13. Kejutan

719 37 7
                                    


Miranda menatap bayangan dirinya di cermin kamarnya. Beberapa kali ia menghela nafas sebelum kembali melihat gaun putih yang di kenakannya malam ini. Rambut panjang miliknya ia gerai rapi ke belakang.

Malam ini telah tiba. Hari perayaan ulang tahun sekolah yang sukses menjadi beban fikirannya seharian ini. Pasalnya ia akan datang ke acara itu bersama Agam. Agam Adiraga, idola sekolah yang tentunya merupakan pusat perhatian orang-orang.

Bukan Miranda tidak senang, namun entah ingin di jelaskan seperti apa perasaannya sekarang. Mungkin senang, ragu, kaget, dan takut. Ia senang, bisa berada pada situasi dimana Agam bisa mengenalnya. Dan takut karena harapan yang mulai muncul dalam hatinya tanpa sadar.

Miranda benci kenyataan bahwa ia ingin Agam membalas perasaannya. Padahal ia harusnya tahu, bahwa lelaki sesempurna Agam mana mau bersama dengan gadis sepertinya.

Meskipun mereka pernah bersama dalam kisah masa lalu, tapi tetap saja itu hanyalah sepenggalan kisah masa lalu. Tidak ada yang akan berubah walaupun Agam dapat mengenalinya sebagai gadis di masa lalu itu.

Karena Miranda benar-benar melihat kesungguhan Agam kepada Nanda. Meski Miranda tahu, ada kesalah pahaman yang terjadi. Bahwa Agam mengenali Nanda sebagai gadis di masa lalu. Tetapi Miranda tidak sebodoh itu, untuk menyimpulkan rasa suka Agam kepada Nanda hanya karena cerita di masa lalu.

Miranda melihatnya, pandangan yang Agam berikan kepada Nanda. Sama dengan pandangan yang ia berikan kepada Agam. Tatapan mata yang menyiratkan segalanya, tentang ketulusan perasaan.

Ah, poor Miranda.

Lagi-lagi Miranda menghela nafas, lalu melirik arah jarum jam yang sebentar lagi menunjukkan pukul 20.00 malam. Ia memilih duduk di tepi ranjang, sembari memainkan jemarinya. Menunggu kedatangan seseorang yang akan mnejemputnya sebentar lagi.

"Lo, pernah di rawat di rumah sakit?"

Suara Agam terngiang di kepala Miranda. Kejadian kemarin kembali terputar dalam fikirannya. Ketika Agam sukses membuat jantungnya berdegup kencang hanya karena satu nama yang di sebutkannya, Putri.

Miranda fikir Agam mengetahuinya, Miranda fikir Agam mengenalinya. Namun ternyata tidak, karena ketika dirinya terdiam kaget tanpa sempat menjawab. Agam langsung mengatakan...

"Lupain, lagian nggak mungkin elo sih"

Itulah perkataan terakhir Agam. Kemudian pergi begitu saja setelah menandaskan satu gelas teh yang di buat Ibu tiri Miranda. Perkataan yang tanpa sadar melukai sudut hati gadis itu. Miranda mulai berfikir untuk mengubur dalam dalam kisah di masa lalu itu.

"Udah selesai?"

Sosok wanita paruh baya muncul dari celah pintu kamar Miranda. Ia tersenyum hangat, "Wah cantiknya anak Ibu"

Miranda tersenyum kaku. Kata 'Ibu' yang keluar dari mulut wanita itu masih saja terdengar aneh baginya. Meskipun ini bukan pertama kalinya Miranda mendengarnya.

"Ayah baru tidur tadi, kamu udah bisa pergi" Kata wanita itu, sedikit memelankan suaranya.

Miranda mengangguk pelan, setelah itu beranjak perlahan meninggalkan Ibu tirinya di kamar tanpa sepatah katapun. Mungkin sikapnya ini cukup kurang ajar, tapi Miranda benar-benar belum bisa bersikap normal. Ia masih membutuhkan waktu untuk menerima hidup barunya ini.

Rahasia RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang