episode 13: raining souls

935 200 1
                                    

Semangkuk besar ramyeon ekstra pedas dan sebotol soju di warung pinggir jalan menjadi tujuan akhir Sana selepas jadwal kelasnya selesai dan kakinya lelah berjalan tanpa arah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semangkuk besar ramyeon ekstra pedas dan sebotol soju di warung pinggir jalan menjadi tujuan akhir Sana selepas jadwal kelasnya selesai dan kakinya lelah berjalan tanpa arah.

Ia tidak mau pulang ke rumah, badai di dalam dirinya belum berakhir setelah bertengkar dengan Momo tadi. Ia memilih melahap ramyeon ekstra pedasnya supaya bisa menangis dengan bebas tanpa diberi pertanyaan-pertanyaan penasaran.

Momo bilang ia jahat. Sana tertawa getir lalu menuangkan soju ke gelasnya, meminum minuman beralkohol itu dalam sekali teguk.

Jahat katanya. Pertengkaran ini bukan pertengkaran pertamanya dengan Momo, tapi di antara seluruh pertengkarannya yang lain, yang satu ini benar-benar membuatnya down.

Ini bukan jenis pertengkaran di mana mereka akan langsung pergi ke mall bersama lagi keesokan harinya, yang ini serius. Sana bahkan sampai menangis, ia paling anti menangis apalagi di tempat umum.

Baru saja akan meminum gelas kedua-nya, seseorang menyambar gelas itu dari tangannya dan meminum soju di dalamnya. Melihat sosok Jackson Wang duduk di hadapannya, Sana langsung mendengus kesal.

“Dasar tukang bohong, tadi katanya gak bisa dateng gara-gara acara keluarga.”

“Awalnya gitu, tapi acaranya ngebosenin jadi aku kabur.”

Jackson meraih mangkuk ramyeon Sana yang masih terisi setengah lalu mencicipi kuahnya yang sarat akan bubuk cabai. Laki-laki itu langsung tersedak sampai wajahnya memerah ketika kuah itu sampai ke kerongkongannya.

“Shit! What the hell are you eating Minatozaki Sana?”

Sana diam saja sambil memandangi Jackson yang sedang tersiksa, ia akhirnya memesankan sebotol air mineral untuk memadamkan kebakaran di mulut temannya itu.

“Jackson, menurut kamu aku jahat gak?” Tanya Sana.

“Well, jahat gimana maksudnya? Semua orang pasti punya pengertian sendiri soal “jahat”.  Jahat bagi kamu belum tentu bagi orang lain dan sebaliknya,”

“Gosh don’t give me scientific answer,” gerutu Sana, menuangkan soju lagi ke gelas.

“Momo bilang aku jahat.” Lanjutnya.

“Hah? Momo? Bentar aku gak ngerti konteksnya, kalian berantem?”

Sana menceritakan semuanya dari awal permasalahan sampai setiap detil pertengkaran mereka, beberapa bagian membuat Jackson geleng-geleng kepala.

Memahami dunia perempuan memang tidak mudah. Ia membiarkan Sana terus bicara dari penuh kemarahan sampai diiringi tangisan dan yang dilakukannya hanya mengangguk atau merespon singkat.

Gadis itu jelas butuh pendengar, bukan pemberi solusi.

“Aku juga gak tau kenapa aku kayak gitu, tapi… emang iya aku jahat? Dia bilang aku gak peduli sama dia, aku—” perkataannya terputus karena tenggorokannya tercekat.

“Aku gak suka dia nyakitin diri sendiri kayak gitu, nungguin Mark Tuan yang udah punya pacar. Aku kesel denger dia ngomongin itu terus tapi gak berbuat apa-apa.”

“She also called me a bitch Jackson! Am I?”

Setelah menghabiskan air mineralnya, Jackson mencari rangkaian kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Sana tanpa membuat gadis itu meledak atau menumpahkan sisa-sisa banjir air mata yang masih dibendungnya.

Ia membuka kalimatnya dengan berdeham. “Engga Sana, kamu bukan… well, kamu enggak jahat. Yang kamu lakuin itu agak konyol tapi—God I don’t even know what to say.”

Jackson terdiam sejenak lalu melanjutkan, “kamu tau kan aku gak bisa ngasih solusi?” Setelah itu ia menawarkan sebuah pelukan, Sana hanya tertawa.

“Lucu. Gak, aku gak mau peluk-peluk!” ucap Sana, tangannya meraih gelas soju terakhirnya namun lagi-lagi Jackson merebut gelas itu dan meminum soju-nya.

“Udah minumnya. Ayo pulang.” Ajak Jackson sambil berdiri dari kursinya, yang di ajak malah diam di tempat menolak untuk ikut.

“Pulang ke mana? Aku gak mau ke rumah.”

“Ke rumah aku?”

“Your mom hates me. Anter ke rumah aja deh gapapa.”

💅

Entah sudah berapa lama Jeongyeon dan Nayeon duduk di depan TV sambil melamun. Jempol Jeongyeon tidak hentinya mengganti-ganti saluran TV dari yang satu ke yang lain, tanpa benar-benar menonton satu pun dari acara-acara itu.

Ia akhirnya berhenti di acara memasak, wanita paruh baya bercelemek pink di layar sedang bicara soal membuat hidangan penutup tradisional.

“Udah coba ngomong sama Jihyo? Atau Momo? Mina gimana?” Tanya Jeongyeon, matanya terpaku pada TV, memperhatikan wanita tadi memotong buah-buahan.

“Tadi aku bilang ke Jihyo, ‘ayo beli kopi, kita ngobrol’ bla bla bla tapi dia gak respon. Momo, dia sibuk makan sampe ketiduran di dapur. Liat sendiri nih.”

Nayeon meraih lengan Jeongyeon, membawa gadis itu ke dapur kecil mereka. Di dekat lemari es, Momo terlelap seperti bayi dengan bungkus bekas camilan dan mangkuk kotor di sekitarnya.

Ada dua kaleng bir dan sebotol besar air di ujung kakinya. Jeongyeon tercengang melihat bencana kecil itu.

“Mina, dia kayak zombie. Ngelamun terus,” ujar Nayeon, menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Ia mengacak-acak rambutnya frustrasi.

“Kamu aja sana ngomong sama mereka. Aku gak tahan di sini aku mau pergi.”

“Hah? Pergi ke mana?” Pekik Jeongyeon, mengikuti langkah Nayeon yang sudah duluan masuk ke kamar.

Ia berkacak pinggang, memperhatikan eonni-nya itu memasukan sejumlah pakaian bersih ke dalam ransel kuliahnya.

“Ke apartemennya Jinyoung,” jawab Nayeon.

Ia mengenakan jaketnya lalu mencabut ponsel dan charger-nya dan memasukkan benda-benda itu ke dalam tas. Nayeon pun melewati Jeongyeon yang berdiri di dekat pintu kamar kemudian beranjak ke pintu depan rumah.

Ketika ia sedang memakai sepatu, Jeongyeon berbicara lagi padanya.

“Harusnya kita nyelesain ini dengan cara dewasa kan, eonni sendiri yang ngomong gitu. Mana bisa aku sendiri, jangan egois—”

“Selama ini aku gak pernah egois Jeongyeon, apa-apa selalu tim ini dulu. Kali ini aku capek, pusing. Bodo amat!” Potong Nayeon.

Begitu ia membuka pintu, ia disambut oleh Sana yang baru saja sampai di teras rumah. Nayeon menatap gadis itu seakan melihat orang yang membunuh piaraannya atau merebut pacarnya.

Dilewatinya Sana begitu saja tanpa mengucapkan apa-apa.

Di balik pintu, ada Jeongyeon. Terlihat lebih stress daripada saat ia diminta merevisi tugas-tugasnya.

Sana dengan santai seperti biasa meletakkan sepatunya di dekat rak lalu menjatuhkan dirinya di sofa, mengistirahatkan tubuhnya yang terasa begitu lelah.

“Sana, let’s talk,” Jeongyeon duduk di sebelah Sana, matanya tertuju pada langit-langit rumah.

“Soal apa?” Kata Sana pelan.

“Semuanya.”

💅💅💅

GIRLS' PROBLEM ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang