Bab 12 titik nadir

10.9K 1.1K 6
                                    

TITIK NADIR

“Salman apa?” Aku tersedak saat meminum es tehku. Siang ini Bella mengajakku bertemu. Dia khawatir denganku karena tahu kondisi keuanganku saat ini.

Bella menepuk-nepuk punggungku dengan perlahan. Kami sedang makan di warung bakso depan kontrakan.

“Kemarin Mas Vino bilang, kalau bapak menjodohkan Salman sama anak temannya yang baru saja keluar dari pesantren. Dan aku pikir itu memang cocok dengan Salman. Dia itu anak alim, bukankah orang baik dapatnya orang baik juga kan?”

Hatiku teriris mendengar ucapan Bella. Maksudnya Salman di jodohkan dengan seorang wanita yang pastinya cocok dengan Salman? Hatiku yang sempat melambung semalam hancur berkeping-keping. Tapi siapalah aku, perawan tua yang banyak dosa dan pasti juga tidak cocok dengan Salman yang masih berusia 30 tahun. Jarak kami makin terbentang luas. Mungkin Salman waktu menulis surat itu dia khilaf karena tertarik dengan kecantikanku semata.

“Owh syukur deh.”

Aku hanya menjawab seperti itu. Untung saja aku belum cerita tentang lamaran Salman kepadaku. Pasti aku akan sangat malu kepada Bella.

“Kenapa nanyain Salman? Bukannya kamu benci sekali sama Salman?”
Pertanyaan Bella membuatku langsung menatap sahabatku itu. Dia lalu tersenyum kepadaku.

“Aku tahu kok. Kamu benci sama Salman kan?” Tentu saja aku langsung menggelengkan kepala.

“Enggak gue gak benci. Cuma yah lo tahu gimana dia bersikap apatis sama gue sejak pertama gue ada di sini. Tapi ya sekarang gak lagi kok.”
Mencoba untuk menahan rasa sesak yang mendera hatiku. Kenapa di saat aku mulai menemukan seseorang yang aku yakini benar akan menjadi imamku, kembali aku mendapatkan kenyataan pahit? Mungkinkah ini memang hukumanku selama ini.
Bella menatapku penuh arti. “Terus kamu gimana? Mau aku kasih rekomendasi ke perusahaan lain? Harusnya kamu gak usah keluar Fan. Pak Doni kan bisa pindahin kamu ke divisi lain.”

Kuhela nafasku saat topik itu di bahas lagi. Aku memang tidak mengatakan kepada Bella kalau Pak Doni yang memaksaku untuk mengundurkan diri. Sikapku yang plinplan katanya merusak image perusahaan.

“Gue gak apa-apa kok. Lagipula gue malah merasa tenang sudah keluar, bisa lebih banyak belajar tentang agama. Mungkin selama ini gue melupakan kewajiban gue sebagai umat muslim. Gue mau belajar agama Bel. Gue pengen dapat orang baik juga. Kata lo kalau kita baik kita juga akan dapat jodoh yang baik. Gue pengen kayak lo Bel. Beneran.’ AKu tulus mengatakan itu kepada Bella. Aku iri dengannya.

Tentu saja ucapanku membuat Bella langsung menggenggam jemariku dengan erat.

“Alhamdulilah Fan. Alhamdulilah.”Sahabatku itu langsung merangkulkan tangannya di bahuku lagi. Tahu kalau hari ini aku butuh penghiburan.

****
“Mama bingung ni Fan, ada dua tagihan dari bank. Katanya kamu nunggak kartu kredit.”

Ucapan mama seperti menampar wajahku.Kartu kredit apa? Sejak menginjakkan kaki di Yogya ini saja aku tidak pernah menyentuh kartu kredit pemberian Bimo bahkan sepertinya kartu kredit itu masih ada di tangan Bimo. Dan aku teringat kalau kartu kredit itu yang membayar semuanya Bimo. Dia menanggung semua barang yang aku ambil Tapi bukan salahku karena itu memang Bimo yang mau. Dulu saat aku membuat kartu kredit dia ngotot kalau itu semua dibayar olehnya.

“Fan, mama tahu Bimo sudah…mama..” Tentu saja aku bisa mendengar mama sepertinya menangis di ujung sana. Mama temanku curhat, hanya mama. Aku ini anak tunggal dan hanya mama tempatku bersandar. Aku dan mama hanya hidup berdua saja. Papa sudah meninggal sejak aku berusai 15 tahun. Semua itu membuat aku dan mama dekat.

“Mah mungkin ini jalan yang terbaik buat Fani mah. Besok Fani pulang.” Aku langsung menegakkan tubuhku. Tahu harus mengambil keputusan. Meski aku seba.enarnya enggan untuk kembali ke Jakarta. Aku ingin menyepi di sini dulu. Hanya saja telepon mama ini mem buatku sadar. Masih ada urusan yang belum terselesaikan dengan Bimo di Jakarta. Dan aku tidak boleh lari. Aku harus menghadapinya.

“Pulang? Kamu udah selesai kerjanya di situ?”

Kuhela nafasku. Aku tidak tega mengatakan kepada mama kalau aku sudah keluar dari kerja. Kurebahkan diri di atas kasur. Menatap langit-langit kamar, aku harus kuat untuk semua ini.

“Pokoknya Fani besok pulang ma. Tunggu Fani ya.”

Bersambung




NIKAH YUK!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang