XXV

31.9K 5.4K 473
                                    

Gena menarik napas perlahan, sejujurnya ia ingin mengabaikan segala sesak yang menyusup ke hatinya. Apa yang bisa ia lakukan sekarang ketika rasa percaya dirinya semakin terkikis, selama ini yang Samudra inginkan hanya mempermainkannya.

"Kamu nggak ada niatan untuk masuk?" Samudra berdiri di sana, dengan paper bag kecil Sbucs.

Kepala Gena terangkat, menatap lurus pada sosok Samudra yang terlihat begitu santai. Dimana rasa bersalah atas semua yang telah ia lakukan pada Gena.

Bukankah Status Gena masih pacar Samudra? lalu kenapa Samudra tak pernah ada niat sedikitpun memperbaiki semua ini.

"Jangan mendekat!" seru Gena saat Samudra melangkah ke arahnya.

"Gen,"

"I hate you so much."

Samudra menggeleng, tangannya berusaha meraih bahu Gena yang bergetar.

"Sorry." Suara serak Samudra membuat hati Gena semakin tertusuk, maaf untuk apa? bukankah sudah banyak hal yang menyakitkan dilakukan Samudra padanya.

"I should know your love is a game." Gena mendecih, membuang muka kemana saja yang penting tak melihat wajah Samudra. "Kita sama-sama bermain, dan kamu keluar sebagai pemenangnya."

"Kamu tau kenapa aku tidak membela diri atas apa yang sudah terjadi?" Samudra membuang napas pelan, sayup-sayup Gena bisa mendengar pelan gumaman Samudra.

Gena menggeleng pelan, bukan karena ia tidak tahu. Lebih kepada ia tidak mau tahu lagi apapun yang berhubungan dengan Samudra.

"Karena kebanyakan orang hanya akan menjudge pilihan yang telah kita ambil, tanpa mau tahu option lain yang melatarbelakangi kita mengambil pilihan itu." Samudra menarik sudut-sudut bibirnya di kala Gena justru mendengkus, "Same with you, karena kamu nggak tau apa yang udah aku lewati sampai bisa bertahan di batas ini."

"Apapun yang melatarbelakangi keputusan kamu, yang kamu lakuin tetap sebuah kesalahan." Gena hampir saja membentak Samudra karena perasaan kesal yang merongrong hatinya, "Apa yang layak dibenarkan dari tindakan seorang pria yang menyelingkuhi pacarnya, dan demi tuhan, Samudra. She is your fiancee."

Kekesalan Gena sudah pada ujungnya, ia bahkan memanggil Samudra dengan sebutan nama. Gena merasa menjadi wanita paling bodoh karena begitu mudahnya jatuh hati pada Samudra, karena sekarang ia sadar. Membuat wanita jatuh hati bukan perkara sulit, cukup menjadi apa yang mereka inginkan dan perhatian rasanya bukan hal sulit bagi pria untuk mendapatkan hati wanita.

Dan Gena adalah satu dari wanita yang sudah menyerahkan hatinya pada Samudra.

"Yang sudah menikah saja masih banyak yang merasa tidak cocok dan memutuskan untuk berpisah, lalu kenapa aku yang bahkan belum sampai pada tahap itu sudah dihakimi dengan kejinya oleh kamu?" Samudra menarik Gena ke arah tangga darurat, ditutupnya kembali pintu agar tak ada yang mendengar percakapan mereka.

"Kamu merasa benar dengan apa yang kamu lakukan sekarang?"

"Aku sayang kamu."

"Dan sayang Renata," Gena mendecih tak suka, "Yang kamu perlu tahu adalah sekarang apapun kata yang keluar dari mulutmu aku nggak akan percaya."

"Aku nggak minta kamu percaya atas apapun yang aku ucapkan saat ini."

Sekarang apa yang bisa Samudra lakukan? Gena tetap saja akan menjadi pihak paling disalahkan atas apapun tindakan Samudra.

"Yang aku mau sampaikan sama kamu adalah kalau perasaanku padamu bukan kebohongan belaka, karena setelah ini aku akan tunjukan pada kamu bagaimana caranya menjadi lelaki yang pantas untuk ayah anak-anakmu kelak."

"Dan lucunya pria yang mengatakan ini semua sama aku adalah seorang pria yang sudah mempunyai tunangan, dengan beraninya mengajak berkomitmen."

"Kalaupun sejak awal aku bilang sama kamu bahwa hubungan yang kulalui demgan Renata benar-benar berat apa itu akan merubah sesuatu? kalaupun sekarang aku meminta maaf dengan raut wajah menyedihkan apa itu akan mematahkan keraguan di hati kamu? tetap nggak kan? jadi biarkan aku menyelesaikan ini semua sendiri. Sampai aku selesai dengan semua ini kamu hanya perlu menunggu untuk kembali kepelukanku."

Gena hanya terbengong dengan ucapan Samudra, pria itu berkata dengan tegasnya tanpa ada gurat-gurat keraguan. Sebelum Samudra benar-benar pergi ia mengusap bibir bawah Gena dengan ibu jarinya, mengecup singkat pelipis Gena.

Karena Gena kembali menjadi bodoh hanya dengan satu sentuhan Samudra, karena Gena kembali meragu hanya dengan satu pernyataan Samudra yang tak pasti.

Untuk sesaat Gena ingin memutar waktu, kembali kemasa dimana ia masih benar-benar tak mengenal Samudra. Tapi rasanya itu semua terlalu pengecut, karena sama saja seperti ia ingin melarikan diri. Karena Gena tahu, masalah itu dihadapi bukan dihindari.

*****

Pagi Gena merasa semakin bingung dengan sikap Samudra, Samudra tak banyak bicara kali ini bahkan beberapa hari ini pria itu sibuk mobile keluar kantor. Renata juga sudah mulai sibuk dengan pekerjaannya, masih ada Siska yang sering menggoda Samudra meski tahu pria itu sudah memiliki pasangan.

"Kak Renata itu tipe istri idaman banget kayaknya," Siska mulai membuka percakapan di pagi hari, "Yah tapi masi mending gue sih kalau dibanding-bandingin lagi, Kak Renata itu emang pinter masak tiap hari kerjanya bawain bekel buat Kak Sam. Tapi yah kalau Kak Sam jadi suami gue, nggak akan rugi deh. Gue bisa nyuci, ngepel, nyetrika, masak, bersih-bersih. Beh gue ini istri idaman banget."

"Lo mau jadi istri Kak Sam apa pembantunya?" Asri nyaris terkikik geli melihat ekpresis Siska yang kesal.

"Yah kan tetap aja wanita seutuhnya harus seperti apa yang gue bilang tadi."

"Menurut gue seorang pria mencari pasangan didasarkan atas rasa nyaman, hal-hal yang lu sebutin tadi yah nilai tambah. Karena setiap perempuan pada akhirnya bisa melakukan itu semua, tapi belum tentu bisa jadi rumah yang nyaman untuk prianya."

Gena hanya berdehem pelan mendengar celotehan Asri dan Siska keduanya akan terus saling berdebat dengan mudahnya masalah hubungan, padahal sama-sama jomlo tapi ucapan mereka berdua seolah seperti perempuan yang sudah experience.

Sebuah pesan singkat masuk di ponsel Gena.

Massam.

Buka laci kedua kamu.

Kening Gena menggernyit membaca pesan dari Samudra, tangannya menarik pelan laci kedua meja kerjanya.

Gena cukup penasaran begitu mendapati secarik kertas dengan satu buah apel merah.

Katanya rindu itu berat, tapi masih banyak orang yang saling merindu meski tahu itu berat. Dan kini aku tahu mengapa,
Karena lewat rindu kita tahu seberapa besar kita menyangi orang yang kita rindukan, jadi jangan pernah larang aku untuk merindukanmu.
Jangan larang aku untuk jatuh cinta dengan kamu, karena itu hal yang mustahil.

Dari Samudra yang sepenuh hatinya hanya di isi oleh Gena.


Gena merasa hatinya menghangat bersamaan dengan sesak yang menyapa, kenyataannya ia hanya pemain cadangan.
Dan berita buruknya sekarang adalah tak ada kejelasan antara hubungan Gena dan Samudra.




TBC

U P S I D ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang