BAGIAN 31

3 1 0
                                    

TAMAN FAKULTAS

Aku yang dibawa Tiana menuju taman fakultas yang cukup sepi hanya bisa pasrah selagi berharap kalau dia tidak akan menanyaiku dengan analisis anehnya lagi. Hanya angin kencang yang setia menemani perjalanan sunyi kami menuju taman, suasana yang semakin gelap membuatku sedikit takut akan petir yang setiap saat dapat menyambar kepalaku. Ditambah Tiana yang tidak berniat melepaskan cengkeraman tangannya dariku, ia bungkam dan diam seribu bahasa. Tidak mungkin aku tahu apa maksud dia membawaku bersamanya apalagi mengetahui isi pikirannya.

Sebuah kursi taman yang sedikit berkarat menjadi satu – satunya benda yang menjadi saksi bisu percakapan kami seraya Tiana menghentikan langkahnya sekaligus melepaskanku dari tangannya.

"Kalau ini tentang antingmu yang tidak segera kukembalikan, aku minta maaf. Karena jujur aku benar – benar tidak tahu kalau itu milikmu."

"Bukan... bukan tentang itu, aku sangat berterima kasih padamu karena sudah mau mengembalikannya padaku. Barang ini sangat berharga untukku."

Aku diam saja, menyimpan dalam – dalam pertanyaan lain dengan harapan Tiana mau menjelaskan maksudnya mengajakku ke tempat ini.

"Apa yang terjadi di atas panggung tadi. Aku hanya ingin tahu, dari mana kamu mendapatkan aksesoris seperti itu?" tanya Tiana yang masih tidak berkeinginan sedikitpun untuk berbalik menatapku.

"Barang ini sudah sangat lama ada padaku. Jadi aku tidak ingat di mana atau kapan aku membelinya." jawabku. "Dan bolehkah kamu memberi tahuku tentang... itu?" tanyaku sembari memegangi telingaku, memberikan kode padanya tentang anting yang dia kenakan.

"Anting ini sudah sangat lama sekali ada padaku. Aku mendapatkan anting ini dari seseorang yang sangat – sangat berharga bagiku. Bila sampai aku menghilangkannya seperti tadi, aku tidak akan memaafkan diriku sampai kapanpun." ucapnya. Tiap – tiap kata yang dia ucapkan memiliki rasa sakit tersendiri bagi siapapun yang mendengarnya.

Maka dari itu aku diam, tidak membalas apapun yang dia ucapkan padaku. Karena aku masih ragu apakah Tiana serius mengatakan ini semua. Namun tetap saja, bagaimanapun aku sudah sering menilai yang tidak – tidak tentangnya, kali ini aku rasa Tiana sudah tidak ada keinginan sedikitpun untuk berakting di depanku.

"Lalu beritahu aku Tia, jawablah dengan jujur. Apakah kamu mendapatkannya dari perpustakaan yang ditinggalkan itu?"

Tiana terlihat terkejut ketika aku menyebut tempat itu, dia seperti tidak menduga kalau aku akan menanyakan padanya tentang perpustakaan itu. Setiap aku menunggu iya atau tidak dari mulutnya, maka di waktu itulah aku menyaksikan sendiri air matanya mengalir perlahan dari kedua bola matanya.

"F-Febri? Apakah ka-kamu Febri yang kukenal?" tanya Tiana dengan nada yang ketakutan atau mungkin tidak percaya.

"Dilihat dari reaksimu, sepertinya aku yakin siapa perempuan berkacamata 13 tahun yang lalu itu." kataku sedikit lega.

"Febri...!!!" Tiana berteriak diselingi isak tangis yang pada akhirnya meledak sembari dia menangis di bajuku.

"Wow, wow... tenanglah nyonya. Aku minta maaf kalau membuatmu menangis. Maaf..."

Satu kata yang bisa diucapkan siapapun dia, apapun dia, dan bagaimanapun orang tersebut. Semua orang bisa mengatakan "maaf" kapanpun dia mau. Tidak peduli kata tersebut memang murni dari hati kecilnya sendiri atau hanya sebuah kata yang tidak memiliki arti mendalam dan dimanfaatkan semata demi memperoleh kepercayaan dari orang lain. Kata ini bukanlah kata biasa. Entah laki – laki atau perempuan mendengarnya, dan selama kata ini berhubungan dengan hal yang mengguncang jiwa mereka, maka air mata tak lama akan menampakkan dirinya.

Distrust (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang