BAGIAN 15

5 1 0
                                    

Tiana mulai menjelaskan betapa pentingnya pameran ini dan segala cara yang harus dilakukan supaya pameran ini bisa berlangsung dengan baik sebagai tanda perpisahan kita di universitas ini. Dia seperti kerasukan arwah seorang dosen yang menjelaskan panjang lebar tentang manfaat acara ini, poster – poster, properti, dan sisanya hanya Tuhan yang tahu. Aku tidak terlalu serius memperhatikannya namun aku bukanlah satu – satunya yang seperti itu.

Hanya perlu kutengok sekelilingku sedikit saja, dan bisa kulihat Denis sudah tertidur pulas dilihat dari wajahnya dan kelihatannya sudah cukup lama ia tertidur, apalagi Aura sampai bisa menggambar seleluasa itu di wajah Denis dengan spidol permanen. Cella yang melihat tingkah laku mereka berdua hanya berusaha menahan tawanya supaya tidak kelepasan. Sedangkan Steve sedang bermain kartu bersamaku.

"Hei kalian! Apa kalian tidak ada yang memperhatikan? Mengapa juga ada kartu di mejamu Steve?" ucap Tiana yang kelihatan mulai terganggu dengan tingkah laku kami semua.

"Percayalah, ini semua karena Ardhi yang sudah mengajakku. Lagipula momen ini juga pas untuk bermain kartu." balas Steve.

"Ya begitulah, laki – laki kan selalu memiliki benda berharga di sakunya." tambahku.

"Mengapa kalian tidak bisa serius sebentar saja?" ucap Tiana dengan nafas berat.

"Laki – laki ini tidak punya tata krama. Jadi kamu tidak bisa mengharapkan apa – apa pada mereka Tia." kata Aura.

"Dan jangan lupakan perbuatanmu pada putri tidur di sebelah sana. Kalian harusnya sadar diri kalau kalian tidak ada bedanya dengan kita." ucapku sambil menunjuk ke arah Denis.

"Hah... apa...? Apa yang terjadi? Spidol apa ini?" ucap Denis yang sudah terbangun dari tidurnya sambil menggaruk – garuk pipinya. Merasakan ada hal yang tidak beres di wajahnya, Denis mulai berjalan menuju kamar mandi untuk mengecek wajahnya.

Tak butuh waktu lama, Denis kembali ke dalam kelas tanpa perasaan kecewa ataupun kesal sedikitpun. "Warna spidolnya tidak cocok dengan warna rambutku, juga kulitku. Ayo siapapun yang menggambarnya aku mohon betulkan lagi!" seru Denis diluar dugaan.

"Jadi itu masalahnya? Aku tidak menyangka kalau kamu ternyata seidiot itu Denis." ujar Tiana.

"Sudahlah Ti, pada akhirnya kami semua juga harus menuruti seluruh kata – katamu. Tidak perlu begitu." sindirku.

Tiana meletakkan kedua tangannya di pinggulnya dengan kesabaran yang sudah habis. Ada bagian dari dirinya yang ingin sekali memarahiku tetapi dia tetap bisa mengendalikan dirinya demi memperoleh satu tempat di surga.

"Itu maksudku, kita berada di sini agar kalian mendengar seluruh instruksiku dan menerapkannya dengan baik saat pameran ini dimulai. Mengerti kan?" kata Tiana.

"Paham bu... kalau begitu ayo pulang!" ujar Steve bersemangat meninggalkan kelas.

"Loh? Hei Steve! Jangan lari kamu!" teriak Tiana sambil menahan Steve untuk kabur lagi. "Aku harus memberitahu bagian akademik dulu karena kita akan mengadakan rapat lagi di masa mendatang. Adakah yang berminat diantara kalian untuk ikut menemaniku kesana?"

Tiana memang meminta salah satu dari kami untuk menemaninya, tetapi matanya terlihat tidak terlalu tertuju pada kita para lelaki dan sebaliknya, mata Tiana menatap tajam ke arah dua perempuan di belakangku.

"Boleh saja, aku ikut." ucap Aura singkat.

"Satu cukup kan? Aduh... aduh... tidak perlu mendorong seperti itu kan?" kata Cella yang didorong – dorong oleh Aura menuju keluar kelas.

Trio gadis itu meninggalkan kelas dengan perasaan bahagia sekalipun Tiana yang sempat kesal sebelumnya. Perginya ketiga perempuan itu menciptakan jarak yang lebar dengan mereka yang tertinggal di belakang. Kelas ini semakin terisi dengan keheningan dan langit jingga yang bisa memberikan suasana yang pas untuk memejamkan mataku. Setidaknya itu yang kupikirkan sebelum Steve mulai membuka mulutnya lagi.

Distrust (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang