Bab 14 kenyataan

11.1K 1.1K 6
                                        

KENYATAAN

Aku senang David ternyata enak diajak ngobrol. Apalagi aku tahu dia ternyata seorang dosen di sebuah universitas Islam di Jakarta. Darinya aku tahu banyak tentang ilmu agama lagi. David  membuka hatiku dengan lebih besar. Betul kata Bella, orang baik itu pasti akan bertemu dengan orang baik. Kami berpisah di stasiun kota. Aku juga langsung naik angkot untuk pulang ke rumah. Mama sudah menyambutku.

“Mama merindukanmu Fan.” Mama memelukku saat aku masuk ke dalam rumah. Dan pelukan seorang ibu memang pengobat dari semua luka. Setelah memelukku mama menatapku dengan terkejut. Lalu mengusap kepalaku yang tertutup hijab ini.

“Alhamdulilah. Anak mama.. kamu makin cantik Fan.” Aku langsung tersenyum mendengar ucapan mama. Beliau merangkul bahuku dan kini bersama-sama melangkah menuju sofa yang ada di ruang tamu. Aku langsung mendudukkan tubuhku yang terasa penat ini.

“Fani mau belajar agama ma. Boleh ya Fani ikut pengajian tiap hari minggu?” Mama langsung mengangguk dan matanya sudah tergenang air mata.

“Mama dukung. Tapi Fan, Bimo? Kemarin mama ketemu sana si Reva. Dia bilang Bimo udah menikah dan kini sedang berbulan madu. Kamu gak apa-apa kan sayang?” Mama langsung menatapku dengan khawatir. Aku hanya tersenyum. Tidak mau membuat mama bersedih.

“Fani kuat kok ma. Lagipula buat apa Fani bersedih. Mungkin dari dulu tuh Fani gak berjodoh sama Bimo. Cuma Faninya aja yang ngotot. Jadinya ya gini..”

Mama menatapku dengan lembut tapi kemudian tersenyum lebar lagi.

“Mama jadi punya kesempatan jodohin kamu sama anaknya Jeng Mirna dong. Dia udah lama loh naksir sama kamu tapi katanya kamu udah punya pacar kaya dan tampan.”

Aku langsung membelalak mendengar ucapan mama. “ Si Samsul yang baru kemarin lulus sekolah itu? Ih mama mau Fani dapat berondong?”Mama langsung menganggukkan kepalanya dengan antusias.

“Mama dia pantas jadi anak Fani. Bukan suami.” Dan kini mama menggelengkan kepalanya.

“Yang penting bisa buat mama punya cucu. Cepetan deh Fan. Kamu itu cantik, kelamaan pacaran sama Bimo jadi buat kamu tua kayak gini. Eh giliran udah tua aja kamu ditinggal ama Bimo. Mending dapatin berondong Fan.”

Mama ini kalau ngomongin cucu pasti semangat 45. Aku sebenarnya merasa sedih. Gara-gara aku berpacaran dengan Bimo sampai selama ini. Tapi buat apa menyesal, toh nasi sudah menjadi bubur. Yang pasti bagaimana buat bubur itu tetap enak kan?

“Udah mama tenang aja. Kalau jodoh udah datang, Fani pasti nikah ma. Sekarang Fani mau istirahat dulu ma. Besok Fani mau siap-siap mau masukin lamaran. Karena Fani udah keluar dari perusahaan tempat Fani bekerja.”

Mama langsung menatapku sedih lagi. “ Loh kenapa?” Tapi aku langsung menunjuk diriku sendiri.
“Fani ingin jadi manusia yang lebih baik lagi ma. Kalau itu memang jalan yang terbaik buat Fani ya dijalanin. Toh Fani udah dapat tawaran lagi kok mah. Jadi guru tk di yayasan milik teman Fani.”

Aku jadi teringat saat ngobrol dengan David. Dia ternyata memilik yayasan tk. Dan mendengar aku pengangguran dia langsung menawariku pekerjaan itu. Dan alhamdulilah ini jawaban atas kegalauanku saat meninggalkan kota Yogya. Setidaknya aku masih mempunyai penghasilan.

“Owh baguslah. Kue brownis mama juga banyak yang pesen kok Fan. Kamu gak usah khawatir kalau kamu juga belum bekerja. Cuma mama khawatirnya sama tagihan kartu kredit itu. Masa sampai 15 juta Fan?”
Tentu saja aku terkejut mendengar ucapan mama. Seingatku aku Cuma memakai  2 juta selama satu bulan ini.
“Suratnya mana ma?”

****
Aku langsung menghubungi ponsel Bimo lagi. Aku tidak terima kalau tagihan ini di beratkan kepadaku. Memang ini atas namaku, dan seingatku Bimo yang memegang untuk terakhir kalinya sebelum aku berangkat ke Yogya.

“Halo.” Suara berat itu langsung menjawab. Dan aku menengakkan tubuh. Menguatkan diri untuk berbicara dengannya.

“Lo kenapa kirim tagihan kartu kredit ke rumah gue?”

“Fani?” Suara Bimo tampak bingung. Karena aku memang menghubunginya melalui ponsel milik mama. Aku tahu Bimo tidak akan menjawab kalau tahu nomorku.
“Sekarang juga lo bayar semua tagihan itu. Gue gak merasa memakai uang 15 juta itu Bim. Lo udah ninggalin gue buat nikah gue gak masalah. Tapi jangan paksa gue untuk membayar tagihan yang bukan milik gue.”

Ada helaan nafas di ujung sana.” Fan ini bukan kemauanku. Mama yang menjodohkan aku. Dan aku bisa apa saat diancam tidak akan mendapatkan warisan keluarga kalau tidak menikah. Aku tidak sempat memberitahumu. Semua itu mendadak.” Kenapa penjelasan Bimo masih membuat hatiku terasa sakit. Dia benar-benar tidak tahu malu mengatakan ini semua kepadaku.

“Gue gak mau  denger itu lagi Bim. Yang gue tanyain ini tentang tagihan kartu kredit.” Aku tekankan ucapanku. Dia sepertinya bebal saat menerima teleponku ini. Bagaimana bisa dia setega ini kepadaku.

“Sorry Fan. Uang gue terkuras habis buat beliin baju-baju dan perhiasan istri. Makannya gue pakai kartu kredit lo. Gue janji bulan depan gue bayar.”

Aku langsung mematikan ponsel. Sakit rasanya mendengar jawaban Bimo. Dia memang tidak layak untuk aku cintai. Meletakkan ponsel di atas nakas, dan aku beringsut turun dari atas kasur.

Lebih baik aku shalat dhuha dan meminta berserah diri kepada Allah. Tagihan kartu kredit itu membuat aku goyah. Tapi semuanya pasti ada jalannya.

Bersambung



NIKAH YUK!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang