⚠️|| t y p o
⚠️|| c u s s i n g
• • • • • • • •Tubuhku sudah sepenuhnya pulih semenjak beberapa hari belakangan, dan setiap kali mengingat rasa sakit yang aku alami di tubuhku ini, aku pun juga teringat akan kesalahan yang ia perbuat. Seandainya dia memberitahuku sebelumnya, seandainya dia bisa lebih terbuka lagi padaku, seandainya dia bisa lebih patuh lagi, dan seandainya hanya tinggal seandainya saja, di kala semuanya telah terjadi.
"Nick, jadi abis ini lo mau ke mana? Mau ke WC gak? Ato mau ke kantin? Ato—"
Aku menatap Leo teraneh. Belakangan ini semenjak insiden itu dia jadi kelihatan lebih...nempel? Entahlah, dasar orang aneh. Aku memutar mataku.
"Lo kenapa sih?" Tanyaku dengan nada yang agak tinggi, rasanya aku risih sekali setiap kali ia begitu.
Saat ditanya begitu, dia malah gelagapan dan menggaruk lehernya canggung, "uh...lo kan temen gua, Nick—"
Aku langsung melototinya, "anjir! Stop! Jangan lanjutin kata-kata menjijikan semacem gua-gak-mau-lo-kenapa-napa."
Terlepas dari prediksiku, dia malah tertawa—terbahak-bahak pula. Kelas telah bubar beberapa menit yang lalu, artinya aku tidak perlu menahan rasa malu ini. Tanganku gatal sekali untuk memukul kepala bagian belakangnya, jadi kulakukan saja. Dia mengaduh dan itu membuatku puas.
"Woi! Dasar orang gila!" Serunya sambil memegangi daerah kepala yang aku pukul tadi.
"Gua pengen langsung ke kelas Carol aja. Gua pengen jalan sama dia hari ini." Ujarku kemudian, menjawab pertanyaannya yang tadi itu.
Dia memutar matanya saat mendengar jawabanku, "yaelah, bosen amat hidup lu. Carol lagi, Carol lagi—"
"Bacot, Tai. Gua gak butuh komentar gak penting lo itu." Potongku dengan sinis, dan anehnya lagi, dia kembali tertawa renyah. Aku mengerutkan dahiku.
"Apa sih?" Tanyaku risih, karena dia masih saja tertawa.
"Gak papa, sih, tapi lo galak banget sumpah. Gua sampe gak ngerti kenapa Carol masih kuat sama lo."
Aku menatap temanku itu dengan wajah datar sebelum keluar dari ruang kelas kami. Aku memutuskan untuk menunggu Carol di kantin kampus saja. Sekarang masih jam tiga lewat, dan kelas Carol baru bubar sekitar jam empat nanti.
"Woi, ayolah gua cuma bercanda, Jir!" Seru Leo dari kejauhan, membuat orang lain menatap ke arah kami dengan penasaran. Sial.
"Lo bacot, Anjir!" Desisku saat jarak kami sudah dekat. Kami memutuskan untuk duduk di salah satu meja di kantin ini yang masih kosong.
Suasana kantin terasa gaduh karena ini memang banyak anak-anak kelasku di sini. Sudah dapat meja kosong saja masih syukur.
"Maap la, makan kuy!" Aku mengangguki tawarannya itu.
"Gua pesen dulu ya, ato lo mau nitip?"
"Kalo gua nitip pasti ujung-ujungnya gua yang bayar. Kan, Tai." Jawabku dengan pedas dan dia malah cengengesan layaknya orang bodoh.
"Kan ongkos jalan, Bos."
"Lah, lo sama si Arief gak jauh beda, ya. Padahal ke kampus naik Merci." Ejekku dengan nada sarkastik.
"Lah, lo sendiri ke kampus naik—"
"Waduh, ada dua bos besar nih. Traktir dong!" Tiba-tiba, seperti setan ketika namanya disebut munculah sosoknya, Arief menghampiri kami dengan buku-buku tebal ditenteng di satu tangannya dan tangan yang lain sibuk memegangi tas laptop-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey Money
Romance● | completed [ 18-02-18 ] △ | 16+ △ | not edited △ | s̶e̶r̶i̶n̶g̶ ̶g̶o̶n̶t̶a̶-̶g̶a̶n̶t̶i̶ ̶c̶o̶v̶e̶r̶ "Panggil gua daddy dan turutin perintah gua, maka semua yang ada di dunia jadi milik lo." "Udah gila kali ya, lo?" • • • Carol, gadis itu tak pern...