Seperti mimpiku yang sebelumnya, tiga orang anak kecil diterpa sebuah persahabatan dengan awal yang tidak jelas dan terkesan rumit. Jiwa seorang anak kecil yang tidak bersalah tidak mengetahui apa - apa tentang sebuah motif tersembunyi yang terus membuat letih pikiran setiap orang dewasa saat ini.
Sangat disayangkan bahwa tak ada satupun keputusan menujukkan kebenaran semata, sebuah kebohongan yang hidup dibawah alam sadar orang dewasa yang dapat disimpulkan seperti warna hitam atau putih.
Sehingga sebab itulah kebohongan mereka tidak pernah terucap sedikitpun. Kebohongan itu salah. Dengan sebuah kata - kata kosong, mereka melawan naluri manusia, dengan berpegang teguh pada apa yang mereka katakan.
Memang ironis, bagaimana seharusnya kita menghapus kebohongan tersebut. Bukan malah mempelajarinya lebih baik supaya kebohongan tersebut lebih sempurna.
Pada akhirnya, siapa yang membuat keputusan berdasarkan kebenaran? Kita hanya bisa mendengar apa yang mereka bicarakan demi memuaskan prasangka kita. Tapi, itu aneh bagiku. Karena menurut pendapatku, tak ada satupun dari mereka yang benar - benar tulus dengan kata - kata mereka.... daripada menjadi pembohong yang paling hebat diantara semuanya.
***
Sebuah not balok masuk ke ingatanku saat aku mulai memainkan piano itu dengan jemariku. Menirukan sebuah kumpulan suara yang menirukan lagu Beethoven. Aku bermain tanpa seorangpun yang melihatku, bahkan tidak bermain pada sebuah auditorium. Hanyalah seorang laki - laki yang mendengarkan nada ciptaannya sendiri. Tubuhnya terlihat lembek begitu pula kata - katanya. Dia mengedipkan matanya yang dicampuradukkan oleh ketakutan dan rasa penasaran.
Bahkan meskipun aku menutup mataku. Aku bisa menggambar perawakannya dalam kehampaanku yang tidak lebih dari ingatanku semata. Setiap cirinya, setiap gerakannya yang seperti denyut nadi itu, wajahnya yang sudah terlihat berumur itu memenangkan sebuah pertarungan panjang melawan masa mudanya.
Aku masih bisa membayangkannya dalam ingatanku, bagaikan rasa manis pahit, aku mengingat pertemuanku pertama kali dengannya dulu. Tatapannya yang melihat langit berbintang sangatlah kuat, ia seperti ingin meninggalkan seluruh dunia ini dengan sesegera mungkin. Di malam yang tidak biasa itu, seorang Maestro melihatnya secara diam - diam, yang akan mengubah segalanya.
***
"Ayolah, kalian memangnya tidak ingin melihat bagaimana rumah hantu itu sebenarnya?" ucap seorang anak laki - laki yang dipenuhi rasa kebahagiaan seperti perkataannya.
Dua temannya, hanya bisa menjadi penonton sambil mengerutkan keningnya, mereka memberikan jawabannya yang tampak sangat enggan mereka lakukan. Mereka menganggap jelas tidak akan mungkin bisa dibohongi dengan suatu takhayul seperti adanya hantu. Anehnya, mereka malah tidak ingin mengatakan kata tidak pada temannya itu. Mereka seperti tidak enak jika mengatakan kata tersebut pada temannya yang penuh semangat itu, mungkin karena bicaranya yang lancar. Atau sejujurnya, karena kegigihannya.
Kemunculan mereka terhalang oleh sarang laba - laba, tembok yang reyot dan tirai yang sudah sobek. Sayangnya, tak ada satupun hantu yang bisa diajak bicara. Anak laki - laki itu mulai kehilangan hasratnya saat ini, setelah sebuah tanda yang menakutkan membuatnya mencengkram erat tangan temannya yang cukup membuatnya terhibur saat ini.
Sehingga pemimpin kita yang pemberani mulai mengambil alih, membuat kelompok penjelajah ini semakin dalam menuju interior rumah yang sudah ditempeli debu tebal. Dia mulai membuang mukanya dan menuju sebuah buku yang tergeletak di atas podium dan mulai membukanya. Beberapa hurufnya masih dapat dibaca, namun ada satu tulisan yang membuat kita semua tertuju dan berisikan sebuah peringatan:
KAMU SEDANG MEMBACA
Distrust (Completed)
General FictionHIGHEST RANK: #5 in Indonesia (02-04-2019) #30 in Mystery (27-7-2018) #10 in Kutukan (12-08-2018) 3 orang anak kecil mengalami sebuah mimpi buruk dalam hidup mereka. Berbekal sebuah imajinasi belaka, mereka memberanikan diri membaca sebuah buku beri...