Bab 10 halangan

11.3K 1.1K 6
                                        

BAB 10
HALANGAN!

“Ini Mbak Fani kan?’

“Bu Fani?”

“Fani” Semua mata tertuju kepadaku. Aku sedang berdiri di ambang pintu ruangan meeting. Pagi ini memang ada meeting bersama seluruh staf bagian penjualan. Ada Bella juga di sana. Aku melangkah masuk ke dalam dengan ragu. Tampak kikuk karena tatapan orang-orang yang kini semuanya tetuju kepadaku. Bahkan aku mendengar kasak-kusuk dari beberapa SPG yang ikut meeting.

“Fani mau kemana atau habis dari mana?” Itu suara Pak Doni saat aku sampai di sampingnya. Bella bahkan tak berkedip saat aku menarik kursi dan kini duduk di sebelahnya.

“Saya masuk kerja pak.” Jawabku datar. Dan Pak Doni sepertinya menatapku lama, tapi kemudian dia mengalihkan tatapannya ke depan lagi.

“Heh, kamu beneran ini?’ Bella menyenggol lenganku saat aku mengeluarkan buku dan mulai menulis. Dia berbisik tepat di telingaku.

Aku tersenyum dan mengedipkan mata kepadanya. “Surprise.”
Bella langsung mengangguk dan memeluk bahuku. Dia sepertinya orang yang paling senang dengan perubahanku. Karena aku tahu pasti aku akan mendapat teguran dari Pak Doni sebentar lagi.

“Meeting kita lanjutkan nanti, silakan membaca produk knowledge yang baru saja saya bagikan. Sementara itu saya ingin meminta Bu Fani ikut keruangan saya.”

Aku hanya menghela nafas saat mendengar ucapan Pak Doni. Menguatkan diri sekali lagi. Ini pilihanku. Seperti kata Salman dalam bukunya, kalau cobaan itu pasti datang di saat kita akan menuju yang lebih baik. Dan aku langsung mengalaminya. Aku beranjak dari kursi dan mngikuti Pak Doni masuk ke dalam ruangannya.

“Ada apa denganmu Fan?” Belum juga aku duduk di kursi yang ada di depan meja Pak Doni sudah mencercaku. Dia kini berkacak pinggang dan menatapku tajam.

“Owh saya hanya mengenakan hijab pak. Apa saya salah?”

Pak Doni langsung menggelengkan kepalanya. Tampak gusar untuk saat ini.

“Aku juga orang islam, tahu juga kewajiban wanita untuk memakai hijab. Tapi ini beda Fan. Kamu kemarin yang mengusulkan kepada anak-anak dan mencetuskan peraturan bahwa di larang memakai hijab, nah sekarang kenapa kamu yang melanggar sendiri?”

Astaghfirullah. Aku seakan lupa kalau membuat peraturan seperti itu. Aku terduduk di kursi, sementara Pak Doni masih berdiri menjulang di depanku dan tampak murka.

“Owh maafkan saya pak.” Aku meminta maaf. Tapi tidak gentar dengan hardikan Pak Doni. Di dalam hati aku terus beristighfar. Takut kalau aku akan goyah lagi.

“Sekarang juga lepas hijab kamu itu. Ini kontrak kita Fan. Lagipula kamu diperlukan untuk penjualan bulan ini semakin meningkat. Kalau leadernya saja pakai hijab mana mau anak buahnya mematuhi peraturan.” Pk Doni sudah melotot ke arahku dengan tatapan galak. DAku tidak menyangka Pak Doni akan marah besar denganku. Bukankah beliau selama ini adalah sosok panutan di kantor ini?

“Tapi pak..” Aku mencoba menentang ucapan Pak Doni. Tapi beliau sudah menggelengkan kepala dengan gusar. Tidak ada senyum menenangkan dari Pak Doni. Dia berubah menjadi monster yang siap menerkamku kapan saja.

“Udah-udah. Aku kasih kamu waktu 1* 24 jam. Buat kamu pikirin. Kalau kamu tidak mau, sebagus apa pekerjaan kamu. Aku tetap akan memecatmu Fan. Ini peraturan yang kamu buat sendiri dan kamu harus menerima konsekuensi.” Aku langsung mengangguk. Tahu kalau aku menentang pun hasilnya tetap saja. Di sini aku yang bersalah memang. Aku yang mengingkari peraturanku sendiri.

“Baik pak.” Aku hanya mengatakan itu. Pak Doni menganggukkan kepalanya. Lalu memberikan tanda kepadaku untuk keluar dari ruangannya. Sebenarnya aku ingin memberikan pembelaan. Tapi melihat wajah Pak Doni yang bersikeras seperti itu membuatku akhirnya menyerah.
Aku beranjak dari dudukku.
Berpamitan dengan sopan kepada Pak Doni sebelum akhirnya melangkah keluar dari ruangan ini. Langkahku gontai saat menuju ruanganku sendiri. Beberapa orang yang berpapasan denganku sepertinya juga menatapku dengan terkejut atas perubahanku ini.

“Bu Fani. Cantikan gak pake hijab.” Celetukan itu menghentikan langkahku. Aku menoleh kea rah kubikel dimana ada Roni salah satu staf administrasi yang bersiul tiap kali aku melewati kubikelnya.

“Masa?” Aku tersenyum ramah kepada Roni yang kini terang-terangan menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Baru aku sadari kalau tatapan itu membuatku jijik dan jengah. Berarti selama ini aku mendapatkan pandangan seperti itu dari semua orang yang terang-terangan memuji tubuhku.

Astaghfirullah.

“Iya. Lebih seksi kemarin. Mana tu paha mulusnya. Tubuh bohainya. Gini gak asik bu. Kenapa pakai hijab kayak gini? Saya jadi gak bisa bayangin Bu Fani lagi kalau mau tidur di malam hari.”

Aku bersitighar lagi mendengar ucapan mesumnya itu. Sebagai wanita dewasa aku paham betul apa yang di maksud Roni saat ini. Merinding dan begidik ngeri membayangkan hal itu. Aku langsung berbalik dan melangkah dengan cepat. Hatiku menangis. Serendah itu harga diriku sebagai seorang wanita di hadapan para pria selama ini. Aku sudah membuat diriku rendah sendiri. Aku merutuki semua ini.

Bersambung

NIKAH YUK!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang