KEESOKAN HARINYA
Tidak ada alasan lain selain tidur untuk hari ini. Pengalaman burukku selama dua hari terakhir sudah cukup untuk membuatku tertidur di kelas. Bahkan setelah pulang dari kampus pun aku hanya ingin tidur di rumah. Ditambah lagi aku tidak ingin bertemu dengan dua pasutri yang siap mengintrogasiku dengan seluruh pertanyaan menyebalkan itu. Rasanya hari – hari mereka berdua tidak akan lengkap setelah mendengarkanku tersiksa.
Namun sayangnya, mereka sangat pintar dalam membaca ekspresi muka orang lain dan membuatku harus secepat mungkin menghindari mereka meskipun di akhir kelas, Steve berhasil mencegahku kabur.
"Kemarin bagaimana amico? Jelas tidak mungkin tidak ada apa – apa kan?" tanya Steve.
"Tidak ada apa – apa sungguh. Hanya ada pertandingan basket biasa, tetapi aku tidak bisa menikmatinya karena aku memang tidak bisa bermain basket. Itu cukup memalukan untukku. Sedangkan nenek lampir yang seharusnya bersamaku terus memainkan ponselnya daripada meluangkan waktunya demi melihatku. Ditambah lagi, kemarin dia langsung menghilang begitu saja, jadi aku tidak akan percaya segala alasan yang dia buat sekarang." jawabku panjang.
"Ada benarnya, tetapi aku masih keberatan dengan ucapanmu Ar."
Suara derap kakinya membuatku mengalihkan pandanganku dari Steve menuju seorang perempuan yang tidak lain adalah Tiana.
"Hai...Hai! Para lelaki favoritku... Bagaimana kabar kalian?" ujar Tiana.
"Tidak sebaik yang kamu pikirkan, aku harap kejadian kemarin bisa kulupakan begitu saja." jawabku.
"Biarkan dia mengeluh Tia, aku rasa mentalnya masih belum sepenuhnya kembali setelah apa yang dia hadapi kemarin." kata Steve.
Sebagai bentuk permohonan maaf kami bertiga atas kejadian kemarin. Kami diharuskan menjadi panitia acara yang sudah pernah dikatakan oleh Tiana. Tentu saja, dari lubuk hatiku yang terdalam, aku jelas tidak mungkin mengikuti suatu perkumpulan yang seperti ini.
Dan kali ini kami bertiga harus menuju gedung sebelah untuk bisa bertemu dengan beberapa mahasiswa lainnya yang tergabung dalam panitia ini. Sehingga acara ini benar – benar disusun dan diciptakan oleh orang – orang yang seangkatan denganku.
"Kalian siap?" tanya Tiana.
"Aduh, sepertinya diareku kambuh lagi! Kalian duluan saja ya, nanti aku menyusul." kataku.
"Aku lebih menganggapnya sebagai jawaban iya. Tidak usah banyak alasan Ar, tidak mungkin kamu diare setelah makan sebanyak itu." balas Tiana.
"Aku hanya ingin mengatakan yang sejujurnya pada kalian."
"Terserahlah, Ayo! Yang lain sudah menunggu." ajak Tiana dengan menarik lengan kami berdua.
***
Dalam perjalanan tiga orang muda – mudi ini, dua dari mereka berjalan dengan penuh kebahagiaan dan semangat yang membara di dalam tubuhnya. Maksudku, siapa yang bisa sebahagia itu hanya demi sebuah diskusi yang belum tentu akan berjalan serius saat ini? Sayangnya tak ada yang bisa kulakukan, jadi kuputuskan untuk mengikuti mereka berdua daripada memperpanjang persoalan ini.
Beberapa menit kemudian, perjalanan kami sampai di tempat yang sudah ditunggu - tunggu. Tak banyak yang terlalu istimewa selain reaksi dua orang di depanku ini.
"Sepertinya aku bisa menjernihkan pikiranku dengan terus datang kesini setiap hari. Aku rasa kamu harus melihatnya sesering mungkin Ar!" ucap Steve yang tatapannya sudah digoda para perempuan cantik yang berlalu lalang di sini. Entah dia menyadari salah satu dari mereka adalah dosen atau tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distrust (Completed)
General FictionHIGHEST RANK: #5 in Indonesia (02-04-2019) #30 in Mystery (27-7-2018) #10 in Kutukan (12-08-2018) 3 orang anak kecil mengalami sebuah mimpi buruk dalam hidup mereka. Berbekal sebuah imajinasi belaka, mereka memberanikan diri membaca sebuah buku beri...