PRAHARA
1 Minggu lebih setengah hari 30 menit. Bimo baru menghubungiku lagi. Aku sudah sangat putus asa dengan dirinya yang sepertinya menghilang. Seperti Salman yang juga menghilang kembali setelah aku bertemu dengannya tempo hari di rumah kakaknya Bella. Saat ini aku sedang duduk di depan 50 spg yang memang agendanya hari ini meeting sebentar denganku.
Teleponku berdering. Saat aku menjawabnya, ada Bimo di ujung sana.“Darimana saja kamu? Alasan sinyal lagi? Memangnya kamu sekarang ada di mana? Pedalaman papua?” Tentu saja aku tidak bisa menahan emosiku. Kemarin dua hari setelah Bimo tidak menelepon aku khawatir dia mengalami kecelakaan. Tapi setelah aku bertanya kepada salah seorang temannya yang aku tahu lewat telepon.
Katanya Bimo sedang pergi keluar kota. Aku sudah bersabar. Dan sekarang sudah lebih dari cukup untuk menoleransi sikap Bimo yang sepertinya seenaknya sendiri itu.
Mungkin suaraku terlalu keras, karena beberapa pasang mata kini menatapku dengan penasaran. Akhirnya aku beranjak dari dudukku. Memberi tanda kepada mereka semua untuk istirahat. Lalu berjalan ke arah ruangan milikku yang ada di sebelah ruangan meeting. Aku duduk di sofa dan menyandarkan kepala. Sangat lelah untuk hari ini.“Kenapa kamu marah sama aku?” itu jawaban Bimo Dia juga baru menjawab setelah sekian lama diam.
“Kamu tidak memberi kabar kepadaku Bim. Bahkan saat aku terkapar sakit di sini. Pacar macam apa..” Aku sudah mencapai ambang batas kesabaranku. Bimo bersikap aneh kepadaku selama ini.
“Demi Tuhan Fan. Kamu kan bukan lagi anak smp. Yang kalau pacaran harus mendapatkan ucapan semoga cepat sembuh dari pacarnya. Kamu ini udah tua Fan, ingat umur kamu.”
Deg
Kenapa Bimo mengatakan hal itu? Aku memijat pelipisku. Bimo sekarang berubah sejak aku menolak ajakannya untuk bercinta saat aku berangkat ke sini.
“Sinis sekali kamu. Gak usah ingetin berapa usiaku. Aku ini perawan tua yang..”
“Memang perawan tua yang kolot.”
Mendengar ucapan Bimo sontak saja amarahku tersulut. Sejak menelepon tadi kenapa Bimo mengatakan hal-hal yang menyakiti hatiku.
“Kamu kenapa sih Bim?” Terdengar helaan nafas di ujung sana. Bimo tampaknya sedang berjalan atau mengendarai mobilnya karena aku mendengar sedikit suara-suara tak jelas.
“Sorry. Aku lagi sibuk nih. Nanti aku telepon lagi.”
Bunyi telepon di tutup membuatku terkejut. Dia kenapa sih? Harusnya kan aku yang marah?
Aku tidak bisa di buat menggantung seperti ini. Aku kembali menghubungi nomor Bimo. Dan terdengar nada sambung di ujung sana. Tapi hampir 5 menit telepon itu tidak di jawab. Hmpir saja aku mematikannya.
“Halo.”
Deg. Aku terkejut mendengar seorang wanita yang menjawab telepon.
“Bimo mana?” Jawabku galak. Ini Bimo mau main api denganku sepertinya. Amarahku sudah sampai ubun-ubun. Bagaimana bisa baru ditinggal beberapa hari di sini saja dia sudah berselingkuh.
“Owh dia sedang mandi. Ini siapa ya? Nanti aku sampaikan.”
Aku mengernyit mendengar ucapan wanita di ujung sana. Memangnya siapa dia berani memerintahku?
“Gue mau ngomong sama Bimo sekarang. Bilang ini calon istrinya.”
“Calon istri? Tapi Bimo saja sudah menikah sama aku kok. Kita lagi bulan madu di bali sekarang.”
Serasa dunia mau runtuh menimpaku mendengar ucapan wanita itu. Aku benar-benar shock mendengar kenyataan ini. Benarkah Bimo setega ini? Aku tidak merasakan lagi saat ponsel yang aku pegang terlepas dari tanganku. Air mata sudah memburamkan pandanganku. Kenapa Bimo tega kepadaku? Katanya dia yang mencintaiku. Katanya dia yang… Tangisku pecah seketika. Tapi aku membekap mulutku dengan tanganku. Di luar masih ada anak buah yang menungguku untuk melanjutkan meeting. Tapi sepertinya aku tidak bisa mengatakan apapun. Aku terlalu shock untuk saat ini.
****“Hei udah nangisnya Fan.” Suara Bella membuatku kini menekuk kedua lutut dan menyandarkan daguku di lututku yang sudah berhimpitan. Duduk di atas kasur di dalam rumah. Bella tadi mengantarku pulang saat melihatku hampir ambruk di kantor. Tubuhku memang langsung lemas dan kepalaku berputar saat mendengar Bimo memang sudah menikah.
Setelah mendengar pengakuan istrinya itu, aku segera menghubungi teman-temanku yang ada di Jakarta, dan mereka membenarkan. Mereka kasihan kepadaku sehingga tidak memberi kabar ini. Bimo menikah seminggu yang lalu, saat aku terbaring di atas brankar dengan kaki terkilir. Owh sungguh kejam rasanya.
“Aku jadi tidak tega mau ninggalin kamu Fan.” Bella kini menatapku penuh arti. Dia memang sahabat terbaik untukku.
“Aku telepon ke kantor dulu ya? Mau ijin aku juga gak balik. Aku gak bisa ninggalin kamu yang kayak gini.”
Aku hanya mengangguk lagi. Air mata masih terus mengalir di wajahku. Sungguh hatiku terasa begitu sesak. Tidak menyangka Bimo akan berbuat seperti ini.
Bella keluar dari dalam kamar, dan meninggalkanku sendiri. Saat itulah aku mendengar suara adzan dari masjid dari samping rumah. Aku menatap jam yang menempel di dinding. Pukul 12 tepat. Waktu dhuhur sudah tiba. Entah kenapa mendengarkan kumandang adzan itu hatiku menjadi damai.
“Fan pinjam mukena ya, aku mau shalat dhuhur di masjid.” Bella muncul dari ambang pintu kamar. Dan tentu saja aku mengangguk. Tapi kemudian aku beringsut dari dudukku dan kini mulai turun dari atas kasur.
“Aku ikut ke masjid ya?”
Bella sepertinya terkejut mendengar ucapanku. Aku sendiri juga terkejut, karena selama ini aku tidak pernah menjalankan kewajibanku sebagai umat islam. Aku lalai dan saat ini aku ingin mencobanya lagi. Mungkin karena hatiku sedang gelisah.Bella langsung merangkul bahuku. “Kita sama-sama berjamaan ke masjid ya.”
****“Monggo Mbak Fani. Assalammualaikum.”
“Waalaikumsalam. Mari buk.”
Aku membuka pintu rumah. Dan langsung masuk ke dalamnya. Masih memakai mukena yang baru saja aku pakai shalat jamaah di masjid. Setelah tadi siang shalat dhuhur dan ashar bersama Bella. Akhirnya aku memberanikan diri saat maghrib shalat di masjid lagi. Sendiri. Bella sudah pamit pulang ke rumah setelah memastikan aku tidak akan menangis lagi.
Tapi memang setelah shalat hatiku menjadi sedikit tenang, meski masih sedih tapi tidak seperti tadi. Tangisku sudah berhenti dan perasaan itu hanya terasa kebas. Apalagi tadi di masjid aku bertemu dengan ibu-ibu yang sangat ramah. Bahkan mengajariku mengaji. Untuk mengisi waktu antara Maghrib dan Isya.Kubuka mukenaku dan kulipat lalu ku simpan di dalam almari. Kini aku terduduk di atas kasur. Merasa sangat berdosa karena selama ini aku benar-benar tidak menjalankan semua perintah Allah.
Padahal mama sejak kecil mendidikku dengan baik. Hanya saja memang setelah dewasa, mulai bekerja dan di sibukkan dengan aktivitas aku mulai melupakan ajaran agama. Tidak pernah shalat, karena lingkungan di sekitarku juga seperti itu.
Kuhela nafasku. Aku mulai naik ke atas kasur. Dan saat itulah aku merasakan ada yang mengganjal di bawah tanganku. Saat aku meraba, ternyata ada sesuatu di balik seprai. Segera aku menyingkap seprai warna merah muda dengan motif apel itu dan meraba ke bawahnya.
Aku terkejut mendapati buku pemberian dari Salman ada di sana. Langsung saja aku mengambilnya. Aku tidak ingat kapan aku meninggalkannya di sini. Agak lupa sebenarnya.Langsung saja aku menyobek pembungkusnya dan segera membuka.
NIKAH YUK!
Mengernyitkan kening saat membaca judul yang ada di depannya. Aku langsung membuka halaman pertama dan membaca siapa yang menulis buku itu.
“Salman Faturohman.” Tentu saja aku membelalak terkejut. Ini yang menulis Salman?
Aku langsung membuka halaman berikutnya. Di sana tertuang tulisan Salman yang sepertinya tidak sekali saja dia menulis.Pasti ini sudah bukunya yang kesekian. Buku ini tentang nasihat kepada kaum muda. Menjelaskan apa itu nikah, dan hukum-hukumnya. Baru sekilas saja aku membaca aku sepertinya terhanyut dengan gaya kepenulisan Salman. Pria yang tampak kaku saat kuajak berbicara itu, di sini tampaknya tampil lain.
Dia tidak menggurui dan lebih menekankan nasihat yang ringan. Tak terasa aku bersandar di di dinding dengan duduk di atas kasur dan membaca tulisan Salman. Pria itu benar-benar pintar merangkai kata. Pantas saja dia bersikap antipati kepadaku. Dia itu karena dia tahu hukumnya. Dia pintar. Aku merasa kerdil saat membaca buku milik Salman ini. Terhanyut dengan setiap penulisannya.
Aku menandai sampai mana aku membacanya, karena mataku sudah terasa begitu berat. Mungkin karena efek menangis seharian sehingga kelopak mataku ingin menutup terus. Akhirnya aku menyerah dan tertidur.Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
NIKAH YUK!
روحانياتAku tidak percaya kalau menikah tanpa berpacaran terlebih dahulu. Mana ada orang bisa cocok hanya dengan kenal satu kali dan langsung menikah. Big No! aku tidak mau terperangkap di dalam pernikahan tanpa cinta dan tanpa rasa. Tapi tenggat waktu untu...