Hari yang dinanti – nanti telah tiba, banyak mahasiswa berbondong – bondong membawa karya seni terbaik mereka dan sesekali dari mereka ada yang menyombong tentang itu. Alasanku datang? Tentu saja karena sebuah fakta yang mewajibkan bahwa setiap panitia diharuskan datang dan mengawasi acara yang telah mereka rancang itu agar bisa berjalan dengan baik, lancar dan sukses. Kurang lebih begitulah gambaran umum dari setiap orang yang pernah menjadi seorang panitia sepertiku.
Dan aku, datang ke pameran seni ini tanpa membawa satu pun barang selain ponsel dan dompetku. Jujur saja, aku tidak menyangka kalau kompetisi menulis yang kumenangkan saat itu merupakan kompetisi yang tingkatnya nasional. Mau tidak mau aku terpaksa harus berterima kasih pada dosen bahasa itu setelah aku sampai di kampus.
"Hai amico!" panggil seseorang yang terdengar tidak asing di telingaku.
"Steve, ada apa?" tanyaku pada Steve yang terlihat membawa beberapa peralatan panggung seperti microphone, stik drum, dan sebagainya.
"Segera temui Tiana di aula! Dia punya banyak tugas untuk kita. Sudah ya, aku pergi dulu... ini sudah terlalu berat..." ucap Steve yang nafasnya mulai memberat sembari meninggalkanku.
Dengan berat hati, aku berjalan perlahan dengan harapan bisa mengulur waktu dan membuat tugas yang dillimpahkan untukku bisa menjadi lebih ringan karena sudah diberikan kepada anggota panitia yang lain. Namun sesampainya aku di aula, nyatanya tidak seindah seperti yang kubayangkan.
"Pas! Dengan ini sudah dipastikan..." ujar Tiana setelah melihat batang hidungku berada di pintu aula.
Dengan tanda tanya besar keluar di atas kepalaku, aku berjalan mendekat ke arah Denis dan Aura yang sudah berdiri bersebelahan di belakang panggung.
"Ada apa ini?" tanyaku dengan wajah bingung.
"Biasa Ardhi... Tiana lagi – lagi muncul dengna ide gilanya yang menyusahkan kita semua." jawab Denis dengan wajah yang tidak ada kebahagiaan terpancar melalui wajah sayunya itu.
"Apa maksudmu?" tanyaku yang masih belum paham dengan jawaban Denis.
"Tia, dia ingin mempersembahkan pertunjukan drama yang diisi oleh beberapa orang dari panitia pameran ini. Yang dapat disimpulkan bahwa kita semua harus mengikuti drama dadakan ini entah apapun peran yang akan diberikan oleh dia." jelas Aura.
Aku tidak bergeming sedikitpun. Aku tidak percaya kalau hari – hari terakhirku di kampus harus melakukan sebuah pertunjukkan drama di depan mereka semua. Padahal aku sudah sedikit lebih lega dan senang semenjak aku tahu hasil kompetisi menulis itu menolong kelulusanku, tapi kalau tahu begini jadinya aku mending tidak menyalakan motorku saat masih di rumah tadi.
Sebenarnya drama bukan sesuatu yang asing bagiku, di sisi lain juga karena aku juga sering melakukannya bersama Steve dan Tiana hingga membuatku mendapati julukan "si badut kelas". Namun kalau harus menampilkan drama di depan mata orang banyak seperti ini apalagi di depan para dosen – dosen serta orang – orang penting inilah yang membuatku terganggu. Aku tidak punya masalah soal mengingat teks drama, ataupun disaksikan oleh mahasiswa – mahasiswa lain, yang menjadi masalah di sini adalah tampil di depan orang – orang penting seperti mereka yang mampu membuat kegugupan itu kembali muncul dari dalam diriku.
"Oh iya, dan ini... dialogmu di depan panggung nanti." lanjut Aura sambil menyerahkan beberapa lembar kertas berisikan naskah drama.
"Terima kasih."
"Wah, wah... sejak kapan kamu menjadi sopan seperti ini?" celetuk Aura dengan salah satu pertanyaan sinisnya.
"Aku memang begini kan? Aku rasa ingatanmu mulai bermasalah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Distrust (Completed)
General FictionHIGHEST RANK: #5 in Indonesia (02-04-2019) #30 in Mystery (27-7-2018) #10 in Kutukan (12-08-2018) 3 orang anak kecil mengalami sebuah mimpi buruk dalam hidup mereka. Berbekal sebuah imajinasi belaka, mereka memberanikan diri membaca sebuah buku beri...