Banyak orang menyebutnya menyanyi, tetapi aku cocok menyebutnya sebagai pamggilan neraka. Atas nama kedamaian, aku pergi ke bagian belakang rumah Steve tepatnya ke kolam renangnya yang sangat besar sejauh mata memandang. Dan aku tidak terlalu peduli dengan rintik – rintik hujan yang masih turun hingga saat ini asalkan aku bisa menjauh dari mereka.
"Semoga mereka segera sadar dengan suara merdu Tiana." sindirku dalam hati.
Aroma tanah yang bercampur dengan hujan masih terasa kental di sini, namun dibarengi dengan cahaya terang rumah yang muncul dari belakangku ditemani sebuah bayangan manusia berjalan keluar dari tempat itu. Hawa keberadaannya semakin terasa begitu pula suara langkah kakiknya di keramik disertai suara air hujan yang menggenang di atasnya.
Dia tidak menyadariku atau memang sengaja sehingga dia hanya berjalan ke arah yang lain dari tempatku berdiri. Aku pun mendekatinya dimana dia pada akhirnya mulai merasakan hawa keberadaanku di dekatnya.
"Oh hai! Kamu rupanya. Kenapa tidak di dalam saja sambil menikmati pesta ulang tahunmu itu?" tanya Aura dan mengalihkan pandangannya dariku pada air kolam selepas dia berbicara padaku.
"Aku masih sayang dengan telingaku, tapi sepertinya tidak hanya aku yang berpikiran seperti itu." jawabku sedikit menyindir Tiana.
"Dia terlalu menikmati pestanya sampai – sampai dia tidak sadar kalau suaranya sudah berada di bawah kata buruk, mohon mengertilah." balas Aura. "Aku sedikit kasihan pada mereka bertiga, mereka pasti menderita." sambungnya.
"Wow! Aku baru tahu kalau kamu bisa merasa kasihan pada orang lain. Selama yang kutahu kamu sangat suka melihat orang lain menderita."
"Khusus untukmu, berbahagialah." balas Aura sambil tersenyum padaku. "Tapi sepertinya aku terlalu berlebihan belakangan ini." lanjutnya sembari duduk di pinggir kolam dan semakin memperdalam tatapan kosongnya pada kolam renang ini.
"Ada apa dengan kakimu itu?" tanya Aura ketika dia menyadari ada bekas luka di kakiku ini.
"Hanya luka kecil, tenang saja."
"Tidak mungkin, itu luka yang cukup besar, apalagi bentuknya melingkar di kakimu. Apa penyebabnya?" Aura semakin meninggikan suaranya.
"Aku tidak tahu Aura, aku sudah mendapatkannya sejak kecil. Aku juga lupa cerita ibuku tentang luka ini." jawabku dengan menampilkan gestur mengangkat kedua tangan dan bahuku.
Aura yang telah menyerah menanyakan tentang bekas luka milikku kembali terdiam dan memandangi kolam renang lebih lama lagi. Karena aku sedikit bingung dengan sikap Aura, aku ikut duduk di sebelahnya supaya bisa melihat mulut dan wajahnya yang tertutupi oleh rambut lurusnya.
"Begini saja, daripada terus – terusan memandangi air kolam. Alangkah baiknya kalau bermain ini saja." ucapku sambil mengerahkan tanganku mengambil frisbee milik Steve yang entah mengapa berada di luar.
"Tumben sekali, apa kamu mengantuk?" tanya Aura sekaligus menyindirku.
"Haha... lucu sekali nona. Aku serius! Ayo kita main sebuah permainan saja daripada aku harus terpaksa melihatmu merenung meratapi nasibmu di sini."
"Sejak kapan kamu memperhatikan orang lain hah?" ucap Aura lagi dengan salah satu pertanyaannya yang menyebalkan.
Daripada menjawab pertanyaannya yang selalu menjurus ke dalam hatiku, tanpa meminta persetujuannya, aku langsung menarik tangannya ke rerumputan di pinggir kolam renang. Membiarkannya berdiri keheranan sehingga aku bisa mendapatkan perhatiannya.
"Simpel saja, kita akan berdiri di tiap sisi dari kolam ini dan melempar frisbee ini ke arah satu sama lainnya. Bagi salah satu yang menjatuhkannya ke dalam kolam, maka ia harus menuruti permintaan si pemenang." jelasku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distrust (Completed)
Genel KurguHIGHEST RANK: #5 in Indonesia (02-04-2019) #30 in Mystery (27-7-2018) #10 in Kutukan (12-08-2018) 3 orang anak kecil mengalami sebuah mimpi buruk dalam hidup mereka. Berbekal sebuah imajinasi belaka, mereka memberanikan diri membaca sebuah buku beri...