⚠|| t y p o
⚠|| cu s s i n g
⚠|| d a d d y kinks
• • • • • • • •06.35
Nanti, nanti, nanti.Nanti itu selalu terasa ambigu dan tidak pasti. Hal itu selalu membuat orang seperti Markus gelisah. Namun anaknya itu, Dominic, nampak selalu menganggap remeh pembicaraan mereka tentang hal ini-tentang hal yang sangat penting baginya.
"Nick, Papa mau bicara sama kamu." Tegas lelaki itu sekali lagi. Dominic kini tengah memakan sarapannya.
Rencananya memang ia mau bangun pagi, tapi tak sepagi ini-ia bukan anak sekolahan lagi for fück's sake. Ini semua berkat pria berkepala lima dengan wajah yang hampir identik dengannya.
Beliau dengan santai masuk ke apatermen anak ketiganya saat matahari masih malu-malu untuk naik ke angkasa. Masuk ke kamar anaknya dan membangunkannya, seakan-akan Dominic adalah anak kecil yang tidak bisa bangun dengam sendirinya.
"Ya udah. Aku dengar, kok. Telinga itu 'kan adalah salah satu indra sensoris manusia. Jadi harusnya mendengar itu mudah." Ujar Dominic dengan nada sarkasme samar-samar.
"Papa mohon sama kamu. Coba saja sekali. Kalau kamu gak suka, kamu bisa berhenti."
Alis kanan anak lelakinya itu naik, "Untuk selamanya? Papa gak akan pernah lagi maksa aku untuk belajar hal ini lagi?" Kini senyum miring terplester di wajah tampannya.
"Iya. Papa janji tidak akan ganggu-ganggu kamu lagi untuk urusan seperti ini." Janji Markus dengan mantap. Ia sudah memikirkan ini matang-matang sejak kemarin-kemarin.
"Lagian kan ada Darcy. Dia kan jago banget bisnisnya, Pa." Sahut Dominic sambil memakan sarapannya.
"Darcy kan udah punya usaha sendiri, Nick." Ujar Markus sambil mengingat anak gadis pertamanya yang masih saja betah dengan status singlenya di usia ke-28nya tahun ini.
"Danette?" Usulnya lagi.
"No. Dia benar-benar lagi sibuk sama kehamilan pertamanya." Jawab Markus lagi sambil mengingat anak keduanya yang sedang hamil setelah sekitar enam bulan lalu menikah dengan lelaki mapan yang ia sangat restukan.
"Yaudah, Papa kalo begitu cuma bisa berharap sama Danica aja." Ia lalu menyuapkan potongan roti panggang yang menggiurkan ke mulutnya.
"Tapi Danica kan sukanya menggambar." Sahut Markus sambil mengingat anak bungsunya yang ia dapat dari hamil tua istri tercintanya. Danica itu masih duduk di bangku SMA tapi sudah sangat jelas ke mana arah hidupnya akan membawanya.
"Aku juga sukanya menggambar, Pa. Lagian siapa tahu otak dia lebih jalan dari Aku?" Ujar Dominic agak kesal saat merasa kalau ayahnya itu kesannya lebih menyayangi adik perempuan satu-satunya.
"Iya, iya. Pokoknya Kamu, Papa tunggu hari Sabtu pagi di rumah. Papa pulang dulu ya-"
"Bentar, Pa. Aku ada yang pengen disampein ke Papa." Markus menungu anak lelakinya untuk melanjutkan, "um, aku udah punya pacar sekarang. Udah itu aja. Papa bisa pergi sekarang." Lanjutnya dengan malu-malu. Seketika ia agak menyesali perkataannya.
"Oh? Kapan mau bawa ke rumah?" Alis Markus terangkat dan senyum jahil terjahit di mulutnya.
"Nanti deh. Baru jadian juga lagian." Anak lelaki itu menggaruk kepala bagian belakangnya sambil agak menundukkan kepalanya.
08.01
Dominic akhirnya berhasil untuk memarkirkan Chevrolet hitamnya di parkiran sekolah. Hari ini dia ada kuliah jam 9, tapi tentunya ia datang lebih awal untuk bertemu dengan kekasihnya sebelum kelas Carol dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey Money
Romance● | completed [ 18-02-18 ] △ | 16+ △ | not edited △ | s̶e̶r̶i̶n̶g̶ ̶g̶o̶n̶t̶a̶-̶g̶a̶n̶t̶i̶ ̶c̶o̶v̶e̶r̶ "Panggil gua daddy dan turutin perintah gua, maka semua yang ada di dunia jadi milik lo." "Udah gila kali ya, lo?" • • • Carol, gadis itu tak pern...