EPILOG!?

11 1 0
                                    

"Begitu saja?"

Pianis itu menoleh lagi ke arah anak kecil yang masih duduk di lantai sambil memandanginya dengan raut wajah yang mengatakan kalau ia sama sekali tidak puas.

"Menurutmu bagaimana?" tanya balik sang pianis tersebut.

"Maksudku, itu semua terasa tidak masuk akal. Bagaimana mungkin cerita itu tiba – tiba berubah menjadi menyeramkan seperti itu? Dan lagi dia mati terbunuh? Apa kau yakin?" anak kecil itu bertanya lebih banyak demi memuaskan rasa penasarannya.

"Hei nak, aku sudah bercerita panjang lebar seperti yang telah kamu minta sebelumnya. Mana mungkin aku berbohong di tengah – tengah cerita yang hebat itu?" ujar pianis itu dengan mata bersinar seakan bangga dengan dirinya sendiri.

Anak itu masih terdiam sambil memandangi pianis itu. Dia masih bingung dengan cerita pianis tersebut, namun dia semakin bingung lagi ketika pianis itu sangat bangga dengan ceritanya itu.

"Hmm..." anak kecil itu mulai mengeluarkan suara menggerutu demi memperoleh perhatian pianis itu lagi.

Namun sayang, usahanya tidak selancar seperti yang ia duga. Pianis itu tetap mengacuhkannya dan semakin menikmati piano yang sudah ia mainkan selama hampir tiga jam itu.

"Hmm... *ehem*... *ehem*"

"Baiklah nak, apa lagi maumu? Jangan keluarkan suara batuk berdahak itu lagi, aku tidak tahan mendengarnya."

"Kau mengatakan padaku kalau kau bisa bermain piano karena seseorang yang selalu menaruh kata – kata motivasi sekaligus cemoohan dalam setiap usahamu. Tapi aku tidak mendengarnya sedikitpun dari cerita itu kalau kau menyinggung orang tersebut apalagi keahlian berpianomu." ujar anak tersebut dengan wajah polosnya.

"Inilah sebabnya aku tidak ingin bercerita sejak awal. Kamu bahkan tidak mendengarkan ceritaku dengan saksama." kata pianis itu sedikit kesal.

"Jangan berkata yang tidak – tidak pada anak itu, aku tidak ingin dia menjadi sepertimu." seorang perempuan paruh baya sudah berdiri di depan pintu dan menatap dua orang berbeda usia yang saling mengeluarkan argumentasinya.

"Apa? kamu berusaha menyindirku?" tanya pianis itu.

"Tentu saja, aku tidak akan mungkin membiarkan anak itu dekat – dekat denganmu jagoan. Jangan lupa itu!" ucap perempuan itu sembari memanggil anak kecil itu dan mengerahkannya menuju ke teman – temannya.

"Dan bicara tentang seorang jagoan, itu mengingatkanku akan diriku yang dulu." ucapku.

"Tidak perlu susah – susah, sekarang pun kamu masih sama." ujar perempuan itu sembari meninggalkanku terduduk di depan piano dengan perasaan sedikit kesal.

"Kamu tidak pernah berubah ya, Aura?"

***

Aku berjalan menelusuri tempat yang tidak asing bagiku dan pasti sudah sering kulalui selama bertahun – tahun lamanya. Mungkin juga aku akan mati di sini dan dikubur di tempat ini. Yah, aku hanya bercanda, mana mungkin aku mau mati di tempat ini? Sudah terlalu membosankan untukku berada di tempat ini setiap harinya.

"Anak yang menyebalkan, bagaimana cara membuatnya?" tanyaku pada Aura yang berada tidak jauh di depanku.

"Belajarlah biologi terlebih dahulu, lalu kembalilah dengan pertanyaan yang lebih berbobot." jawabnya sedikit sarkas.

"Ayolah, kamu tahu kan kalau aku benci bahasa latin yang sering muncul di pelajaran itu?" kataku sedikit mengeluh.

"Tidak usah banyak bicara, urusi saja anak itu sebagai seorang ayah yang baik. Bukankah begitu?" tanya Aura yang berusaha menggelitikku dengan sikutnya.

Distrust (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang