Bab 17 gangguan lain

12.1K 1.1K 8
                                    

“Tiffany?” Aku langsung menoleh ke arah suara yang memanggilku. Dan aku hampir menjatuhkan buah apel yang sedang aku pegang saat ini. Mama menyuruhku untuk belanja di salah satu swalayan yang tidak jauh dari rumah. Hari ini ada pesanan pie apel. Jadi setelah aku pulang dari mengajar, aku langsung mampir ke sini.
Setelah semalam tidak bisa tidur memikirkan lamaran David. Hari ini aku merasa sangat lelah. Ditambah ada orang yang sebenarnya tidak mau aku temui untuk saat ini.
“Ini beneran kamu kan Fan? Astaga berarti beneran omongan teman-teman. Kamu udah berubah.”
Bimo mengamatiku dari atas hingga ke bawah. Hari ini aku memang memakai gamis warna hijau tosca lengkap dengan bergo panjang dengan warna senada. Bimo tampak lebih kurus sepertinya.
“Maaf aku harus segera pulang.” Aku memasukkan buah apel yang aku pilih ke dalam plastik yang tersedia dan nanti akan di timbang di kasir. Tapi Bimo tiba-tiba menyentuh lenganku. Tentu saja aku langsung menarik tanganku. Tidak mau bersentuhan dengannya.
Bimo langsung menarik tangannya dan mengangkat kedua tangan tanda menyerah.
“Sorry Fan, tapi bisakah kita bicara?”
Aku menatap Bimo. Tidak tahu kenapa aku langsung mengangguk. Mungkin karena melihat wajah Bimo yang menghiba itu.
****
Akhirnya aku memilih cafeteria yang ada di dekat swalayan dan memilih outdoor yang banyak orang. Bimo sudah memesankan pasta dan coklat hangat untukku. Sedangkan dia hanya memesan kopi pahit.
“Sekarang waktumu 5 menit. Ini sudah mendekati waktu dhuhur.”
Bimo mengernyitkan keningnya mendengar ucapanku. Tapi kini dia bersedekap dan menatapku dengan tatapan yang sama seperti dulu saat kami masih menjadi sepasang kekasih. Aku mengalihkan tatapanku. Tidak mau tergoda lagi. Dia masih Bimo yang dulu. Bahkan lebih tampan sejak aku sudah tidak bertemu dengannya lagi. Dandanannya yang kasual dengan jins, kaos polo putih yang melekat di tubuhnya itu makin menguatkan kalau Bimo memang pria yang tidak bisa diabaikan. Pesonanya sudah membuat hatiku sedikit bergetar lagi. Tapi aku mulai beristighfar.
“Aku sudah bercerai.”
Tentu saja informasi dari Bimo membuat aku langsung menatapnya. Tidak percaya tapi aku menganggukkan kepala, Meyakinkan kepada diriku sendiri kalau Bimo adalah masa laluku. Bukankah aku sudah membuka lembaran baru dengan begitu baik?
“Bukan urusanku lagi Bim. Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa. Dan aku bersyukur itu.” Aku langsung beranjak dari dudukku. Kalau harus membahas hal-hal yang seperti ini aku tidak bisa. Hatiku sudah aku kuatkan untuk tidak lagi termehek-mehek dengan yang namanya cinta.
“Fan tunggu.” Bimo ikut berdiri dan menghadangku. Aku sedikit melangkah mundur saat Bimo menghalangi jalanku tepat di depanku. Aku menunduk dan tidak mau menatapnya.
“Dengarkan aku Fan. Aku tahu aku bersalah kepadamu. Tapi itu karena mama memaksaku. Sungguh. Aku tidak bisa melakukan apapun. Tapi pernikahanku dengan Cintya hanya bertahan dua minggu. Aku masih mencintaimu Fan. Masih dan masih. Beri aku kesempatan sekali lagi. Please Fan.” Suara Bimo bergetar. Aku tidak tahan dengan ini semua. Kalau aku harus berlama-lama lagi dengan Bimo di sini. Aku takut akan terbujuk rayuan setan untuk kembali lagi kepadanya.
Hatiku meretih mendengar penuturan Bimo. Dia pria yang sudah menggenggam dan megnhempaskan hatiku begitu saja. Tidak mudah untuk menjalani ini.
“Cintailah Allah Bim. Bukan aku.” Aku hanya mengatakan itu sebelum aku beranjak untuk meninggalkan Bimo yang terdiam saat mendengar ucapanku. Tapi aku juga tidak bisa membendung air mata yang sudah menggenang sejak tadi. Saat aku melangkah keluar dari cafeteria. Air mataku menetes dan terus menetas. Sakit rasanya meninggalkan orang yang dulu pernah aku cintai.
Aku menangis lagi. Untung saja di dekati swalayan ada sebuah masjid. Aku langsung menuju ke sana. Hanya Allah yang bisa menenangkan hatiku.
****
Perasaanku lebih tenang setelah menunaikan shalat duhur. Dan dalam perjalanan pulang aku melewati sebuah toko buku. Aku memang memutuskan untuk berjalan kaki. Selain menenangkan hatiku dan tidak mau mama melihatku wajahku sembab karena air mata. Berjalan kaki bisa menghabiskan waktu 30 menit untuk sampai ke rumah. Meski terasa berat kantong belanjaan yang aku bawa, tapi aku senang.
Berpikir aku ingin mampir sebentar ke toko buku. Aku ingin membeli buku karangan Salman lagi. Entah kenapa saat semalam sehabis shalat istikharah, aku bermimpi tentang Salman. Pria itu tersenyum kepadaku dan mengulurkan tangan. Padahal aku sudah lupa dengannya.
Lagipula dia tidak mungkin pria yang ada dalam jawaban shalatku. Salman kan sudah menikah?
Sapaan seorang pramuniaga menyambutku saat aku membuka pintu kaca untuk masuk ked dalam toko. Aku mengangguk dan menitipkan kantong belanjaan di tempat penitipan barang. Lalu segera melesat menuju rak  buku yang memperlihatkan deretan buku islami.
“RAHASIA CINTA SALMAN FATUROHMAN.”
Aku tersenyum saat membaca buku dengan sampul warna kuning muda itu. Judulnya saja sudah membuatku tersenyum. Aku jadi teringat sosok Salman yang culun. Dengan kacamata yang menaungi wajahnya. Dan juga penampilannya yang jauh dari mode anak-anak jaman sekarang. Hanya saja aku memang merindukannya. Sebuah perasaan yang membuat aku merepih. Aku tidak mau berdosa merindukan suami orang.
Akhirnya aku mengambil buku itu. Mendekapnya erat di dada dan melangkah menuju kasir. Setidaknya dengan membaca buku Salman ini bisa membuat hatiku yang sedang galau menjadi tenang.
Dering ponselku terdengar saat aku keluar dari dalam toko buku. Aku segera merogoh tas selempangku dan mengambil ponsel itu. Menatap layar saat melihat nama David meneleponku.
Melangkah menyisiri trotoar aku langsung menjawab telepon David.
“Assalammaulaikum Fan”
“Waalaikumsalam.” Aku menutupi wajah dengan buku Salman karena siang ini udara terasa sangat panas. Sedangkan kantong belanjaanku aku masukkan ke dalam tas selempangku untuk memudahkan aku melangkah.
“Sudahkah kamu mendapatkan jawabannya Fan.”
Aku terdiam sebentar. Deru mobil yang berlalu lalang di jalan raya membuat aku akhirnya duduk di sebuah pinggiran tembok yang rendah. Yang membatasi taman yang ada dengan trotoar.
“Fan kamu dimana sih? Kenapa berisik?”
David kembali mengutarakan pertanyaan. Dan aku menghela nafas lagi.
“Vid. Ku belum menemukanmu dalam istkarahku. Aku mohon beri aku waktu Vid.”
Ada helaan nafas di ujung sana. Aku tidak mau menyakiti David, tapi aku memang belum mampu untuk menjawab lamaran dari David.
“Baiklah Van. Aku juga akan melakukan hal yang sama.”
Aku mengangguk. Setidaknya David memang orang yang baik. Dia tidak memaksaku. Keyakinanku tambah 1 % lagi untuk David.
“Fani ikut gue masuk ke dalam mobil.” Aku terkejut saat mendengar teriakan Bimo. Dia kini berada di dalam mobil dan sudah berhenti di depanku. Tentu saja hal ini membuat aku kesal. Kenapa Bimo masih terus mengejarku?
“Fan itu suara siapa?” Aku tergeragap saat David bertanya. Dan baru tersadar kalau aku belum memutuskan telepon dari David.
“Owh maaf ya Vid. Nanti kita sambung lagi. Assalammualaikum.”
Aku langsung mematikan ponsel. Tidak mau membuat David salah paham. Lalu kin imenatap Bimo yang masih ada di dalam mobil dan melongokkan kepala dari kaca jendela mobil.
“Aku sudah bilang kan Bim. Sekarang pergi dari sini.”
“Enggak. Gue tadi lihat lo menangis.”
Aku terkesiap saat mendengar ucapan Bimo. Dia melihatku menangis?
“Bim aku mohon. Urusan kita sudah selesai. Aku akan menikah Bim.” Itu aku ucapkan dengan refleks. Aku bisa melihat raut wajah David menjadi berubah. Dia menatapku tak percaya.
“Kamu bohong kan sama aku?”
Kini aku menemukan keberanian. Aku beranjak dari dudukku. Tubuhku rasanya lengket semua karena terik matahari yang bersinar siang ini.
“Secepatnya aku kirim undangan ke rumah kamu.” Setelah mengatakan itu aku langsung berbalik dan tidak menoleh lagi ke belakang. Aku tidak mau melihat raut wajah Bimo. Tidak mau goyah lagi. Meski aku juga belum tahu akan menikah dengan siapa. Memohon pengampunan kepada Allah Swt karena telah berbohong kepada Bimo.

NIKAH YUK!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang