Waktuku aku habiskan untuk duduk di taman belakang fakultas ini, aku tidak tahu apa yang ingin kulakukan saat ini. Hanya ingin duduk, melihat langit biru dengan burung dengan riangnya menyanyi di sebelahku. Satu – satunya tugasku hanyalah mempersiapkan diri untuk drama sore hari nanti. Namun naskah yang ada di tanganku tidak memberikan suatu kemenarikan tersendiri yang membuatku sangat ingin untuk membacanya.
Aku tidak menyaksikan penampilan drama Steve karena aku tahu kalau dia pasti akan melaluinya dengan sangat baik. Lagipula keramaian hanya akan membunuhku perlahan demi perlahan, manusia – manusia di dalam sana pasti akan saling berbicara satu sama lain yang menyebabkan gas karbodioksida memenuhi aula dengan sangat cepat dan membuat orang sepertiku mati memalukan.
Aku tidak melihat Denis dan Tiana semenjak terakhir aku menemui mereka pagi tadi di aula, sedangkan Aura pergi entah kemana bersama teman – temannya. Hanya menyisakan aku... dan anting ini.
Milik siapa ini?, kataku dalam hati. Bentuknya sangat indah untuk sebuah anting yang diameternya tidak terlalu besar. Belum lagi ada permata kecil yang bersinar ketika sebuah cahaya datang ke arah anting itu. Sungguh... sungguh indah, hanya saja aku masih penasaran siapa pemilik anting indah ini, belum lagi ditinggalkan tergeletak begitu saja di atas lantai.
"Apa itu?"
Fokus mataku kemudian berubah dari anting ini menuju sosok perempuan familiar yang tahu – tahu sudah berdiri di depanku.
"Anting." jawabku pendek.
"Siapa yang memilikinya?" tanya Aura sambil duduk di sampingku dan ikut melihat anting ini bersamaku.
"Kalau aku tahu aku pasti sudah memberikannya bukan?"
"Kenapa kamu malah tanya aku? Bukankah kamu yang bisa mengetahui keinginanmu sendiri?" tanya Aura dengan mata sinis melihatku.
Aku kemudian menyerahkannya pada Aura, membuatnya mengerutkan dahinya.
"Itu bukan milikku." ucapnya sambill sedikit memberikan gestur menolak.
"Baiklah kita simpan saja, pemiliknya pasti mencarinya nanti." kataku sambil memasukkan anting itu lagi ke saku celanaku.
"Tapi sejujurnya anting itu benar – benar indah, seperti handmade sehingga terlihat begitu spesial." ucap Aura
Aku hanya mengangguk terhadap pernyataan Aura sebelum mengalihkan topik pembicaraan kita berdua. "Selain itu apa yang kamu lakukan di sini?"
"Aku baru saja selesai menjelaskan perihal lukisanku, mau tidak mau aku harus menjelaskannya juga pada dosen – dosen." jelasnya selagi menghela nafas dan wajahnya terlihat lelah sekali.
"Bicara tentang lukisanmu, kamu belum menjelaskan menurut perspektifmu, sang kreator. Ayolah nona, ceritakanlah pada kritikus ini." kataku sambil melipat kedua tanganku dan kakiku kubuat menyilang, berlagak kembali seperti kritikus seni profesional.
"Ha ha ha ha... tidak secepat itu jagoan, penjelasanku itu tidak lebih adalah hasil dari keahlian mengarangnku yang sudah teruji, jadi tentu saja aku tidak mungkin menjelaskan secara persis seperti apa yang telah kulakukan pada para dosen itu." balas Aura sedikit tidak bisa menahan tawanya.
"Tak apa, poin pentingnya saja. Ingat!" ucapku sembari mengetuk – etuk jam tanganku bermaksud mengingatkan tentangnya soal durasi.
"Baiklah, intinya seperti ini... Aku hanya ingin melukis sesuatu yang indah dan menakjubkan bagi orang yang melihatnya, titik."
"Nona, saya mohon jangan permainkan juri anda di sini, jelaskan secara singkat dan lugas sehingga saya bisa mengetahui dengan jelas alasanmu melukis seperti itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Distrust (Completed)
General FictionHIGHEST RANK: #5 in Indonesia (02-04-2019) #30 in Mystery (27-7-2018) #10 in Kutukan (12-08-2018) 3 orang anak kecil mengalami sebuah mimpi buruk dalam hidup mereka. Berbekal sebuah imajinasi belaka, mereka memberanikan diri membaca sebuah buku beri...