Bab 04

12.3K 1K 7
                                    

APA SIH MAUMU?

Kesibukan mulai terasa. Karena banyaknya SPG yang keluar, sedari pagi tadi aku sudah menginterview orang-orang yang sudah memasukkan lamaran ke sini. Karena harus segera mendapatkan SPG pengganti, maka dengan cepat aku mendapatkan gantinya. 10 SPG baru sudah aku terima dan aku training sekaligus. Selain itu tadi Pak Doni memanggilku dan menyetujui seragam yang aku usulkan. Perusahaan pusat juga setuju dengan ideku.

Bersyukurlah aku. Semuanya menjadi lebih mudah.
Tapi kemudian aku mendapatkan wajah muram dari Bella. Dia kini mulai mengetuk- ketukkan jari di dagunya.

“Aku kecewa sama kamu.”  Itu ucapan pertama yang terucap dari Bella saat aku di panggil olehnya ke sini. Ke dalam ruangan yang di tempatinya. Aku menemuinya karena mendapat telepon langsung darinya.

“Kecewa? Toh usul gue itu juga udah di setujui sama Pak Doni dan Pak Ridwan selaku manajer bagian penjualan Bel. Lo juga gak ada hubungannya sama divisi gue. Meski lo tetap atasan gue, tapi jalur ini berbeda.”

Aku sedikit emosi saat mengatakan ini. Bella memang manajer area di sini, tapi keputusanku mutlak bukan tanggung jawabnya.

“Fan. Aku masih setuju saat kamu mengatakan ini untuk perusahaan. Tapi kalau kamu membuat SPG kita menjadi seorang yang lain dari apa yang di tawarkan oleh perusahaan kita, aku tentu tidak setuju.”

Aku mengernyitkan kening. Maksud dia apa? Bella kini beranjak dari kursi yang di dudukinya. Lalu menunjukkan desain seragam yang aku ajukan ke Pak Doni kemarin. Menunjuk layar monitornya. Di sana sudah terpampang dengan jelas desain seragam yang aku buat kemarin.

“Ini. Perusahaan kita kan bergerak di bidang kesehatan kan? Yang artinya memproduksi vitamin dan susu untuk anak. Lah ini apa? Masa spg kita suruh memakai rok mini begini? Gak etis. Gak sopan dan..”

Aku langsung mengangkat tangan untuk membuat Bella berhenti menceramahiku. Tidak suka diceramahinya seperti aku ini anak kecil yang bodoh.

“Pak Ridwan sama Pusat saja udah setuju ama usul gue. Lo gak perlu marah-marah sama gue Bel. Kita lihat aja, formasi spg baru yang gue buat. Grafik penjualan pasti akan naik.”

Aku segera beranjak juga dari dudukku. Lalu langsung menatap jam yang melingkar di tangan.

“Sorry gue mau visit ke outlet.” Bella tampak memijat keningnya. Tapi kemudian menatapku masih dengan wajah muram.

“Mau sama siapa ke outlet?  Kamu kan belum tahu jalanan di Yogya ini. Salman sedang tidak bisa mengantar. Dan mobil perusahaan juga lagi keluar semua.”

Aku langsung menggelengkan kepalaku. Siapa yang mau diantar Salman? Pria itu saja seperti musuh saat melihatku. Buat apa aku harus mendekatinya. Dia juga sepertinya menjauhiku.
“Bisa pakai taksi atau gojek. Udah ya Bel.”

Aku langsung melambaikan tangan dan segera berbalik untuk keluar. Aku juga bisa pergi sendiri, memangnya aku anak tk yang masih harus diantar kemana-mana. Aku dengan cepat membuka pintu ruangan Bella tanpa menunggu jawabannya. Biarkan saja, aku tidak mau menambahi masalah yang makin banyak yang mengendap di hatiku.

“Siang Mbak Fani.”
Aku hanya mengangguk dan tersenyum saat mendengar sapaan dari para staf perusahaan yang sedang berkumpul di depan mesin fotocopy. Saat keluar dari ruangan Bella, memang langsung melewati tempat fotocopy itu.

“Wah, aku mau tuh. Cantik, seksi..ckckckc  putih.”

Celetukan itu masih terdengar di belakangku. Tentu saja aku melangkah dengan bangga. Tubuhku memang sangat aku jaga. Dan penampilanku ini yang membuat Bimo selama ini selalu setia kepadaku. Dia termasuk pria yang memuja kemolekan tubuh. Dan aku memang patut di banggakan.

“Astagfirullah.” Aku terkejut saat menuruni tangga yang akan membawaku ke lantai bawah. Salman sedang duduk di salah satu sofa yang tersedia di lobby. Dari tempatnya duduk dia memang bisa langsung menatapku dengan jelas. Aku yang baru saja sampai di tangga nomor  2 langsung mengernyit karena teriakan Salman. Wanita di bagian resepsionis saja ikut menoleh ke arahku. Ada apa sih?

Aku menunduk untuk menatap tubuhku. Rok spanku yang memang di atas lutut masih terlihat sopan. Stiletto hitamku juga tidak menandakan keanehan. Apalagi kemeja warna putih yang aku pakai  sekarang. Dengan cepat aku langsung menuruni tangga, Salman memang harus di tegur. Dia sudah kelewatan batas sejak kemarin.

Salman masih duduk tenang di sofa. Tapi dia memalingkan wajahnya saat melihatku mendekat.

“Lo ngapain sih? Gak suka sama gue?” Aku langsung berkacak pinggang begitu sampai di depan Salman. Biarin seluruh orang yang berlalu lalang di lobby mendengar. Aku sudah kesal dengan Salman. Mendengar bentakanku itu akhirnya Salman mau menatapku. Tapi tatapannya juga tidak fokus ke wajahku. Dia setiap dua menit membenarkan kacamatanya. Lalu tampak gugup dan gemetar. Aku mengernyitkan kening, tidak salah dia gemetar? Seperti orang yang yang kelaparan saja.

“Mbak Fani ada apa ya?” Aku melotot ke arahnya. Ini pria memang songong. Sungguh suara dan nada datarnya membuat Salman makin terlihat menyebalkan di depanku. Tangannya yang kini memegang cangkir kopi tampak bergetar lagi. Aku mengernyit melihatnya. Takut kalau kopi itu tumpah. Tapi untuk saja Salman langsung meletakkan cangkir kopi itu di atas meja kaca yang ada di depannya.

“Kenapa tadi lo beristighfar saat gue turun? Kenapa juga kemarin lo bersitighar juga? Memangnya gue setan apa?”
Aku melihat Salman kini menatap sekeliling dengan tidak nyaman. Lalu kembali menatapku.

“Maaf mbak kalau sikap saya menyinggung mbak.”
Hanya itu yang di ucapkan Salman. Seperti orang bodoh aku hanya menatapnya saat dia pergi begitu saja meninggalkanku. Tapi sedetik kemudian aku teringat, kata Bella tadi Salman gak bisa nganterin, tapi kenapa dia tadi malah duduk-duduk santai di sini? Wah ini gak bener. Aku langsung berbalik dan mulai mengejar Salman yang masih aku lihat kini keluar dari lobby dan melangkah ke arah parkir mobil.

“Man tunggu!” Tentu saja aku kesulitan mengejarnya dengan stiletto tinggi begini.

“Salman, tunggu…aduh.” Aku berlari cepat keluar dari lobby, tapi mengurungkan niatku untuk menginjak rumput hijau yang tempo hari aku injak itu.

Memutuskan untuk berbuat tertib dengan berputar sedikit, melewati selokan yang memisahkan lapangan parkir dengan taman depan kantor.

Karena tatapanku terus menatap Salman aku tidak menyadari selokan yang ada di depanku. Tiba- tiba salah satu kakiku masuk ke dalam selokan. Perih rasanya. Aku langsung mengaduh dengan keras. Separuh tubuhku benar-benar sudah terperosok di selokan yang meski tak dalam tapi menimbulkan rasa perih di kakiku ini.

“Mbak Pani.”

Itu suara Salman. Tapi saat aku menatapnya dan merintih kesakitan, Salman malah hanya berdiri tak jauh dariku. Dia malah kini berdiri kaku dengan jarak 1 meter di depanku.

“Tolongin ini Man. Gue gak bisa berdiri.”

Aku mulai mengangkat tubuhku, tapi kakiku terasa begitu sakit. Tanganku seluruhnya bertumpu di atas pinggiran selokan. Salman malah berbalik arah dan berlari meninggalkanku. Astaga dia memang membenciku kan?

“Aduh.” Aku berusaha sekuat tenaga mengangkat tubuhku. Dan dalam satu sentakan aku bisa mengeluarkan kakiku. Aku berguling ke atas aspal. Bisa melihat dengan jelas kakiku yang berdarah dan terdapat luka-luka yang terperosok tadi.

“Ini Mbak Sinta, tolongin Mbak Pani.”

Aku mendengar teriakan Salman. Pria itu datang dengan Sinta, resepsionis tadi. Sinta langsung mengulurkan tangan untuk membantuku. Tapi aku kembali mengaduh.

“Aduh Sin, kakiku terkilir ini gak bisa di gerakin.”
Aku menatap Sinta yang kini menatapku dengan khawatir. Lalu melotot kepada Salman yang malah berdiri saja di belakang Sinta tanpa melakukan apapun.

“Lo tolongin gue deh Man. Angkat tubuh gue..”

“Maaf mbak saya ndak bisa.”
Jawaban Salman membuatku menggeram. Sudah sangat kesal terhadap sikapnya itu.

“Udah mbak sini aku yang tolongin.” Sinta sudah sedikit membungkuk, lalu mencoba untuk menarikku. Tapi karena saking kuatnya aku menarik yang ada Sinta malah ikut tertarik ke arahku. Dan akhirnya tubuh Sinta malah menimpaku. Ini sepertinya aku sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Bersambung

NIKAH YUK!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang