7. Penelfon

678 46 6
                                    


Mencintaimu ternyata melelahkan

———

“Gam, kita belum buat program kerja buat acara pagelaran nanti,”

“Agam! Lo perlu tanda tangan ini,”

“Gam, Pak Suar pengen hasil laporan acara Pensi,”

Agam menghela napas pelan, suara-suara di sekelilingnya menambah pusing di kepalanya. Ia baru saja menginjakkan kaki beberapa detik yang lalu di ruang Osis, dan langsung di berikan pernyataan berbondong-bondong dari para anggota Osis. Pagi yang menyebalkan.

Ia menutup mata sejenak, mencoba menahan denyutan sakit di kepalanya. Jika di perhatikan lebih cermat, saat ini Agam terlihat pucat. Di tambah matanya yang nampak sangat lelah. Namun tidak ada satupun orang yang memperhatikannya, karena Agam yang selalu tersenyum dan tampak percaya diri di setiap waktu.

“Untuk program kerja pagelaran, kita bakal adain rapat dulu sepulang sekolah buat kesepakatan bersama,” Ujar Agam, mengambil map biru yang di berikan oleh salah satu anggota Osis kepadanya kemudian menandatanganinya.

“Hasil laporan acara Pensi ada di meja gue, bilang ke Pak Suar kalau semuanya udah gue revisi sesuai keinginan beliau,” Setelah mengucapkannya, Agam berlalu menuju kursi kebesarannya. Lelaki itu membuang nafas berat, sebelum kembali memeriksa beberapa dokumen yang masih tersisa. Menjadi Ketua Osis memang merepotkan, fikirnya. Andai bukan karena permintaan Nanda di masa lalu, Agam tidak akan mau menjadi seorang Ketua Osis.

“Gam! Agam!”

Agam mendongak, menatap Hapati yang memasuki ruang Osis dengan reaksi berlebihan. Seperti di kejar maling. Lelaki itu mengatur nafasnya yang tidak beraturan saat berada di depan meja Agam.

“Kenapa?” Sahut Agam malas, kembali melirik dokumennya yang terasa lebih penting daripada temannya yang satu itu.

Setelah merasa nafasnya kembali teratur, Hapati langsung menggebrak meja Agam dengan pelan. “Handphone lo mana?”

“Kenapa emangnya?” Agam balik bertanya.

Hapati mendengus. “Yaelah malah balik nanya. Gue serius, handphone lo ada dimana hah?”

“Di orang,” Balas Agam, cuek. Tanpa berniat mengalihkan pandangan kearah Hapati.

Sementara itu, Hapati langsung berdecak melihat reaksi tidak peduli Agam. Cowok itu memang harus sedikit di gertak untuk bisa beraksi. Hapati lalu merogoh saku celananya, mengeluarkan handphone-nya kemudian memperlihatkan sesuatu di dalamnya kepada Agam.

“Liat, nih.” Hapati berseru, menarik perhatian Agam. “Nyokap lo tadi nelfon gue, katanya lo nggak ngangkat-ngangkat telfon dia. Eh pas diangkat, yang jawab malah cewek tapi bukan Nanda. Nyokap lo marah besar banget, gue juga jadi ikut-ikutan di marahin.”

“Oh, nanti gue jelasin ke nyokap gue,” Lagi-lagi, Agam menjawab cuek. Ibunya itu memang selalu berlebihan dalam segala hal.

“Emang lo punya cewek lain selain Nanda, yah?” Hapati bertanya penasaran. Detik setelah ia melontarkan pertanyaan, ponsel yang di pegangnya berdering. “Nih, Nih. Nyokap lo nelfon lagi! Angkat, angkat!”

Agam meletakkan pulpen yang di genggamnya, seraya mendengus malas. Kemudian mengambil ponsel milik Hapati. “Halo, Ma?”

“Agam! Mama perlu ngomong sama kamu sekarang. Ini tentang pertunangan kamu dengan Nanda”

Rahasia RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang