PENDERITAAN.
Terbaring kaku di atas brankar. Kaki di perban dari paha sampai mata kaki dan tidak boleh di gerakkan. Selang infuse membebat pergelangan tanganku. Tubuhku rasanya sakit semua. Setelah insiden selokan itu, akhirnya aku di bawa ke rumah sakit. Dengan melihat wajah Sinta dan juga Salman yang merasa bersalah. Tapi aku sepenuhnya membenci Salman. Dia pria pengecut yang tidak mau menolongku.
Aku tidak boleh pulang sampai 5 hari ke depan.Bella sudah menjengukku, pak Doni dan seluruh anak buahku juga sudah menjengukku. Yang belum aku lihat ya si Salman itu.
“Kamu kecelakaan?”
Suara Bimo membuatku meringis. Saat ini kekasihku itu sedang menelepon. Sejak dua hari lalu aku terbaring di sini, baru kali ini dia menelepon. Alasannya dia sedang ada di luar jawa dan sinyal tidak ada.
“Kakiku terkilir parah dan harus menginap di rumah sakit Bim. Aku kangen sama kamu.” Merasakan sakit begini membuatku melankolis. Bimo yang biasanya perhatian saat aku sakit membuatku ingin dia ada di sini.
“Ya makanya kamu itu pulang ke Jakarta. Udah gak usah kerja. Besok kalau jadi istriku kan kamu gak usah kerja. Aku dari pertama kan sudah tidak setuju kamu di tugaskan di Yogya.”
Eh kenapa dia marah coba? Bukannya menghiburku malah membentak-bentak seperti ini.
“Astaga kamu kenapa sih Bim. Aku ini lagi sakit kok kamu malah nyalahin aku?” Hatiku mencelus mendengar bentakan Bimo. Dia tidak pernah membentakku selama ini.
“Kamu buat aku pusing. Mama juga buat aku pusing. Kalau kamu mau aku ajak bercinta kan pasti kamu udah hamil saat ini. Lah ini aku menunggu kamu sampai balik lagi ke sini. Sampai kapan Fan?”
Aku terkejut mendengar ucapan Bimo. Dia selama ini selalu bersabar denganku. Tapi nadanya kali ini tampak begitu gusar.
“Kamu kenapa nafsu banget mau hamilin aku?” Akhirnya aku mengucapkan juga unek-unekku selama ini. Ada helaan di ujung sana. Bimo juga tampaknya berat mengatakan itu.
“Fan gue ada meeting. Nanti gue telpon lagi."
Klik
Aku langsung mengernyitkan kening saat mendengar panggilan Bimo kepadaku. Kalau dia sudah ber lo gue itu pasti dia marah. Ah persetan dengan itu semua. Saat ini aku merasa sendirian di sini.
“Permisi.”
Seorang perawat masuk ke dalam kamarku. Aku hanya mengulas senyum tipis. Tapi kemudian memberengut saat melihat siapa yang masuk di belakang perawat itu.
“Ngapain lo ke sini?”
Aku mengucapkan itu dengan kasar. Suasana hatiku sedang tidak bersahabat. Di tambah ada Salman yang membuatku makin kesal. Dia tampak berdiri di ambang pintu. Masih seperti biasanya dengan celana kain warna hitam, kemeja lengan panjang dan juga kacamata yang bertengger diwajahnya itu. Salman masih pria culun yang menyebalkan untukku.Perawat tadi sedikit berjenggit karena mendengar bentakanku. Dia memberesi piring dan gelas tempat aku makan. Dan Salman masih berdiri di depan brankar dengan wajah datar.
“Saya cuma mau minta maaf mbak. Karena saya kemarin tidak mau membantu mbak. Bukan karena saya benci sama mbak. Tapi karena kita memang tidak boleh berduaan saja.”
Aku langsung melotot ke arah Salman. Pria itu kini tampak membenarkan tas selempang yang di selempangkannya itu. Lalu menatapku sebentar. Tapi kemudian mengambil sebuah buku dari dalam tasnya. Melangkah ke samping menuju nakas yang ada persis di samping brankar. Lalu meletakkan buku itu di sana.
“Saya Cuma bisa memberikan ini sebagai permintaan maaf saya mbak. Permisi.”
Aku tidak bisa mengatakan apapun saat Salman berbalik dan melangkah cepat ke arah pintu lalu menutupnya pelan. Perawat yang masih sibuk memberesi alat makan kini menatapku.
“Dia pria baik loh mbak. Tadi dia berdiri lama di depan pintu kamar ini. Entah kenapa kok hanya berdiri di situ. Saya bolak-balik sampai sepuluh kali juga ada. Tapi dia hanya berdiri di depan pintu. Sampai saatnya saya masuk ke dalam dia langsung mengikuti saya. Eh dia pria alim ternyata ya mbak. Cakep juga orangnya.”
Aku hanya mengangguk kaku saat akhirnya perawat itu berpamitan. Masih terngiang ucapannya. Salman berdiri di depan pintu dan tidak berani masuk? Aku tahu pria yang seperti itu. Dulu aku juga pernah bertemu dengan pria-pria alim yang keluar dari pondok pesantren. Sikapnya persis dengan Salman. Menguap sudah amarahku selama ini. Ternyata Salman memang menjaga jarak karena dia mematuhi semua aturan agama. Hatiku terusik saat ini. Benarkah aku sudah sangat jauh meninggalkan norma agama?
Bersambung

KAMU SEDANG MEMBACA
NIKAH YUK!
SpiritualAku tidak percaya kalau menikah tanpa berpacaran terlebih dahulu. Mana ada orang bisa cocok hanya dengan kenal satu kali dan langsung menikah. Big No! aku tidak mau terperangkap di dalam pernikahan tanpa cinta dan tanpa rasa. Tapi tenggat waktu untu...