EPILOG?

33 1 0
                                    

"Ardhi! Tiana!? Dimana kalian?"

Suara tersebut membuat kami berdua terkejut dan segera bersembunyi di meja sambil saling memberikan gestur untuk menutup mulut dan mengurangi suara sekecil mungkin. Mendengar Steve dan Aura berhasil menemukanku di sini, berarti Denis telah gagal dalam menjalankan tugasnya. Yah, aku memang tidak terlalu berharap banyak dari Denis, tetapi mengapa harus mengatakan yang sejujurnya pada mereka berdua?

Sebelum dia berhasil menemukanku bersembunyi di sini bersama Tiana, aku perlahan berjalan mengendap – endap memutari ruangan ini memanfaatkan kegelapan yang ada di ruangan ini. Setidaknya itu yang bisa kulakukan sebelum aku mulai mendengar suara

-KLIK-

Lampu pun menyala ketika Steve menyalakannya tanpa ijin siapapun. Begitupula ketika aku yang sudah kehabisan cara mulai nekat untuk menerobos dua detektif gadungan itu. Entah mereka memang bodoh atau tidak konsentrasi, mereka berdua tidak menyadari kami yang melewati mereka dengan mudahnya, meninggalkan ketakutan akan ditemukan dan dihakimi langsung. Semoga saja mereka tidak dimarahi karena aku melihat salah satu office boy berjalan memasuki gedung paduan suara. Nampaknya dia sadar lampu di ruangan tadi menyala sehingga dia datang untuk memeriksanya. Satu – satunya yang bisa kuucapkan hanyalah rasa terima kasih yang mendalam karena sudah mengambil alih hukuman kami.

"Apakah kamu tidak perlu penjelasan dariku mengapa aku bisa berubah secepat ini Linda?" tanyaku sambil berjalan bergandengan di bawah rintik hujan.

Tiana menggeleng – gelengkan kepalanya sebelum mulai menjawab pertanyaanku, "Aku tidak butuh, aku sudah tahu kalau kamu memang sudah sungguh – sungguh. Awalnya aku memang ragu kalau kamu hanya akan main – main dan kembali berbohong padaku, tapi ternyata tidak seperti itu."

Kami pun saling bertatapan lagi, tersenyum dengan lepas tanpa adanya paksaan ataupun seyum palsu yang kadang kutunjukkan pada orang lain sebelumnya.

"Lihat! Siapa yang sudah kembali di sini." seru seseorang dari belakang kami.

"Dan lihat siapa yang sudah membuat kami merasa tersiksa di tempat itu." balas Tiana pada Denis yang mulai menyelaraskan kecepatan berjalannya sepertiku.

"Aku minta maaf soal itu. Lagipula aku tidak mungkin membuat orang lain kesulitan seperti itu kan? Masalahnya mereka bisa saja menginterogasiku selama berjam – jam kalau aku tidak segera memberikan jawaban yang sebenarnya."

"Sepertinya kita harus benar – benar meminta maaf pada mereka berdua setelah ini." ucapku.

"Itu tidak perlu!" teriak seseorang dari belakang kami.

Seseorang yang sedang kami bicarakan ternyata sudah berdiri dengan tangan menyilang di dadanya, kakinya tidak berhenti mengetuk – ketuk tanah menandakan kalau dia menantikan penjelasan dari mulut kami bertiga yang sudah terkunci rapat – rapat saat ini. Tentu saja tidak akan mudah menyembunyikan kenyataan dari Aura apalagi dia pasti melihat tanganku yang bergandengan dengan Tiana.

Melihat Aura sedang berdiri di seberang sana membuatku berpikir tentang nasib Steve saat ini. Aku tahu kalau dia tidak punya keberuntungan yang bagus, tapi aku rasa kali ini dia tidak hanya tidka beruntung, namun juga sial. Maafkan aku kawan.

"Butuh penjelasan?" tanyaku.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Aura balik sedikit judes.

"Aku rasa tidak butuh. Ayo kawan – kawan, kita kembali!" ujarku sembari berputar 180 derajat dan berjalan tanpa rasa bersalah meninggalkannya sendirian. Namun tanganku yang sedang dipegang Tiana dengan erat suda seperti borgol yang mampu menahanku untuk melarikan diri.

Tiana terlihat memberikan gestur padaku melalui kepalanya, menyuruhku menjelaskan secara jujur apa yang sedang terjadi saat ini. Dia tidak menyuruhku untuk menjelaskannya secara detail, hanya secara singkat dan yang terpenting membuatnya mengerti.

"Jadi... intinya aku sudah kembali ke diriku yang lama, tanpa dosa, dan kebohongan lagi. Seperti yang kamu lihat..."

"Ardhi sudah mendapatkan kembali ingatannya yang hilang, dan sekarang dia hanya ingin bercumbu sepanjang hari bersama Tiana." celetuk Denis memotong kata – kataku.

Mendengar itu, Tiana tanpa ragu mendaratkan kakinya dia atas Denis berkali – kali meskipun Denis sudah berusaha menghindarinya. Melihat itu, Aura hanya bisa sedikit tersenyum meski di dalam hatinya dia tampaknya masih kesal, dilihat dari raut wajahnya yang kembali seperti semula.

"Aku tahu, aku minta maaf padamu. Sebetulnya aku sudah berbohong kalau aku tidak menyukai Tiana, tapi ini semua karena ingatanku sudah kembali. Sungguh! Kalau kamu masih ragu tanyakan saja pada mereka berdua. Aku tidak bermaksud membuatmu bingung, tetapi selama ini kami terikat oleh sebuah sihir yang mengharuskan kami untuk saling bersama. Itulah kenyataannya, dan dengan beginilah cara untuk menghilangkan kutukan akibat sihir berbentuk rantai itu." jelasku.

"Kamu tahu Ardhi?" Aura mengucapkan itu dengan nada yang sedikit rendah seraya dia berjalan perlahan ke arahku. Matanya sedikit menyipit dengan kedua tangannya yang daritadi selalu ia letakkan di belakang tubuhnya tanpa sekalipun dia merubahnya sedikitpun.

"Tahu apa?" tanyaku lagi karena penasaran dengan Aura yang tidak segera menyelesaikan kalimatnya.

"Satu – satunya tempat untuk orang yang tidak bisa kupercayai sepertimu, selalu saja berbohong bila ada kesempatan, adalah di neraka!" teriak Aura yang jaraknya menyisakan 5 sentimeter saja dariku.

"Wow, aku tidak tahu kalau kamu bisa berakting hingga seperti itu. Aku rasa kamu sudah banyak belajar." kataku santai.

"Hehe... kamu betul Ardhi..."

-THRUST-

"Kamu betul kalau mengatakan aku sudah belajar banyak tentang akting karenamu. Tapi sayang aku tidak bisa melihatmu berakting lagi setelah ini."

Dua orang di belakangku hanya memelototiku seakan tidak percaya kalau sebuah pisau sudah menembus dadaku. Darah segar yang ada di dalam tubuhku ikut keluar melumuri ujung pisau itu sambil perlahan menetes sedikit demi sedikit ke arah tanah. Aku yang mengetahui itu hanya bisa terdiam juga, menahan rasa sakit namun aku tahu kalau itu sia – sia karena sudah seperti ini jadinya.

"Ha? Haaaaahhhhh!?" teriakku kesakitan yang bercampu dengan ketakutan. Aku berusaha menjaga kakiku tetap berdiri, namun tentu saja itu tidak akan berhasil dengan sebuah luka yang sangat dalam seperti itu.

Kudengar Tiana berteriak terus – menerus memanggil namaku, Denis pun juga tidak jauh berbeda, hanya saja dia menjaga kami berdua dari gelagat Aura yang berikutnya. Aku masih tidak percaya kalau aku akan benar – benar mati di hari yang berwarna seperti ini. Bukan aku tidak ingin mati, hanya saja aku masih sulit membayangkan bahwa aku mati karena dibunuh, ya kan?

Apalagi aku dibunuh di depan teman lamaku oleh teman baruku. Sungguh lucu bukan? Atau mungkin ini cukup aneh? Tidak... ini tidaklah aneh. Karena aku ingat apa yang terjadi di rumah Steve saat itu, ucapan itu, kehangatan saat itu. Mungkin itulah yang membuatnya kecewa dan sedih karena aku seakan tidak menganggap hari yang cukup membuat hatinya terasa bergejolak. Andai aku sadar kalau perasaan yang diungkapkan Aura memiliki konsekuensi serius seperti ini, aku harusnya menolaknya saja. Oh atau mungkin aku bisa menerimanya, meskipun aku sendiri tidak ingin menerimanya semudah itu.

Tapi ya sudahlah, ini semua juga sudah terjadi. Aku masih ingin berbicara lebih banyak dengan mereka semua, tapi kalau aku sudah tidak kuat lagi, ya sudah. Aku siap merelakan semua perjuangan ini. Semoga saja aku masih bisa bertemu mereka nanti di surga. Mungkin di atas sana aku bisa mengetahui apa yang akan terjadi padaku setelah ini.

~Selamat tinggal dunia, terima kasih ataskenangannya hingga saat ini!~    

Distrust (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang