Bab 06

11.4K 1.1K 5
                                    

RESAH

Merenung. Selama 5 hari masa sakitku aku lebih banyak merenung. Rasa sepi yang menggerogoti hatiku makin menjadi. Setelah telepon Bimo yang marah tempo hari itu, dia tidak menelepon lagi. Bbm mati, line tidak di baca, maupun saat aku meneleponnya.

Selalu operator yang menjawabnya. Tapi yang lebih membuat aku merenung karena kedatangan Salman tempo hari. Kenapa dia minta maaf kepadaku?
Kulirik buku yang di berikan Salman saat menjengukku. Masih rapi terbungkus kertas kado motif batik. Sejak dari rumah sakit, bahkan sampai aku sudah masuk kerja lagi. Buku itu kusimpan rapi di dalam tasku. Belum aku buka tapi masih berada terus di tas dan kubawa kemana-mana. Lalu saat aku sampai di meja kerjaku, buku itu aku keluarkan dari dalam tas dan kuletakkan di meja. Hanya itu.

Bimo menghilang, dan aku kini lebih fokus ke pekerjaan. Menghandle semua SPG baru dan pekerjaan yang selama 5 hari aku tinggalkan. Bella tidak lagi menyinggung-nyinggung ideku tentang peraturan baru dan seragam yang aku usulkan. Hanya saja dia lebih banyak diam sejak aku masuk lagi ke kantor.

Mengenai Salman, aku mendapatkan info kalau pria itu pergi ke Solo. Bella mengatakan kalau Salman meneruskan pendidikannya atau entah apalah. Sedikit kecewa karena aku juga belum minta maaf karena sikapku kepadanya itu. Hati nuraniku terusik.

“Fan, nanti sore kamu mau datang gak?”

Bella sudah masuk ke dalam ruangan kantorku. Dia tersenyum lembut sebelum menyerahkan sesuatu kepadaku. Aku menerima undangan yang di ulurkan kepadaku itu dan mulai membacanya.

“Khitanan siapa Bel?”
Aku membaca nama yang tertera di situ. Lalu menatap Bela yang kini mulai memainkan jam yang ada di atas meja. Jam meja yang aku temukan kemarin pas jalan-jalan ke malioboro itu memang lucu bentuknya.

“Ponakanku. Datang ya Fan, aku mau kenalin kamu sama ponakan-ponakan yang lucu. Lagian kamu kan pasti gak ada acara, daripada Cuma diem di kontrakan.”

Bella selalu bisa memaksaku untuk memenuhi keinginannya. Yah tawaran yang menarik, daripada aku bengong sambil nunggu telepon dari Bimo yang entah kapan. Akhirnya aku tersenyum dan mengangguk.

“Ok deh nanti gue ke sana, Atau lo yang jemput gue?”
Bella langsung tersenyum
senang. “Aku aja yang jemput ke kontrakan ya? Be ready on 5 pm.”

****
Aku di sini. Tampak salah tingkah memang. Di tengah keluarga besar Bella. Yang sunatan itu keponakan Bella anak dari Kak Andre kakak Bella yang juga menetap di sini. Acaranya memang pengajian, dan untung saja aku tidak salah kostum. Mama kemarin memasukkan satu kerudung miliknya dan juga gamis.

“Kamu perlu itu Fan, siapa tahu kamu insyaf.” Itu ucapan mama saat membantuku memasukkan baju-baju ke dalam travel bag. Tadinya aku kesal, tapi sekarang merasa sangat berterimakasih dengan mama.

“Fan laper enggak. Ikut aku yuk.” Bella menghampiriku yang duduk di kursi lipat. Dimana semua tamu undangan juga sedang khidmat mendengar pak ustadz yang sedang berceramah di depan. Aku menoleh ke arah samping dan melihat Bella yang tengah menggendong Rino, putra bungsunya yang baru berusia 2 tahun itu. Tentu saja aku langsung beranjak dari dudukku. Kubenarkan kerudung yang hanya tersampir di bahuku. Aku memang merasa gerah sehingga tidak memakainya.

“Tahu aja kalau aku lapar. Halo Rino gendong tante aja yuk.” Aku mengulurkan tangan kepada Rino yang langsung mau aku gendong. Bocah lucu ini tampaknya lelah dan mengantuk.
Bella melangkan mendahuluiku untuk masuk ke dalam rumah. Melewati beberapa orang, dan akhirnya sampai di ruangan yang memang di tata untuk acara prasmanan.

“Biar kita makan dulu, soalnya Rino ama Rendi udah rewel minta pulang. Mas Vino sedang meninabobokkan Rendi di dalam mobil. Kita makan dulu.”

Aku menatap Bella yang kini sudah mengambil piring.

“Mending lo ambilin Mas Vino sama Rendi makanan juga. Biar gue ambil sendiri sama jaga Rino” Aku menunduk untuk menatap Rino yang kini sudah menyandarkan kepalanya di bahuku. Dia mengantuk.
Bella mengangguk setuju lalu mengambilkan nasi untuk suami dan anaknya.

“Sebentar ya. Rino sama tante Fani dulu ya?” Bocah itu mengangguk saat aku mulai duduk di salah satu kursi lipat. Menunggu Bella kembali. Rino sudah menggelendot manja dan mulai memejamkan matanya. Saat aku mengedarkan pandangan ke depan, saat itulah aku melihat Salman. Dia tampak sangat santun. Dengan baju koko warna hijau mint, sarung warna senada dan juga peci yang membuat wajahnya makin terlihat alim.

Aku terkejut. Entah kenapa reaksiku seperti ini. Jantungku berdegup kencang saat Salman tersenyum dan kini melangkah mendekatiku. Dia bahkan duduk di kursi lipat tapi berjarak dua kursi dariku.

“Loh kok Rino sama Mbak Fani. Sini biar aku yang gendong. Mbak Fani ambil makan saja.”

Aku menunduk menatap Rino yang sudah tertidur pulas. Dan merasakan perutku juga mulai keroncongan. Akhirnya aku mengangguk dan memindahkan Rino di terima oleh Salman. Dengan canggung aku beranjak dan kini melangkah mendekati meja makan. Mengambil piring dengan perlahan, menyendok nasi dan mengambil lauk. Selama itu Salman tidak bersuara lagi. Aku juga menjadi canggung dengan keberadaan kami berdua. Meski ada Rino di sini.

“Kamu gak makan?” Itulah pertanyaanku saat aku kembali duduk di kursi dan menatap Salman yang kini mulai menepuk-nepuk Rino dengan sayang.

“Udah kok mbak.”

“ Owh.”

Aku kembali menatap piring yang sedang aku pegang. Sungguh ini keajaiban buatku. Selama ini aku yang pintar berbicara dan tidak canggung jika harus berhadapan dengan orang-orang. Tapi saat ini aku benar-benar kaku. Sungguh.

“Kakinya gimana mbak?”

“Huh?”

Aku menoleh lagi ke arah Salman yang sekarang memperhatikan kakiku di balik gamis yang aku pakai.

“Owh udah baikan kok. “

“Alhamdulilah.” Salman menjawab aku dengan lirih. Kembali kecanggungan ada di antara kami. Aku sendiri bingung harus berbicara apalagi. Biasanya Salman tidak mau berduaan denganku. Meski sekarang juga tidak bisa di katakan berdua juga.

Aku berdoa semoga Bella cepat kembali sehingga bisa menghilangan rasa gelisahku. Aku tidak bisa mengucapkan apapun. Tapi entah kenapa hatiku merasa tenang saat melihat Salman yang sudah 5 hari ini menghilang.
Saat menoleh ke arahnya lagi, tidak sengaja mata kami saling bertatapan. Dan Salman langsung menunduk. Mengusap-usap rambut Rino yang hitam lebat itu.

“Ehm kamu kemana sih Man 5 hari ini?”

Nah itu sudah aku tanyakan. Daripada suasana jadi enggak enak, maka aku bertanya saja.

Salman tampak mengangkat wajahnya. Tapi dia tidak menatapku. Malah menatap meja prasmanan dengan berbagai hidangan itu.

“Mbak Fani belum baca buku pemberianku ya?”

Bertepatan dengan pertanyaan Salman itu Bella muncul dari pintu samping. Membuat percakapan kami terpotong. Bella langsung menghampiri Salman dan meminta Rino. Setelah itu Salman malah berpamitan dengan sopan kepadaku.

****

Saat sampai di rumah aku segera bergegas masuk ke dalam kamar. Dan membuka tasku. Ingin segera membuka buku yang di berikan Salman. Tapi entah buku itu menghilang atau ketinggalan di kantor. Karena seluruh isi tas sudah aku tumpahkan ke atas kasur. Dan buku yang masih terbungkus kertas kado itu tidak ada.
Kurebahkan diri di atas kasur. Berpikir kenapa Salman menanyakan itu? Buku sangat penting sekali atau ada sesuatu rahasia di dalamnya?

Bersambung


NIKAH YUK!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang