Dengan jarak yang aman, kami mengikuti mereka yang secara berliku – liku berakhir pada sebuah pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari perpustakaan. Tidak ada aktivitas mencurigakan dari keduanya selain keakraban yang selalu membuat mataku begitu perih melihatnya. Entah aku sedikit gemas atau cemburu, yang terpenting aku harus mencari tahu secara pasti kebenaran dari mulut Tiana dan Denis sendiri.
"Aku pergi ke sisi yang lain oke?"
"Apa kamu berniat mengorbankanku?" tanyaku pada Aura yang sudah bersiap ke sisi yang berlawanan dari tempatku berada.
"Gunakan ponselmu! Lagipula harga pulsa tidak terlalu mahal."
"Memangnya aku punya nomermu? Ditambah lagi aku masih kelelahan karena terlalu banyak jongkok dan sebagainya. Beruntung mereka masuk ke mall sehingga aku bisa duduk untuk sementara waktu." keluhku dan mulai meluruskan kakiku.
"Aura betul, kita tidak boleh kehilangan mereka amico!"
Tak lama berselang setelah perdebatan simpel antara aku dan Aura, muncullah sebuah suara dari seorang laki – laki yang familiar di ingatanku, dengan pakaian semi formalnya serta wajah tampan diselingi dengan jiwa mesum yang tiada tandingannya.
"Tidak kusangka kalau si idiot juga datang kemari." ucapku sarkas serta tatapan sedikit sinis terhadap Steve.
"Yah... aku sebenarnya sedikit khawatir dengan keadaan Tiana dan mulai berinisiatif untuk memata – matainya." ujarnya disertai senyum penuh kharisma. "Aku harap Denis punya penjelasan yang baik untukku, dilihat dari situasi yang terjadi saat ini." sambungnya.
"Aku hanya berharap untuk segera menyelesaikan misi ini segera dan kembali pulang ke rumah, aku sudah kelelahan."
"Psst! Bicaranya nanti saja, kita sudah kehilangan mereka!" seru Aura yang muncul secara tiba – tiba di antara aku dan Steve.
Dengan berat hati aku segera mengikuti Steve dan Aura yang masih memiliki semangat membara sementara suasanya keramaian yang riuh mulai terdengar ketika aku mulai memasuki sebuah area permainan yang ada di dalam mall ini.
Beberapa memori indah tersaji ketika aku melihat tempat ini. Terkahir kali aku datang kemari kalau tidak salah ketika usiaku baru mencapai umur 6 tahun. Umur di mana tempat ini sudah setara surga bagiku, bertahun – tahun aku menikmati tempat seperti ini sebelum aku mulai menyadari kalau setiap kesenangan yang kudapatkan di sini harus dibayar mahal dengan uang miliki orang tuaku. Setidaknya aku masih menyukai tempat ini, mengingat permainan favoritku dulu yang bergenre fighting dan sports masih tersedia banyak di tempat ini.
Meski beberapa permainan sudah terlihat usang dan sudah tidak layak pakai, tempat ini masih sangat ramai dari waktu ke waktu. Belum lagi beberapa permainan baru masih terus ditambahkan hingga hari ini. Sangat spesial rasanya menjadi seorang anak – anak, hidup tanpa tekanan, bebas, bermain sepuasnya, sungguh nostalgia yang amat membuatku rindu. Tempat ini memberiku banyak kenangan manis daripada kenangan buruk.
"Sial! Kita kehilangan mereka..!" teriak Steve dengan lantangnya. Untungnya tempat ini cukup ramai sehingga teriakan si idiot yang satu ini tidak sampai terdengar orang lain.
"Hah... hah... lebih baik aku duduk di bar ini dan memesan minum saja." ucapku tertatih – tatih, berusaha menyisakan udara di paru – paruku sebelum namaku benar – benar ditulis di batu nisan.
"Aku rasa tidak ada pilihan lain, baiklah..." ucap Aura yang terdengar sedikit pasrah.
Kami beritga duduk dengan posisi menghadap ke arah penjual di bar ini, berharap semoga penyamaran ini berhasil sekaligus membuat hasil jerih payahku yang sudah mencapai titik darah penghabisan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distrust (Completed)
General FictionHIGHEST RANK: #5 in Indonesia (02-04-2019) #30 in Mystery (27-7-2018) #10 in Kutukan (12-08-2018) 3 orang anak kecil mengalami sebuah mimpi buruk dalam hidup mereka. Berbekal sebuah imajinasi belaka, mereka memberanikan diri membaca sebuah buku beri...