sengaja membuat layar handphone Agam bergerak acak. Ia tersentak kecil memandang foto yang saat ini di lihatnya. Tidak ada yang istimewa dari foto itu, hanya menampilkan sebuah gelang karet yang diubah menjadi berbentuk seperti menara eiffel. Dengan latar langit cerah.

Ia sangat tahu tentang foto itu. Karena Miranda ada disana, saat gambar itu diambil. Dia ada disana.

“Kalau gue udah sembuh. Gue janji bakal bawa lo ke paris, liat menara eiffel langsung,”

“Eh, serius?”

“Nanti, kalau lo udah jadi milik gue,”

Miranda menahan nafas, kenangan itu kembali hadir. Tapi sedetik kemudian ia langsung menggeleng cepat. Ia tidak mau memberikan kesempatan hatinya untuk berharap, karena saat ini hati Agam sudah tertambat pada orang lain. Dan Miranda mau tidak mau harus memilih untuk mundur. Karena pada kenyataannya, Agam telah melupakannya dan tidak mengenalnya sama sekali.


Move on Miranda, Move on!”

--{}--{}--{}--

Pendek, iya tauk pendek. :"
Ya mangap, eh maaf.
Soalnya aku lagi mager hehe :"v

Jangan lupa vote and comment :)

Salam hangat,
aisfaqita

Rahasia RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang