"Ardhi... aku..."
Aku menoleh padanya, dia terlihat masih mengumpulkan keberanian mengatakan suatu hal padaku.
"Aku tahu bagaimana perasaanmu padaku, tapi... maksudku... itu memang menyenangkan bisa menghabiskan waktu bersama denganmu, tetapi kita adalah sahabat baik. Aku tidak tahu apa yang aku katakan, tetapi mengapa kamu menyatakan cintamu padaku, di sini, dan sekarang?" ucap Tiana
"Hanya itu yang ingin kamu katakan? Tapi kenyataannya hingga saat ini, aku hanyalah pilihan keduamu. Tapi rencana lain darimu tidak berjalan sesuai rencana kan? Apa aku salah?" ucapku.
"Tidak, tidak, tidak! Tidak seperti itu, aku bersumpah!" ucap Tiana yang mulai panik.
"Disitulah masalah terbesarnya Tia!" bentakku pada Tiana. "Sudah cukup bagiku untuk bermain - main kata denganmu! Aku tahu jika tak mungkin bisa kembali sama setelah salah satu sudah menyatakan cintanya, begitu pula denganku!" sambungku.
Tiana mulai menunduk perlahan, dia seperti sudah kehilangan keberanian yang ia kumpulkan di awal pembicaraan denganku.
"Aku kira kamu tulus menerima perasaanku dan membuatku senang. Aku bahkan tidak percaya kalau aku bisa memiliki hubungan dengan orang lain. Namun itu semua ternyata adalah bohong."
"Mana mungkin!? Itu tidak mungkin Ardhi!" dia mulai mengelak terhadapku.
"Aku sudah memikirkannya sejak lama dan sekarang sudah jelas semuanya. Satu dari kita sudah bermain dengan perasaan orang lain tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Bukannya dengan sikap seperti itu, kita hanya akan menyakiti diri kita sendiri? Aku kira aku menyayangi dan menyukaimu seorang. Sekarang aku sudah tidak yakin." ujarku.
"Ardhi... Apa sih yang kamu pikirkan? Bagaimana mungkin kamu bisa mengatakan hal seperti itu?" ucap Tiana yang tidak percaya dengan penjelasanku barusan.
Suara bisikan mulai menyebar ke seluruh bagian kelas. Seperti yang diduga, kita saat ini sudah menjadi bintang film yang menjadi pusat perhatian utama di kelas yang sudah berisikan beberapa mahasiswa yang berasal dari kelas ini dan kelas lain juga.
Tekanan dari kerumunan ini membuat kakiku mulai gemetaran. Namun, aku masih tetap mengendalikan diriku agar tetap tenang dan fokus.
"Ayolah Tia, Ardhi. Berikan kalian sendiri waktu untuk tenang saat ini. Bukankah menarik perhatian seluruh kelas sudah terlalu berlebihan? Lagipula kelas juga akan segera dimulai, lebih baik..." ucap Steve yang muncul dari kerumunan mahasiswa di depanku
"Harusnya kau juga bicara saat ini. Ini semua juga adalah salahmu Steve!" teriakku memotong bicara Steve.
"Hah? Apa salahku?" ucapnya kebingugan meskipun itu tidak menghentikanku sedikitpun.
"Jadi kau tahu ya?" Tiana mulai ikut dalam pembicaraan kami berdua.
"Tak ada seorangpun yang bilang padaku, bila kamu memang khawatir soal itu Ti. Aku hanya menebaknya sendiri, setelah sekian lama mengamati segala kemungkinan." kataku yang masih diselimuti emosi.
"Aku benar - benar tidak paham dengan apa yang terjadi. Bisa salah satu dari kalian menjelaskannya padaku?" ucap Steve dengan wajah tak mengetahui apa - apa.
"Ya betul! Jelaskan padanya Tiana!" jawabku sambil menolehkan wajahku ke arah Tiana. "Aku tidak mungkin bisa memaafkan diriku sendiri bila aku menghancurkan kehidupan dua sahabat terbaikku karena keegoisanku. Lagipula aku sudah jelas ditolak."
"Ardhi, kamu beneran soal itu? Aku tidak ingin..." Tiana mulai mendekati dan memegang bahuku. Aku hanya mengangguk mempersilahkan Tiana mengatakan apa yang selama ini ia inginkan dan meninggalkannya di dalam kelas yang ramai akan mahasiswa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distrust (Completed)
General FictionHIGHEST RANK: #5 in Indonesia (02-04-2019) #30 in Mystery (27-7-2018) #10 in Kutukan (12-08-2018) 3 orang anak kecil mengalami sebuah mimpi buruk dalam hidup mereka. Berbekal sebuah imajinasi belaka, mereka memberanikan diri membaca sebuah buku beri...