"G-Gah!!!" teriakku setelah kembali tersadar dan tahu – tahu aku sudah tertidur di kasur milik Steve. Aku melihat sekelilingku, kepalaku langsung diisi dengan kebingungan. Bagaimana aku bisa ada di sini?
"Putra Tidur sudah bangun rupanya... Hahaha...!!!" ucap Steve dengan nada tinggi berkarisma ketika memasuki kamarnya dengan sedikit meluncur di atas lantai.
Aku melihatnya dengan tatapan sinis sebelum aku mulai menanyakan padanya apa yang terjadi, "Hentikan itu dan beritahu aku apa yang sebenarnya terjadi?"
"Yah... sebetulnya nona Aura yang sudah membawamu ke kamarku, dengan tawa yang cukup puas! Dia mengatakan kalau kamu tenggelam di kolam renangku dan jatuh pingsan seketika. Aku tidak tahu kalau kamu selemah itu Ar." jelas Steve dilanjutkan dengan segala pengetahuan mesumnya yang datang entah darimana.
"Kalau begitu di mana dia sekarang?"
"Masih ada di dalam, hanya Cella yang sudah pulang."
Setelah Steve menjawab pertanyaanku, aku segera mencari keberadaan jam dinding di kamar Steve.
"Jam 11 malam!?" teriakku terkejut melihat saat ini sudah hampir tengah malam. Tanpa memperpanjang waktu istirahatku di kasur Steve yang empuk ini, aku bangun secara tergesa – gesa dan mempersiapkan diriku untuk segera pulang.
"Tenang saja bung, sekarang kan hari Sabtu. Lagipula hanya Cella saja yang pulang, sedangkan Tiana, Denis, dan Aura masih ada di sini." kata Steve berusaha mencegahku.
"Ya memang ada benarnya, tapi aku tidak bisa berlama – lama lagi karena aku tidak bawa kunci rumah sekarang."
"Kalau memang begitu baiklah Ar. Tapi apa kamu yakin kalau kamu sudah baikan?" Steve menanyakan keadaanku dengan raut wajah yang sedikit khawatir.
"Sudah lebih baik Steve, terima kasih sudah menanyakannya. Selain itu aku juga ingin berterima kasih lagi atas pesta ulang tahunnya, aku benar – benar senang dan menikmatinya." kataku dengan menyodorkan salam pertemanan khas antara aku dan Steve.
"Tentu saja amico, apapun untuk sahabat terbaikku." ucap Steve sembari membalas salamku.
Dengan persiapan yang sesuai, aku segera mempersiapkan motorku untuk menuju rumah. Sembari melambaikan tangan pada Steve, aku mulai mengeluarkan motorku dari pekarangan rumahnya sebelum mulai menaikinya saat aku sudah berada di gerbang rumahnya.
Aku kembali mengingat – ingat apa saja yang telah diucapkan Aura padaku di kolam renang tadi, mungkin tidak semuanya kudengar dengan jelas, tetapi aku yakin seratus persen kalau hari ini, Aura akhirnya memanggilku dengan nama asliku.
"Pulang tanpaku lagi?"
Suara familiar membangunkanku dari renunganku dan kembali menghantuiku di malam yang dingin ini. Dengan kondisi motor yang belum menyala semakin membuat suara itu sangat jelas terdengar olehku.
"Kamu lagi... Cella? tanyaku sedikit keheranan dengan Cella yang sudah menunggu di gerbang ini entah sejak kapan.
"Yahoo! Kalau begitu aku akan pulang bersamamu." ujarnya dengan santainya menaiki motorku.
"Sebentar, apa yang kamu lakukan malam – malam begini? Kamu tahu kan kalau perempuan itu tidak baik pulang larut malam seperti ini."
"Tidak apa, kan masih ada kamu. Jadi aku bisa pulang bersama orang yang dekat denganku." Cella mengatakannya tanpa ada sedikitpun rasa bersalah di wajahnya, belum lagi dia mulai memakan sebuah permen bulat rasa stroberi tak lama setelahnya.
"Baiklah kalau begitu, aku antar untuk hari ini saja." kataku sambil menghela nafas panjang menandakan kepasrahanku, apalagi aku sedang tidak berminat untuk memperpanjang debat dengan Cella di malam yang sunyi ini.
Suasana jalanan yang sangat senggang membuatku semakin leluasa mengendarai motor tanpa harus susah – susah berduel dengan kendaraan roda empat yang sering lalu lalang. Memang jalan di sini tidak sepenuhnya sepi, masih ada beberapa motor atau mobil yang pergi ke sana kemari, hanya saja itu masih bisa dihitung dengan jariku.
Kukendarai motorku hingga melewati perpustakaanku sendiri sebelum memasuki daerah dengan kondisi perumahan yang tidak begitu bagus dalam artian tidak begitu terawat, belum lagi ada pohon – pohon yang menjulang tinggi di sana – sini membuat bulu kudukku merinding dengan tiba – tiba. Saat itulah aku mulai berpikir, bagaimana perempuan yang sedang duduk di belakangku ini berangkat dan pulang kuliah selama empat tahun ini? Aku pernah mendengar dan bahkan melihatnya sendiri kalau dia pulang dengan berjalan kaki. Apa dia tidak ketakutan kalau ia harus pulang malam – malam begini?
"Sebelah situ rumahku, tapi lebih baik kamu berhenti di sini saja. Daripada aku merepotkanmu lebih banyak lagi." ucap Cella.
"..."
"Hei, Ardhi? Ada apa? Kenapa kamu tiba – tiba terdiam?" tanya Cella yang sudha berdiri tepat di depanku.
"Aku... sepertinya ingat tempat ini." ucapku.
"Benarkah?"
"Aku masuk ke depan saja ya? Siapa tahu aku mengingat sesuatu
"Tunggu dulu Ardhi!"
Aku segera berhenti dan segera berbalik memandang Cella.
"Ada apa Cel...la?"
Sesaat ketika aku menolehkan kepala ke arah suara Cella, yang kulihat hanya motorku saja. Tanpa ada wujud manusia, tanpa ada tanda – tanda kehidupan dari seorang perempuan bernama Cella tersebut. Aku segera kembali menuju motorku dengan rasa penasaran tinggi, kemana perginya perempuan mungil ini? Sekilas aku memandang jam di ponselku, menandakan kalau sudah benar – benar tengah malam.
Tubuhku mendadak terasa panas disertai bulu kudukku merinding kembali. Aku menelan ludahku dan segera mengatakan kata – kata motivasi dalam diriku untuk tidak mempercayai hal – hal mistis. Namun tetap saja rasa penasaran terhadap Cella membuatku masih gigih untuk tetap berada di sekitar rumah itu, setidaknya sampai aku sadar sesuatu yang sangat penting menghilang tanpa sepengetahuanku.
"Kemana perginya... rumah itu?"
Suara jangkrik mulai terdengar di kesunyian malam purnama, tanpa berlama – lama lagi aku segera beranjak dari sana dengan berat hati. Sebenarnya aku ingin mengetahui rumah itu lebih banyak lagi, setidaknya memastikan sesuatu yang masih mengganjal di dalam diriku, aku memang seperti pernah mengingatnya, tetapi kalau sudah seperti ini, aku lebih memilih untuk mengurungkan niatku supaya hal – hal yang diluar akal sehatku tidak benar – benar terjadi.
Aku berbalik arah dan mulai memacu motorku secara perlahan sembari mencari – cari keberadaan Cella, sekaligus rumah itu. Namun kaca spionku lah yang memberiku petunjuk, Cella masih berdiri di tempat yang sama, seperti tempatku berdiri saat mencarinya. Aku segera menghentikan motorku lagi dan mulai memandang Cella berjalan memasuki pekarangan rumah misterius itu, anehnya aku tidak bisa melihat Cella dengan mataku langsung melainkan harus dengan kaca spion motorku.
Ia berjalan perlahan, perlahan namun pasti di setiap langkahnya bahwa ia berjalan menuju tempat tinggalnya, rumah tua yang sebelumnya menghilang dari mataku, muncul kembali berserta lampu – lampu yang bersinar di dalam rumah tersebut.
Aku tidak bisa menggunakan akal sehatku lagi, ketakutan sudah menguasai diriku. Apakah aku bermimpi? Sudah berkali – kali aku mencubit diriku dan aku sangat yakin kalau aku sudah bangun seratus persen. Tidak lazim rasanya melihat salah satu temanmu sendiri menghilang bagaikan mahkluk halus dan hanya bisa dilihat melalui media seperti cermin. Namun entahlah tetap entahlah, dan misteri tetaplah misteri, aku segera pulang ke rumahku, menyimpan pengalaman ini baik – baik dan segera menghilangkan ketakutan di dalam diriku ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distrust (Completed)
General FictionHIGHEST RANK: #5 in Indonesia (02-04-2019) #30 in Mystery (27-7-2018) #10 in Kutukan (12-08-2018) 3 orang anak kecil mengalami sebuah mimpi buruk dalam hidup mereka. Berbekal sebuah imajinasi belaka, mereka memberanikan diri membaca sebuah buku beri...