Kening Gena mengerut, entah kenapa sejak tadi pagi ia merasa dirinya selalu mendapatkan masalah. Tadi pagi ia lupa membawa Acces Card-nya, lalu saat mau masuk lift ternyata kotak besi itu sudah kelebihan beban alhasil Gena harus merelakan diri keluar dan menunggu pintu lift lain terbuka.
Dan kesialannya tadi tak cukup di situ. Miss J, Manajer Pemasaran sudah meminta rekapitulasi penjualan satu tahun ke belakang dan menyuruh Gena membuat laporan comparatif dengan tahun berjalan.
Bahkan blouse coklatnya harus ia relakan terkena siraman teh hangat, eh tidak mungkin itu teh panas karena selain merasakan melepuh di bagian lengannya Gena juga merasakan perih di bagian pinggang dekat perutnya.
Salahnya yang tak hati-hati memang, dan sekarang tangannya sedikit memerah.
"Kamu siapanya Alisa?"
Gena hampir saja kehilangan keseimbangan tubuhnya, beruntung dia langsung berpegangan pada sisi meja yang ada di pantri.
"Mas, kalau mau muncul jangan tiba-tiba gitu dong. Untung saya nggak punya penyakit jantung," gerutu Gena, ia menarik napas pelan lalu meneguk air putih di gelasnya yang memang tinggal separuh.
"Kamu siapanya Alisa?" ulang Samudra, matanya tak terputus menatap Gena yang terlihat kebingungan.
"Mas tau kakak saya?" sebelah alis Gena terangkat.
"Saya kenal." Samudra memalingkan wajahnya, ada perubahan ekpresi yang begitu drastis di wajah Samudra.
"Kok Mas bisa tahu saya ada hubungan sama Kak Alisa, kenapa?"
"Kamu itu kalau bodoh jangan dipelihara, saya kan anter kamu pulang ke rumah. Dan rumah itu adalah rumah Alisa, nggak mungkin dong kalau kalian tidak saling kenal bisa tinggal di satu rumah."
Gena mengangguk mengerti, ia baru saja akan berlalu meninggalkan Samudra. Tapi kemudian berbalik dengan mata yang menyipit, "Berarti Mas pernah anterin Kak Alisa pulang?"
Samudra hanya mengangkat kedua bahunya, mengambil gelas dan menekan tombol latte pada dispenser.
"Berarti Mas dan Kak Alisa lebih dari saling kenal kalau sudah pernah mengantar ke rumah, karena Kak Alisa kan jarang diantar pria diakan orangnya agak...," Gena menghentikan racauannya ketika ia sadar kalau dirinya sudah terlalu banyak berbicara, aroma kopi menguar menelisik hidung Gena. Samudra berbalik menghadap Gena untuk meladeni ucapan Gena yang terdengar sedikit tak jelas di telingannya.
"Saya dan kamu aja saling kenal biasa, tapi saya antar pulang kamu ke rumah. Lantas apa yang membedakan kamu dan Alosa?"
Anggukan Gena terlihat sia-sia karena pada akhitnya Samudra menuntut jawaban lebih dari sekedar bahasa verbal.
"Kenapa kamu bisa menyimpulkan saya punya hubungan lebih dari kenal dengan Alisa, bukan kah kamu yang menjudge diri saya bahwa saya pria murahan yang dengan mudah menebar feromon menggoda para wanita. Itu artinya tidak butuh hubungan lebih dari teman jika saya mengantar seorang perempuan kerumahnya, bahkan bagi saya mengantar perempuan menuju ke pelepasan terindahnya nggak perlu punya hubungan serius. Sejauh saya mau, I can do anything." Samudra masih memegangi mugnya, pergi begitu saja setelah membuat Gena bungkam.
Sepertinya Gena harus bertanya pada Kakaknya, karena Gena takkan pernah punya spekulasi lebih jauh jika ia tak mengenal Kakaknya dengan amat sangat.
Gena tahu kakaknya bukan perempuan yang mudah bergaul dengan seorang pria, terlebih membiarkan pria mengetahui dimana dia tinggal. Alisa tak seperti Gena, Anisa akan berpikir dua atau tiga kali mungkin jika ada pria yang ingin mengantarnya pulang bahkan untuk dekat dengan lelakipun cukup sulit.
Dan itulah yang membuat Gena heran, bagaimana perempuan sekelas kakanya mengenal lelaki seperti Samudra.
"Ngelamun aja, Gen." Helen melirik Gena yang sudah duduk di kursinya, diam-diam Gena mencuri pandang pada Samudra yang tengah duduk di mejanya, pria itu terlalu fokus dengan laptopnya.
"Fotocopy tuh surat jalan! Gue kan mau proses," lanjut Helen.
Gena melirik surat jalan yang sudah ia cek sesuai dengan purchase order dari customer. "Iya."
Dengan langkah berat Gena melangkahkan kakinya ke mesin foto copy, memasukan sekaligus kertas ke atas mesin foto copy lalu menunggunya selesai. Gena melirik lengannya yang melepuh, sedikit perih memang. Ia meniup-niup pelan lenngannya sambil menunggu.
"Kalau cuman ditiup nggak akan hilang sakitnya." Samudra sudah berdiri di sampingnya dengan selembar kertas rencana anggaran, matanya menatap pada lengan Gena yang memerah. "Obatin sana, di Pantri kan ada kotak P3K."
Gena masih bungkam, gadis itu malah sibuk mengambil hasil foto copy surat jalannya. Samudra mengambil alih kertas-kertas itu lalu menyimpannya di atas meja yang bersisian dengan mesin foto copy.
"Jangan terlalu keras kepala jadi orang," Samudra menyeretnya ke Pantri setelah menyimpan paksa surat jalan milik Gena.
Tadi pria itu sendiri yang meninggalkan Gena di pantri dengan kebisuan, lalu sekarang menarik Gena seenaknya saja.
"Pakai salep sendiri bisa 'kan?"
Gena mendengkus, melirik sebal pada Samudra. "Udah Mas sana, saya bisa merawat diri sendiri kok. Nggak usah sok perhatian."
"Sudah berapa jam tangan kamu melepuh sampai memerah seperti itu, dan kamu hanya diam saja tanpa mengobatinya sampai saya menyadari kalau tangan kamu terluka. Itu yang kamu sebut bisa merawat diri sendiri?"
"Saya sedang sibuk jadi nggak sempat."
"Alasan yang bagus," Samudra melipat tangannya di depan dada, meneliti dengan seksama ketika Gena mengoles salep ke permukaan kulitnya yang melepuh. "Sesibuk-sibuknya kamu, paling tidak utamakan keselamatan kamu. Ini mungkin hal kecil, tapi tangan melepuh juga memberi rasa sakit kan? jadi jangan menunggu diperhatikan orang lain kamu baru bertindak."
"Mas Sam ngomong apa sih? kenapa selalu seenaknya bicara, kenapa Mas Sam selalu bersikap seolah-olah kalau kita ini teman dekat." Gena menyimpan salepnya kembali ke dalam kotak P3K. "Saya nggak butuh perhatian Mas Sam kalau ujung-ujungnya Mas cuman mengolok-olok saya."
"Kamu merasa saya mengolok-olok kamu? atau Kamu merasa yang saya ucapkan itu benar, c'mon Gen. Jangan jadi gadis naif yang nggak mau dinasehati."
Gena tertawa miris, Samudra membuat moodnya jatuh ke dasar. Pria di depannya sungguh perusak suasana. "Saya sekarang sadar, kenapa Mas Sam selalu mendekati para perempuan. Bukan mereka atau saya yang meminta diperhatikan, tapi sikap Mas Sam yang justru menyedihkan. Attention seeker, Huh? dengan membuat mereka tersanjung dengan sikap Mas, Mas tahu mereka akan menjatuhkan perhatian pada Mas Sam. Sayangnya, aku nggak begitu. Sekeras apapun Mas Sam mencoba, aku bukan termasuk ke dalam golongan wanita yang akan terbuai dengan sikap Mas Sam yang seperti itu."
"Tapi Kakak kamu masuk ke dalam golongan itu," ucap Samudra dengan tawa sumbang. Ia menatap Gena dengan tatapan datarnya, "Semoga kamu tetap konsisten dengan ucapan kamu yang takkan terjatuh pada saya. Karena ketika kamu jatuh hati dengan saya, kamu yang akan terluka."
TBC
A/N :
Hujan gerimis dari kemaren, cuacanya syahdu bener 😂😂 bawaannya pengen makan terus TT.
Lupa kalau harus ngetik hahaha26-11-2017.
Ora's The Dreamer. o
KAMU SEDANG MEMBACA
U P S I D E
ChickLitGena tidak pernah menyangka jika Samudra mematahkan hati kakanya. Gena juga tidak pernah menyangka bahwa Samudra juga berhasil mematahkan hatinya Copyright © 2017, Kammora Cover © Purpleefloo Start From 19-11-2017