BAGIAN 30

6 1 0
                                    

-KLIK-

Suara semacam itulah ketika gantungan kunci berbentuk Yin dan Yang di pedangku menempel erat dengan kalung Tiana. Karena terlalu erat, aku sampai bingung harus berbuat apa di depan para penonton dan kamera yang menyaksikan dengan jelas kejadian yang tidak kuduga sebelumnya. Tiana pun juga tidak tahu harus berbuat apa, dan keburu – buru memelukku sambil memberikan gestur untuk menyelesaikan drama ini segera.

Sebuah lagu kemenangan pun keluar tidak lama setelahnya, suara tepukan tangan saling bersahut – sahutan dari satu penonton ke penonton lainnya. Sambil berusaha melepaskan gantungan kunciku dari kalung Tiana, kami segera bangkit dan masuk di dalam kerumunan pemain drama lainnya. Steve nampaknya juga telah berdiri dengan tegak setelah hampir tertidur di atas tumpukan jerami ini. Kuakui dia cukup total dalam drama kali ini, maka dari itu aku terpaksa mengakui kehebatan Steve dalam berakting.

Namun aku tidak terlarut lebih lama dalam euforia kebahagiaan para pemain di atas panggung, malahan aku segera buru – buru turun dari atas panggung untuk melepas seluruh pakaian yang menyebalkan ini, belum lagi aku tidak ingin jadi sasaran empuk bagi orang – orang yang ingin melempariku dengan tomat dan telur busuk. Itu bukanlah tanpa alasan, sederhana saja, semua itu karena Tiana memelukku dengan erat di akhir cerita, sedangkan mereka para penggemar Tiana hanya bisa gigit jari melihatku dipeluknya dengan mesra.

"Haah..." ujarku lega setelah melepas baju zirah itu dari tubuhku. Aku mencari tempat duduk yang sangat dekat dengan sebuah kipas angin untuk mengeringkan diriku dari keringat yang sudah mengucur deras di tubuhku.

"Kerja bagus, dan juga keberuntungan yang luar biasa." ucap Aura yang ikut duduk denganku di depan kipas angin.

"Ha! Lucu sekali..." balasku sinis.

"Kamu tahu kan tidak banyak yang bisa mendapatkan pelukan mesra seperti itu, belum lagi tidak mudah mendapatkannya dari seorang perempuan yang cantik seperti dia." jelas Aura.

"Kesenangan itu hanya sementara, aku tidak ingin jadi sasaran kebencian baru bagi para pengangum Tia."

"Ha ha ha... tenanglah, harusnya mereka itu tahu kalau ini hanya sebuah drama. Tidak ada yang perlu dipikirkan, lagipula apa yang baru saja menempel di pedangmu? Kamu dan Tiana terlihat kaget saat benda itu saling menempel satu sama lain."

"Aku tidak tahu, ini hanyalah gantungan kunci sepeda motorku. Aku meletakkannya di sini supaya menambah tingkat kekerenannya saja, karena tak jarang di film – film seperti ini para ksatria menggunakan sebuah benda keberuntungan maupun benda yang unik pada baju perang mereka." jelasku datar.

"Hmm... apa benda itu ada magnet di dalamnya?" tanya Aura lagi.

"Mungkin saja." jawabku menggantung.

Sebelum Aura hadir dengan salah satu pertanyaan atas rasa penasarannya lagi, Denis datang dengan wajah mengantuk yang menjadi ciri khas darinya. Dengan membawa dua buah minuman dingin, ia memberikannnya pada Aura.

"Hei... Ardhi... kalau kamu mau mandi silahkan saja, gunakan saja kamar mandi di sini. Tidak perlu memakai sabun, hanya untuk menghilangkan keringat itu saja." ujar Denis dengan suara yang terkesan lemas.

"Aku rasa cuci muka saja sudah cukup. Aku lebih memilih untuk mandi di rumah saja dariapda di sini." kataku.

Tanpa berbincang lebih panjang lagi, Denis hanya mengiyakan pernyataanku dengan senyumannya yang misterius.

"Aku pergi ke kamar mandi dulu, jaga tempat duduk ini wahai kalian berdua." celetukku sambil pergi meniggalkan mereka meski aku tidak tahu respon mereka berdua.

Cuaca panas yang menyengat dan mampu menghitamkan kulit nyatanya telah berubah menjadi awan abu – abu pekat di bagian utara maupun selatan. Tak lama lagi kurasa aku harus menetap di sini lebih lama lagi, karena awan mendung tadi mengingatkanku akan jas hujan yang kutinggalkan dengan rapi di atas tumpukan kardus minuman di rumah tadinya.

Distrust (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang